Chappter 5

50 10 0
                                    

Kurang lebih separuh tahun Bian tak kunjung dapat pekerjaan baru. Kerja kantoran maksud. Banyak faktor entah karena gajinya yang kurang sesuai atau jarak yang jauh. Bian memilih resign dari kantor terakhir karena menganggap lingkungan kantornya sangat toxic. Airin tenang merespon hal itu, ia mengembalikan semua pilihan pada Bian memilih resign atau tetap bertahan. Lagipula Bian resign-pun, Airin masih bekerja jadi apa yang perlu dikhawatirkan? 

Selama belum mendapatkan pekerjaan Bian tidak benar-benar menganggur. Ia bergabung dalam grup-grup website sebagai penerjemah lepas, menjadi MC event apapun. Sayangnya perkerjaan itu tidak selalu ada, adakalanya naik pasang surut. Justru Bian lebih menikmatinya, lebih bebas, tidak monoton dan tidak saling menyikut. Tetapi ibulah yang sering mendesaknya mencari pekerjaan dengan income yang lebih stabil.

Bian mendesah, pikirannya kemana-mana sementara raganya menunggu Karina menyelesaikan suapan terakhir. Biarlah Karina menganggap kakak iparnya aneh saking excitednya dengan penilaian Karina tentang masakan buatannya.

"Karina bagaimana masakanku?"

"Not bad menurutku agak ngga nyambung, tumis kangkung dan ayam saus Korea."

"Enak pasti kan?" Bian tersenyum percaya diri.

"Agak asin dan pedas, aku suka tapi ngga tahu kalau cici."

Lupa! Airin tidak suka pedas. Padahal sudah Bian pastikan waktu dicicipi tidak begitu pedas, bagaimana bisa rasanya berubah? Atau tanpa sadar ia terlalu banyak menambahkan cabai? Ah. Bian pusing! masa bodo dengan rasa masakannya. Ia kembali ke dalam kamar menunggu istrinya selesai mandi. Sementara menunggu Airin selesai mandi, segame rasanya bukan ide yang buruk. Dipertengahan game Airin keluar kamar mandi menghampiri meja riasnya sebentar kemudian berbaring di ranjang. Diam saja tanpa berkomentar.

Game telah berakhir, disingkirkan ponselnya jauh-jauh. Bian merangkul pinggang kecil istrinya, dicium tengkuknya hingga dapat mencium harum sabun yang masih tertinggal di tubuhnya. Airin mengusap-usang lengan Bian yang tengah memeluk pinggangnya.

"Diam aja. Kamu kesal aku main game?"

Apakah Giana terlilit hutang atau habis untuk kelab malam? Sepanjang hari hanya pikiran buruk itu yang memporak-porakan benak Airin. Beranjak dewasa Giana semakin liar, sulit diatur, kelakuannya seenak perutnya sendiri. Airin memendamnya seorang sendiri. Janganlah Bian tahu, pasti ia bersungut-sungut.

"Kapan aku kesal waktu kamu main game?" Airin malah balik bertanya, kalau diingat-ingat memang istrinya tidak pernah mengeluh atau menggerutu sementara Bian bermain game.

"Enggak sih." balas Bian cengar-cengir. "Eh, gimana bekalnya? Enak?"

Sejenak Airin terdiam, "Enak, aku suka."

"Serius?" Bian tersenyum walaupun Karina bilang masakannya pedas. Apakah Airin sengaja berbohong agar tidak melukai perasaannya?

"Untuk apa aku bohong?"

"Kalau begitu akan aku buatkan lagi."

"Seharusnya aku Bi yang masak buat kamu." Desah Airin dengan perasaan bersalah.

"Kok kamu? Kan ngga cuma perempuan yang makan. Aku juga. Semua orang butuh makan."

Airin mengubah posisinya, berbalik menatap Bian dan mencium bibirnya sekilas. Perasaannya campur aduk, sebab ia tidak benar-benar menyantap bekal buatan Bian.

Elegi biru | BaekReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang