Jeffrey terbangun di kelabu malam yang sama, napasnya tersengal-sengal dan air mata mengalir dari netra lelah-nya. Serangan panik yang berulang-ulang datang lagi, dan dia muak dengan itu. Hatinya terasa sesak, dan pikirannya berputar-putar, membawa kembali semua ketakutan dan kesedihan yang selalu menghantuinya.
Dalam kegelapan, Jeffrey merasa kehilangan arah, tapi dengan cepat Taeyong memeluknya erat, mencoba menenangkannya. "Ssst Jeff, tidak apa-apa. Aku di sini," bisik Taeyong lembut.
Kata-kata Taeyong seperti obat penenang yang meresap ke dalam hati Jeffrey, membuatnya merasa lebih rileks sedikit demi sedikit. Setelah beberapa saat, Jeffrey akhirnya bisa tenang.
Namun, dia takut untuk melihat ke arah Taeyong. Pikiran gelap membanjiri benaknya: bagaimana jika Taeyong meninggalkannya setelah melihat betapa menyedihkannya dirinya? Bagaimana jika dia memutuskan bahwa Jeffrey tidak layak dicintai?
Perasaan takut dan malu membuat Jeffrey menarik tangan Taeyong dari tubuhnya dan berlari ke kamar mandi. Sebelum menutup pintu, dia melihat Taeyong berlari ke arahnya, wajahnya penuh kekhawatiran. Jeffrey menutup pintu dan berlutut di lantai kamar mandi, air matanya mengalir tanpa henti. Dia merasa hancur, seperti seluruh dunianya runtuh.
"Jeff, izinkan aku masuk. Tolong. Aku ingin membantumu," bisik Taeyong dari balik pintu dengan suara penuh ketulusan.
"Tinggalkan, Taeyong. TOLONG PERGI! INI TIDAK BENAR! KAU HANYA BERMAIN DENGAN PERASAANKU! PERGI! SEKARANG!" Jeffrey menjerit di sela-sela isak tangisnya, suaranya penuh dengan rasa sakit dan ketakutan.
Suasana hening untuk beberapa saat, namun kemudian Jeffrey mendengar Taeyong berpakaian dan membuka pintu kamar. "Aku minta maaf jika aku tidak cukup untukmu. Aku tidak mempermainkanmu, tapi kau tidak percaya padaku tidak peduli apa yang aku lakukan atau katakan," kata Taeyong dengan nada marah dan putus asa. Pintu tertutup dan Jeffrey membuka pintu kamar mandi perlahan. Dia berjalan ke tempat tidurnya dan terjatuh di sana, menangis tanpa henti, merasa hancur dan sendirian.
***
Keesokan paginya, Jeffrey terbangun dengan perasaan mati rasa. Dia tidak merasakan apa pun, tidak memikirkan apa pun. Semuanya terasa hampa. Dia hanya bangun dan berpakaian dengan gerakan mekanis. "Kau berangkat ke sekolah, Jeff. Kau bisa melakukannya," katanya pada dirinya sendiri dengan suara datar. Dia memakan sebuah apel tanpa selera, lalu berjalan keluar rumah, mengunci pintu, dan berlari ke Volkswagen-nya. Dia masuk dan menyalakan mobil, berharap kecepatan dan suara mobil bisa mengalihkan pikirannya.
Jeffrey mulai mengemudi ke sekolah sambil mendengarkan Black Veil Brides dengan volume penuh, mencoba menenggelamkan pikirannya dalam musik keras. "Akan ada banyak tatapan mata," pikirnya. Dia membeli Volkswagen hitam itu untuk ulang tahunnya yang ke-16, tetapi belum pernah mengendarainya ke sekolah sebelumnya. Dia tidak ingin orang-orang sekolah melihat mobil kesayangannya, tapi hari ini dia tidak peduli lagi. Sebelum memasuki parkiran sekolah, dia membiarkan mobilnya menderu, mencoba menarik perhatian untuk menutupi rasa sakit yang dia rasakan.
Setelah memarkir mobil, dia melangkah keluar dengan penuh percaya diri palsu. Semua orang yang berada di luar menatapnya dengan tatapan kagum dan iri, tapi Jeffrey tidak memperhatikan. Dia hanya berjalan melewati mereka dan masuk ke dalam sekolah, mencoba mengabaikan dunia di sekitarnya.
Jeffrey berjalan ke loker dan menemukan tanda di sana bertuliskan "FAGGOT", "IDIOT", "BUNUH DIRI". Kata-kata kasar itu menusuk hatinya, tetapi dia menariknya ke bawah dan membuangnya ke tempat sampah dengan gerakan marah. Ketika dia membanting pintu loker, dia melihat Taeyong berjalan ke arahnya bersama teman-temannya. Hatinya berdegup kencang, campuran rasa marah dan kecewa menguasai dirinya.
Saat mereka sampai di hadapannya, Jeffrey hanya berdiri di sana dengan wajah tanpa ekspresi. Salah satu teman Taeyong berteriak, "Hei homo, kemana kau kemarin?" Jeffrey mulai berjalan pergi ketika dia merasakan seseorang memegang pergelangan tangannya. Saat berbalik, dia melihat Taeyong memegang pergelangan tangannya, tatapannya penuh dengan penyesalan.
"Maafkan aku," kata Taeyong pelan. Tapi kemudian dia berteriak dengan nada memerintah, "Jawab kami, dasar homo!"
"Aku di rumah. Menyembuhkan lukaku," jawab Jeffrey pelan. Rasa ketakutan mulai menguasainya, menggantikan rasa mati rasa yang tadi dia rasakan. Merasa dunia seakan-akan runtuh di sekitarnya.
Sebuah tinju keras menghantam wajahnya, membuatnya terjatuh ke belakang di lantai. Jeffrey menutup matanya, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang bisa dia bangun dari. Tetapi seseorang berteriak, "LIHAT KAMI! KAU PENGISAP PENIS!" Jeffrey membuka matanya dan melihat Taeyong berdiri jauh darinya, tidak melakukan apa pun untuk menghentikan kekerasan yang terjadi.
Mata mereka bertemu, dan Jeffrey berpikir dalam hati, "Jika kau benar-benar mencintaiku, hentikan mereka, bajingan." Tapi tidak ada yang terjadi. Mereka terus memukulnya, dan Taeyong hanya berdiri di sana, seperti penonton yang tak berdaya. Ketika bel berbunyi dan aula menjadi kosong, Jeffrey mulai bergerak perlahan, mencoba bangkit meski tubuhnya terasa sakit. Kepalanya berdenyut kencang, rasa sakit yang menyiksa membuatnya hampir pingsan. Dia mencari obat pereda nyeri dari tasnya, dan setelah menemukannya, dia mengambil dua butir dan menelannya dengan cepat.
"Persetan dengan omong kosong ini. Aku keluar dari sini," gumamnya dalam hati. Dengan tekad yang baru, dia mulai berjalan keluar sekolah menuju mobilnya. Dia melihat seseorang keluar dari sekolah sebelum masuk ke mobilnya, tapi dia tidak peduli untuk melihat siapa orangnya. Dia menyalakan mobil dan membiarkannya menderu keras sebelum berangkat dari tempat parkir sekolah. Satu-satunya yang tersisa darinya hanyalah garis hitam di jalan dan sedikit asap.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Breakeven [JaeYong]
Fanfiction"I'm still alive but I'm barely breathing." Semuanya berawal dari kepura-puraan, perasaan yang berusaha disembunyikan, dan kebohongan terhadap diri sendiri.