Chappter 3

46 9 0
                                    

Jam 9 nanti ada rapat internal project, Airin harus datang tepat waktu. Berulang-ulang kali ia menghela napas. Menekan-nekan klason mobil entah untuk apa. Tidak akan mobil-mobil didepan minggir memberinya jalan. Berhenti. Jalanan Jakarta macet diperparah dengan turunnya hujan, puluhan mobil berdesak-desakan tidak mau kalah saling berebut secuil jalan.

Airin membenarkan letak kacamatanya, matanya bergulir memandang layar ponsel membuka maps mencari rute tercepat. Kurang lebih hampir sama dengan kondisi jalannya sekarang. Merah. Kuning. warna garis yang melambangkan kondisi jalan di layar ponselnya. Airin mengatup rahang dengan kesal. Dia benar-benar gelisah. Ia tidak boleh datang terlambat. Mau ditaruh mana mukanya didepan jajaran SBU (Sub bussiness unit).

Ah benar-benar... Giana! Semua gara-gara dia. Sifatnya masih sama seperti dulu! Tidak pernah mau mengerti kewajiban kakaknya. Seperti ada yang kurang kalau pagi-pagi tanpa keributan.

"Ah! Kenapa enggak dibangunin sih!?" Giana keluar dari kamar setengah teriak.

"Sudah. Kamunya susah bangun" Jawab Airin tenang menghindari keributan di pagi hari. Biasa sebelum berangkat kerja Airin menyempatkan waktu membangunkan Giana tetapi yang dibangunkan hanya melenguh sedikit dengan mata tetap terpejam. Serba salah, kalau dipaksa bangun sering kali marah.

"Banguninnya yang engga niat."

"Entar kamu marah."

"Hari ini ada latihan."

"Kamu nggak bilang, biar aku usahain bangunin kamu."

"Tahu ah!" Giana yang menyulut lantas masuk kedalam toilet. Tidak sampai 5 menit ia keluar kembali dengan wajah yang basah. Airin malas berkomentar nanti justru terjadi perpecahan.

"Kaos kaki garis-garis putih ditaruh dimana? Kemarin ada disini!"

Sekarang apa lagi? Airin yang tinggal menyelop sandal kembali masuk kedalam rumah bantu mencari kaos kaki yang dimaksud Giana. Mulanya Bian ingin membantu, khawatir Airin akan telat sampai kantor. Namun ia dengan lembut menolak bantuan Bian.

"Kamu naruhnya terakhir dimana?" Airin bertanya setenang mungkin.

"Kalau gue tahu, enggak bakal nanya."

"Kemarin aku pakai..." Tahu tahu Karina menyahut pelan, takut menatap Giana.

Spontan Bian berseru saat Giana hendak melempar gulungan kaos kaki ke arah Karina "Hei!"

"Haiss kalau pinjam bilang-bilang!" Geram Giana.

Airin ingin sekali menyergah. Setiap pagi ada saja yang diributkan mengusik awal suasana. Tetapi sambil menggigit bibir terpaksa ditahannya perasaannya. "Kamu bisa pakai kaos kaki yang lain."

"Berisik!"

Ah, Airin mengeluh panjang. Kembali ia mencoba fokus mengendarai mobil membelah padatnya ibu kota. Airin menghela napas lega tatkala mobilnya masuk ke dalam parkir kantor. Bergegas Airin turun sambil diliriknya jam tangan, jam 9 tepat. Setengah berlari ia masuk ke dalam kantor.

***

Nyonya Tanaka mendorong pintu pagar yang tidak terkunci. Cepat-cepat melangkah masuk ke pekarangan rumah. "Bian! ini mama."

Sudah ditunggu-tunggu tidak kunjung dibukakan pintu. Nyonya Tanaka mencoba membuka pintu utama yang ternyata tidak juga dikunci. Suasana rumah sunyi, tak berselang lama terdengar suara yang berasal dari arah dapur, nyonya Tanaka lantas memeriksa kedalam.

"Halo, mama." Sapa Bian menyadari kedatangan ibunya.

"Bian itu pintu jangan lupa dikunci, gimana kalau maling masuk." Gerutu nyonya Tanaka. Diletakkannya tasnya diatas meja makan.

Elegi biru | BaekReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang