Chappter 12

49 9 0
                                    

Diurungkan niatnya meski Airin mengenal beberapa teman Bian, tidak seorangpun dari mereka yang ia hubungi menanyakan dimana keberadaan Bian. Takut-takut temannya justru menyadari persoalan diantara mereka dan menjadi bahan omongan. Bukan tidak mempercayai suaminya, Airin khawatir. Bian  diluar sana dalam keadaan kalut dan kecewa ditemani teman gadis yang datang sebagai pelipur. Bian punya banyak teman gadis dari yang paling jelek sampai paling cantik. Salah satu alasan keraguannya dahulu sebelum menikah dengan Bian.

Kegelisan Airin sudah sampai pada puncaknya ketika hampir pukul dua belas malam Bian tak kunjung pulang. Ia tidak tahan lagi. Tempat yang mungkin Bian kunjungi selain club malam yaitu kembali pulang ke rumahnya. Mengingat bagaimana kedekatan suaminya dengan ibu mertua. Airin harys menelepon walaupun terbayang celotehan sang ibu mertua, seperti ia membawa kabur putra kecilnya.

"Maaf bu," desah Airin serba salah ketika sambungan telpon sudah terhubung. "Maaf tengah malam begini mengganggu. Apa Bian ada disana?"

"Astaga Rin, kok bisa suami ngga betah di rumah." Sindir nyonya Tanaka, pedas sekali.

Meringis hatinya. Ingin sekali Airin membanting ponselnya tidak ingin mendengar kalimat yang lebih menyakitkan lagi. Dipejamkan kedua matanya, rahangnya terkatup rapat. Ditahan perasaannya. Biarlah perasaannya harus luluh lantak, tidak akan ia tutup teleponnya sampai ia memastikan keberadaan Bian di rumah orang tuanya atau tidak.

"Bukan apa-apa bu," Balas Airin berusaha mengatur suaranya setenang mungkin. "Saya hanya terlambat pulang."

"Kamu sebagai istri seharusnya tahu waktu! Pulang jangan malam-malam, sudah punya suami jaga diri. Jangan selalu pekerjaan yang di urus, suami mana yang bisa betah-"

"Baik bu," Potong Airin dingin, ia tidak ingin menjelaskan duduk masalah sebenarnya. Persoalan dia dengan Bian adalah masalah suami-istri, mereka bisa menyelesaikannya sendiri. Tidak boleh  seorangpun yang berhak ikut campur dalam masalah rumah tangganya tanpa terkecuali termasuk ibu mertuanya sendiri. "Saya kira Bian tidak ada disana, selamat malam."

"Dengar ya Rin." Kata nyonya Tanaka penuh penekanan sebelum Airin sempat menutup telepon. "Jangan pernah kamu sia-siakan dan buat kecewa anak saya!"

"Saya tidak akan pernah melakukan itu pada laki-laki yang paling saya sayang bu." Ucap Airin tenang dan mantap.

***

Bian pulang pada pukul satu malam. Suara deruman mesin motor masuk kedalam pekarangan rumah,  bergegas Airin turun kebawah. Ketika hendak membuka pintu, pintu itu telah terbuka. Bian mendorong dari luar dan melihat Airin tanpa berkata apa-apa. Bian melempar jaketnya begitu saja kemudian jalan melewati Airin. Sepintas samar tercium bau asap rokok dari pakaian yang dikenakan Bian.

"Bian." panggil Airin dengan suara tertekan. Bian tidak menoleh.

Disusulnya Bian dari belakang. Begitu Airin menggapai tangannya, Bian malah menyentak tangannya dengan kasar.

"Bian!" sergah Airin separuh terkejut. Namun bukan hal itu yang menyakiti hatinya. Ada yang lebih lebih memukul perasaannya. Bian tidak menoleh sama sekali, bahkan memandangnyapun seperti jijik. Padahal biasanya Bian senang sekali memandang wajahnya hingga pipinya memanas.

Suara daun pintu yang dibanting menggema ke penjuru rumah. Airin menarik napas dalam-dalam sebelum menyusul Bian masuk ke dalam kamar. Ia mengisi paru-parunya dengan udara penuh seolah bersiap menghadapi kepengapan yang menyambutnya di dalam kamar tidur.

Ketika Airin membuka pintu kamar, bau asap rokok yang terperangkap di dalam kamarnya kian tercium. Entah berapa batang rokok yang Bian hisap hingga bau asapnya kuat menempel. Tanpa menukar pakaian Bian terbujur di atas kasur. Telungkup tanpa bergerak-gerak, namun Airin tahu. Bian belum terlelap tidur, masih terjaga hanya tidak ingin berkomunikasi.

Elegi biru | BaekReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang