Chappter 8

40 8 0
                                    

Airin mengetuk-ngetuk pintu kamar orang tuanya. Sudah ditunggu beberapa saat namun tidak ada jawaban dari dalam. Begitu pintu dibuka bau alkohol semerebak tercium. Nyonya Wibowo masih tidur telungkup di atas ranjang, pakaiannya setengah terbuka tidak karuan. Masih tertidur pulas padahal sudah hampir pukul sebelas siang.

Botol minuman alkohol tergeletak di lantai. Pakaian kotor berserakan. Pada sisi ranjang masih nampak rapi, nampaknya Tuan Wibowo semalam memilih tidur di ruang tamu. Dibuka tirai tebal yang menutupi jendela. Ruangan yang gelap seketika berubah terang. Nyonya Wibowo hanya melenguh sedikit, dengan mata terpenjam ia membalikkan tubuhnya membelakangi jendela dan kembali menarik selimut.

"Ma bangun." Ucap Airin seraya menguncang-nguncang lengannya.

"Apa sih Rin? Mama masih ngantuk."

"Mau sampai kapan begini terus? Mabuk. Pulang tengah malam."

Airin tahu ibunya separuh terjaga. Ia menghela napas panjang. Beberapa bulan belakangan sifat ibu mulai berubah, sering mabuk, pulang larut malam, mudah marah, peka namun setiap ditanya enggan bercerita. Bagaimana Airin bisa mengerti? Dikira cenayang! Sebenarnya lebih prihatin  nasib kedua adiknya, terlebih Karina yang masih perlu banyak perhatian. Kadang Airin malu lantaran beberapa teman ibu sampai datang kerumah menagih tunggakan uang arisan sosialita yang belum dibayar. Ibu memang bekerja tapi entah kemana semua uangnya.

Setiap orang yang menangih uang atau utang atas nama ibu, dilunasi oleh ayah. Selama ini Airin memang jarang mendapati kedua orang tuanya bertengkar tetapi jarang juga terlihat romantis. Meskipun begitu keluarganya damai sampai sifat ibu belakangan berubah. Ayah begitu sabar, pernah cuti kerja demi mengurus keperluan sekolah kedua adiknya. Wajar kalau ayah malas pulang jika setiap pulang kerumah harus menghadapi perilaku buruk istrinya.

"Sudah siang. Bangun ma!" Cecar Airin tidak sabar seraya menarik selimutnya.

"Ah astaga." Terpaksa nyonya Wibowo beranjak dari kasur dan tertatih-tatih menuju kamar mandi dalam.

"Bagaimana ayah bisa betah di rumah." Gumam Airin.

Seperti diguyur air es, dalam sekejap nyonya Wibowo terjaga penuh. "Jaga ucapanmu Rin."

"Apa yang perlu dijaga? aku malu jadi bahan omongan di kampus karena mama!" Bagaimana Airin bisa tahan melihat ibunya pulang diantar pria lain dalam keadaan mabuk ketika teman-temannya di rumahnya tengah mengerjakan tugas.

"Mama nggak maksud buat kamu susah tapi kamu ngga akan pernah ngerti Rin."

"Ngertiin kalau mama punya hubungan spesial sama pak Haris?" Hubungan dekat keduanya belakangan terakhir sulit dielak. Pak Haris memang teman baik ibu sejak lama, namun cukup mencurigakan sebatas disebut teman.

Plak!

Wajah Airin tertoleh kesamping. Tamparan tersebut meninggalkan bekas kemerahan di pipi, sambil memegangi sebelah pipinya mata Airin menatap nanar matanya.

"Rin." desis nyonya Wibowo pahit. Tidak tahan ia mendengar kata-kata anaknya. Begitu menyakitkan. Begitu menghina. Begitu menyinggung perasaan!

"Ayahmu yang berselingkuh! Semua itu membuat ku gila, aku pendam semuanya sendiri agar kalian tidak membencinya. kamu justru menuduh mama." Sergah nyonya Wibowo. Wajahnya merah padam menahan marah. Belum pernah Airin melihatnya dalam keadaan semarah itu.

Tercenung. Selama ini ayahnya masih sama, perhatian, sering bergurau, tenang seperti ayah yang dikenalnya dan dicintainya meskipun jarang pulang semenjak sifat ibu sedikit berubah. "Mama pasti bohong."

Jarum-jarum beracun itu menusuk jantung nyonya Wibowo membuatnya makin sulit menarik napas. Setiap helaan napas meninggalkan kenyerian di dada.

Airin panik begitu melihat perubahan kondisi ibunya. "Mama gapapa?"

"Ngga usah peduliin mama. Keluar."

"Tapi ma-"

"KELUAR!"

Begitu Airin keluar, suara daun pintu dibanting berdebum gemanya sampai ke seluruh rumah. Giana yang berada di ruang keluarga menoleh keatas penasaran tengah apa yang terjadi.

Dilihatnya Airin berdiri di depan kamar kedua orang tuanya. Ketika Giana hendak menghampiri. Ibu keluar kamar membawa sebuah tas berjalan melewati Airin. "Ma! Mau kemana?"

Mata nyonya Wibowo memerah sambil memaksakan senyum. "Mama keluar sebentar ya Giana."

"Kenapa membawa tas?"

"Besok mama pulang."

***

Airin terbangun dari tidurnya dengan napas berat, peluhnya membasahi dahi. Lagi-lagi kambuh. Buru-buru ia membuka laci nakas mengambil inhaler. Dipakai benda itu agar napasnya dapat kembali normal. Bian yang tidur disebelah ikut terbangun sedikit panik.

Disampirkan rambut panjang Airin agar ia bisa melihat wajahnya. Cahaya lampu membiasakan kilatan air yang berpendar-pendar di matanya. Digigit bibirnya menahan tangis. Tanpa bertanya Bian reflek merangkul tubuh mungilnya. Airin menyelusupkan kepala ke dada Bian. Belum pernah ia merasa begini aman, seperti kembali pulang ke rumah.

Kepribadian Airin tidak sekuat yang selalu ingin ditampilkannya. Sebenarnya dibalik sosoknya yang tenang dan tegar itu, dia hanya seorang perempuan rapuh. Kondisi keluarganya yang menempa dirinya menjadi sosok yang seolah-olah dingin. Penyendiri. Nampak tak berperasaan. Bian sadar, Airin memiliki sepotong hati yang lembut.

"Gapapa Rin. Ada aku disini." Ucap Bian lembut seraya mengusap-usap punggungnya mencoba menenangkan.

Memimpikan sosok ibu dalam tidurnya seperti mencungkil sebuah luka. Kembali teringat jelas semua salahnya meski tahun telah berlalu. Ibu mengkhianati janjinya dan tak pernah kembali pulang ke rumah selamanya. Tuhan punya jalan lain, ibu kembali pulang ke pangkuan-Nya. Bertolak dari rumah ibu mengalami kecelakaan tunggal dan tewas di tempat. Andai Airin tidak mengusik tidur ibunya, ibu mungkin tidak akan tidur untuk selamanya. Kalau ia tidak menyakiti perasaan ibu, ibu akan tetap tinggal di rumah. Dan lebih celaka kecurigaannya selama ini salah! Ibu tidak memiliki hubungan apapun dengan pak Haris.

Terenyak Airin melihat dirinya pada pantulan cermin. Senyumnya sekilas seperti senyum ibu yang begitu ia rindukan. Beberapa bulan dalam dukanya, Airin mendapati kenyataan pahit. Apa yang dikatakan ibu benar, Ayah berselingkuh! Keterpurukan kian bertambah dengan berita keterlibatan ayah dalam penggelapan dana perusahaan tempatnya bekerja membuat ayah mendekam di balik jeruji dan semua aset yang ayah miliki disita.

Alih-alih sanak saudaranya membantu justru mereka menjauh takut namanya ikut terseret atas penggelapan dana yang ayah lakukan. Kehidupan Airin berubah dratis, tidak ada lagi kemewahan yang bergelimang. Ia dituntun menjadi tulang punggung demi kedua adiknya. Sulitnya kehidupan menggerogoti habis tubuhnya, Airin menemukan dirinya sendiri kurus, letih. Diwaktu itu pak Haris teman ibu yang Airin curigai datang bak malaikat penolong, ia mereferensikan pekerjaan dengan pendapatan dua kali lipat dari tempat kerjaanya sebelumnya.

Kini kehidupan Airin jauh lebih baik, ekonomi keluarganya mulai stabil. Selain itu kebahagiaannya bertambah satu, kehadiran Bian didalam hidupnya. Seseorang yang membuatnya lebih hidup, orang yang selalu mencemaskan kondisi kesehatannya. Airin bersyukur bisa bertemu Bian.

#to be continued#

Flashback dikit ya gaes.
Romancenya nanti hahahahahaha.
Pdhl dah g sabar ni w nulisnya 🤣
Maaciw yg dah vote.
Btw diriku ada rencana bwt oneshot atau twoshot. Kalo lagi g sibukkk.
Smpe ketemu lagih

Elegi biru | BaekReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang