"I'm still alive but I'm barely breathing."
Semuanya berawal dari kepura-puraan, perasaan yang berusaha disembunyikan, dan kebohongan terhadap diri sendiri.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Taeyong mengemudi dengan ekspresi cemas, terlihat jelas dari wajahnya yang tegang. Jeffrey, yang duduk di sebelahnya, merasakan ketegangan yang memancar dari Taeyong. Mencoba menenangkannya, Jeffrey meraih tangan Taeyong, yang kemudian dibalas dengan senyuman yang terlihat dipaksakan. Namun, Jeffrey bisa merasakan bahwa di balik senyuman itu, Taeyong sedang menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Tiba-tiba, Taeyong meraih paha Jeffrey dengan cengkeraman yang kuat, membuat dia sedikit terkejut. Meskipun terasa sakit, Jeffrey memilih untuk tidak bereaksi, karena ia tahu ini mungkin cara Taeyong mencari ketenangan. Mereka melaju di jalan tanpa banyak bicara, dan tak lama dari situ, Taeyong menghentikan mobilnya di tepi sebuah danau yang sunyi—tempat di mana mereka dulu berpisah dua bulan yang lalu.
"Dia tidak main-main perihal semua ini..." hanya itu yang mampu Jeffrey pikirkan dengan pikiran alam bawah sadarnya. Ia tak menyangka jika lelaki yang mencengkeramnya ini benar-benar serius tentang apa yang dikatakannya.
"Ayo duduk di jok belakang," ujar Taeyong dengan suara rendah namun tegas. Jeffrey mengikutinya tanpa banyak pertanyaan. Di jok belakang, suasana terasa semakin tegang. Tanpa peringatan, Taeyong mulai mencium Jeffrey dengan penuh gairah. Ciuman itu kasar dan intens, mencerminkan kerinduan dan frustrasi yang selama ini terpendam. Taeyong melepaskan bajunya, kemudian dengan hati-hati melepaskan pakaian Jeffrey, seolah-olah tidak ingin merusaknya.
Taeyong beralih ke leher Jeffrey, menggigit dan menghisap dengan penuh hasrat, meninggalkan bekas merah yang jelas terlihat. Jeffrey hanya bisa terdiam, merasakan campuran antara rasa sakit dan kenikmatan yang menjalar perlahan. Namun, ketika Taeyong mulai melepaskan ikat pinggang Jeffrey, Jeffrey tiba-tiba menghentikannya. "Tidak, jangan. Hentikan. Aku belum siap untuk ini. Maafkan aku," kata Jeffrey, mengalihkan pandangan dari mata Taeyong yang kini tampak bingung dan terluka.
Mungkin terlalu berlebihan, sikap Taeyong jelas sangat tidak dewasa. Seharusnya dia menghargai statusnya yang sekarang tidak lagi sendiri, serta menghormati Jeffrey yang dengan baik hati bersedia menemuinya lagi. Bukan malah memaksakan melakukan hal ini.
Taeyong memegang kepala Jeffrey agar mereka bisa saling menatap lagi. "Jangan meminta maaf. Aku yang mendesakmu... Aku yang seharusnya minta maaf," katanya dengan suara bergetar. Dia kemudian mencoba menjauh, tetapi Jeffrey menariknya kembali, memberikan ciuman yang lebih lembut dan penuh perasaan, berbeda dari sebelumnya. Mereka berdua menikmati momen tersebut, membiarkan perasaan mereka saling terhubung tanpa kata-kata.
Saat ciuman itu berakhir, Taeyong meringkuk di samping Jeffrey, menghela napas berat. "Aku sangat merindukanmu. Duniaku hancur. Aku hanya punya Thomas dan Katrina," ungkap Taeyong dengan rasa sakit yang jelas.
Jeffrey melepaskan tangannya dari Taeyong saat nama Katrina disebut. "Jeffrey, aku putus dengannya tadi. Dia juga tidak ingin menikah, dia mencintai pria lain dan diam-diam berkencan dengannya. Jadi hubungan kami sudah berakhir," lanjut Taeyong, mencoba menenangkan Jeffrey.
Jeffrey tentu tidak langsung mempercayai itu. Dua bulan tanpa komunikasi apapun tentu ada banyak hal yang keduanya lalui tanpa sepengetahuan satu sama lain, dan untuk apa juga tiba-tiba ini diungkapkan?
Untuk membuat Jeffrey kembali?
Atau hanya untuk memberikan harapan semu yang baru?
Hari mulai gelap, dan udara malam yang sejuk mulai merasuki kabin mobil. Jeffrey perlahan duduk tegak dan mengenakan kembali flanelnya. Taeyong mengikuti, mengenakan kembali kemejanya dan melingkarkan lengannya di pinggang Jeffrey. "Jeffrey, bisakah kau mengantarku ke motel atau dimanapun? Aku tidak bisa pulang lagi," pintanya, suaranya terkesan memohon dengan sedikit paksaan.
"Apa maksudmu soal motel? Aku di sini, kau bisa menginap di tempatku," jawab Jeffrey, sambil memberikan ciuman cepat pada Taeyong.
Dengan jawaban itu, Jeffrey akan mengambil harapan yang mungkin semu.
Taeyong tersenyum kecil, meskipun masih ada keraguan di matanya. "Tapi ibu dan nenekmu? Bagaimana kalau mereka tidak ingin aku di sana?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik. Jeffrey tersenyum seraya mengelus pipi Taeyong yang semakin tirus, "Jangan khawatir. Mereka memahami kondisimu dan akan membiarkanmu menginap."
"Baiklah," kata Taeyong, walau masih terlihat ragu. Jeffrey mengajak Taeyong keluar dari mobil, dan mereka berjalan beriringan menuju rumah.
***
Setibanya di rumah, mereka masuk sambil bergandengan tangan. Jeffrey memanggil ibu dan neneknya yang sedang duduk di ruang tamu. Setelah bergabung, Jeffrey mulai menjelaskan situasinya dengan sedikit gugup.
Dengan pertimbangan singkat, nenek dan ibu Jeffrey menyetujui permohonan Jeffrey agar Taeyong bisa menginap. Taeyong dan Jeffrey merasa lega, dan ibu Jeffrey memeluk mereka berdua sambil tersenyum, seolah memberikan restu penuh. "Mami akan membuatkan makan malam sekarang," kata ibu Jeffrey sebelum menuju dapur.
Selama makan malam, suasana terasa hangat dan nyaman. Ibu Jeffrey menyajikan makanan favorit mereka, membuat semua orang tersenyum puas. Setelah makan, Jeffrey dan Taeyong menawarkan diri untuk membersihkan dapur, yang diterima dengan senang hati oleh ibu dan nenek. Jeffrey mencuci piring sementara Taeyong mengeringkannya, bekerja sama dengan harmonis.
Selesai membersihkan, mereka bergabung dengan ibu dan nenek di ruang tamu untuk menonton film. Di tengah film, Taeyong tertidur di pelukan Jeffrey, kelelahan setelah hari yang penuh emosi. Jeffrey tersenyum dan mencium kepala Taeyong, lalu kembali fokus menonton film. Ketika film berakhir, Jeffrey dengan lembut membangunkan Taeyong dan membawanya ke kamar.
Di kamar, Taeyong mengganti pakaiannya dengan onsie Joker milik Jeffrey, yang membuat Jeffrey tertawa. "Kau sudah terlalu tua untuk suka Joker," candanya sambil tersenyum.
Taeyong hanya mengangkat bahu dan membalas senyum itu. "Aku ganti baju dulu, lalu kita bisa menonton film. Jika kau mau," kata Jeffrey. Taeyong mengangguk setuju.
Jeffrey kemudian mengganti pakaiannya dengan onsie Batman, lalu mereka merangkak di bawah selimut. Taeyong memilih film favoritnya, The Nightmare Before Christmas, dan mereka menontonnya bersama. Saat film berakhir, Taeyong sudah tertidur lagi di pelukan Jeffrey. Jeffrey mematikan Macbook-nya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.
Dia merangkak kembali ke tempat tidur, menarik Taeyong lebih dekat, dan mencium pipinya.