"I'm still alive but I'm barely breathing."
Semuanya berawal dari kepura-puraan, perasaan yang berusaha disembunyikan, dan kebohongan terhadap diri sendiri.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah Jeffrey menutup pintu, Taeyong mulai menangis lagi. Dia merasa tidak pernah melakukan sesuatu dengan benar. Selalu ada sesuatu yang dirusaknya.
Taeyong melihat hoodie Jeffrey di kursi sebelah mejanya. Dia berdiri dan mengambilnya. Berbaring kembali di tempat tidur Jeffrey, dia memegang hoodie itu erat-erat di tangannya. Dia menghirup bau Jeffrey dari hoodienya, yang membuatnya tenang. Bagaimana mungkin? Hanya aroma Jeffrey yang bisa menenangkannya? Jeffrey adalah obatnya.
Satu-satunya obat yang dibutuhkan dan diinginkan Taeyong saat ini.
Tiba-tiba gelombang kemarahan menghampiri Taeyong. Dia melempar hoodie Jeffrey ke lantai. Dia melempar selimut ke lantai dan juga bantalnya, tapi tidak dengan selimut Batmannya. Dia mengambilnya, memeluknya, dan menangis di dalamnya. Taeyong melampiaskan kemarahan dan kesedihannya. Akhirnya, dia berteriak ke dalam selimut itu.
Nenek Jeffrey berlari ke kamar. "Taeyong sayang, kau baik-baik saja? Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanyanya dengan suara khawatir.
Taeyong berusaha mengeluarkan suara meskipun serak. "Aku tidak baik-baik saja, Nek. Aku menyukai Jeffrey, tapi aku terus merusak segala tentangnya. Aku hanya seorang menyedihkan yang pantas menerima semua ini. Pantas saja ayah memukuliku. Serta pantas jika Jeffrey meninggalkanku sendirian di sini." Kata-katanya penuh dengan emosional air mata yang terus mengalir.
Nenek Jeffrey memeluk Taeyong dengan lembut. "Tunggu sebentar. Nenek akan kembali," katanya sambil melepaskannya. Dia berjalan keluar kamar dan menutup pintu. Taeyong meringkuk seperti bola dan menangis lagi. Dia merasa hancur dan lelah menjadi seperti ini. Lelah menjadi lemah.
Pintu terbuka tapi Taeyong tidak melihat siapa yang masuk. Dia memejamkan mata sambil berusaha berhenti menangis. "Taeyong, angkat kepalamu. Kumohon sayang," kata suara lembut yang dikenalnya sebagai ibu Jeffrey.
Taeyong mengangkat kepalanya dan ibu Jeffrey meletakkan bantal di bawah kepalanya. Dia meletakkan bantal lainnya di tempat tidur dan juga meletakkan selimut di tempat tidur. Dia menutupinya dengan satu dan pergi.
Taeyong sendirian lagi. Rasanya menenangkan meskipun sejenak. Tiba-tiba pintu terbuka dan seseorang masuk. Taeyong mencoba menebak siapa orang itu tetapi tidak bisa.
Dia memejamkan mata saat tubuh itu mendekat ke arahnya. Orang itu merangkak ke bawah selimut dan memeluknya. Itu adalah Jeffrey. Dia menarik Taeyong lebih dekat padanya, memeluknya begitu erat seolah-olah takut Taeyong akan menghilang.
Taeyong berbalik dengan lengannya memeluk Jeffrey dan menghadapnya. Matanya tertutup. Dia tidak yakin apakah Jeffrey tertidur atau tidak. Taeyong mengusap rambut Jeffrey ketika Jeffrey membuka matanya. Mata itu akan menjadi kematian bagi Taeyong.
"Taeyong," kata Jeffrey dengan suaranya yang dalam. "Kau baik-baik saja? Nenek masuk ke kamar ibu. Dia berkata dengan khawatir kau menangis dan berbicara bahwa kau pantas untuk ditinggalkan. meninggalkanmu."
Ketika Jeffrey selesai bicara, Taeyong mengalihkan pandangannya dari mata Jeffrey. Dia merasakan panas di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja." Taeyong berusaha terdengar oke, tapi tidak berhasil. Suaranya serak lagi.
"Kau berbohong. Ada apa?"
"Kau benar-benar ingin tau? Ada apa?! Ingin tahu ada apa? Segalanya. Hidupku salah. Keluargaku salah. Aku salah." Kata Taeyong dengan nada marah. Dia membalikkan punggungnya ke arah Jeffrey.
Jeffrey melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Taeyong dan memeluknya erat. "Ssst, Taeyong. Tidak apa-apa. Kau tidak salah. Hidupmu tidak salah. Kau sempurna. Kau tidak menyedihkan atau semacamnya," Jeffrey berbisik ke telinganya sambil memeluknya lebih erat lagi.
"Aku takut, Jeffrey. Bagaimana jika ayahku membunuhku saat aku kembali ke rumah? Bagaimana kalau dia benar-benar..." sebelum Taeyong bisa menyelesaikan kalimatnya, Jeffrey membalikkan tubuhnya dan memegangi kepalanya dalam pelukannya.
"Siapa yang bilang kau akan kembali ke rumahmu? Kau tidak akan kembali ke sana. Aku tidak akan membiarkanmu. Kau akan tinggal di sini bersamaku, Mami, dan Nenek, oke?" kata Jeffrey tegas.
Taeyong menghela nafas. "Tidak semudah itu, Jeffrey... Ayahku mungkin akan menyakitimu, ibumu, atau nenekmu saat dia tahu aku di sini bersamamu. Kau tidak mengenalnya seperti aku. Dia adalah monster. Dia mampu melakukan apa saja. Aku tidak mau mengambil risiko menyakiti kau atau keluargamu."
Wajah Jeffrey berubah. Nampak murung. "Tidak, tidak, tidak, jangan sedih. Tolong, Jeffrey. Tolong," Taeyong memeluk wajahnya dan menciumnya. Itu adalah ciuman yang panjang dan penuh gairah.
Saat mereka berhenti berciuman, Jeffrey melingkarkan tangannya ke tubuh Taeyong lagi dan menariknya lebih dekat padanya. Taeyong meringkuk di dada Jeffrey dan menghirup aromanya. Sudah dia katakan sebelumnya, Aroma ini adalah obat bagi Taeyong. Obat yang dia butuhkan saat dia terjebak sedih atau dikuasai ego sendiri.
Dia membutuhkannya.
Jeffrey mematikan lampu dan semakin memeluk Taeyong. "Ayo tidur, Taeyong. Kita sama-sama lelah, kan?" Taeyong mengangguk di dadanya.
"Baiklah, selamat malam, rajaku," kata Jeffrey. Saat dia berkata "rajaku," tubuh Taeyong mungkin membeku, namun hatinya berdetak tak karuan. Apa dia bersungguh-sungguh atau tidak? Jeffrey kemudian mengecup keningnya.
Malam itu, Taeyong tidur dengan tenang di pelukan Jeffrey. Meskipun hari itu penuh akan ketakutan dan kesedihan, Taeyong merasa menemukan sandaran di pelukan orang yang dia percaya akan cintanya.