"I'm still alive but I'm barely breathing."
Semuanya berawal dari kepura-puraan, perasaan yang berusaha disembunyikan, dan kebohongan terhadap diri sendiri.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ketika mereka sampai di mobil Taeyong, Jeffrey menatapnya. "Tidak. Aku tidak bisa ikut denganmu."
"Aku mohon Jeffrey. Ikutlah. Izinkan aku menjelaskan semuanya padamu.."
Jeffrey menatap Taeyong dengan matanya yang masih merah sebelum menghembuskan napas berat. "Baik." Dia membuka pintu dan duduk.
Taeyong duduk di kursi pengemudi.
Saat mereka berkendara, ada keheningan di antara mereka. Keheningan yang menyakitkan. Taeyong mulai berbicara ketika mereka sampai di sebuah rumah tak jauh dari danau tua.
"Baiklah. Biar kujelaskan dulu, lalu kau boleh berteriak padaku atau menendangku atau menamparku atau apa pun yang ingin kau lakukan, oke?" Jeffrey mengangguk.
"Ayahku memaksaku menikahi gadis bernama Katrina. Aku tidak mencintainya atau menyukainya sebagai kekasih. Dia hanya teman. Aku ingin mengatakan tidak pada ayah, tapi aku takut dia akan menghabisiku. Lebih dari itu, aku khawatir dia akan melakukan sesuatu padamu. Kakakku menyarankan agar aku menolak, tapi aku tak berani. Namun, aku juga tak bisa kehilanganmu." Taeyong menyeka air mata di pipinya. Memikirkan kehilangan Jeffrey saja sudah membuat hatinya terasa sangat sakit.
"Jadi sekarang kau boleh menampar, membentak atau memukuliku. Lakukan apa saja," kata Taeyong sambil kembali menatap Jeffrey.
Jeffrey melepas sabuk pengamannya dan mendekati Taeyong. Dia melihat air mata mengalir di mata Jeffrey sebelum tiba-tiba memeluknya erat-erat. Terisak di bahu Taeyong, Jeffrey berkata, "Jika kau harus melakukannya, lakukanlah. Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Aku mencintaimu, dan pikiran kehilanganmu menghancurkanku. Tapi aku harus menghadapi rasa sakit ini."
Taeyong membalas pelukan Jeffrey dan mempererat genggamannya. Dengan tekad baru, dia berkata, "Jeffrey, aku tahu apa yang akan kita lakukan. Kita masih akan bertemu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak, tidak pernah. Tempat ini, danau ini, akan menjadi tempat pertemuan kita. Kita akan bertemu di sini dan menghabiskan waktu bersama." Jeffrey mendongak ke arahnya, terlihat penuh rasa sakit.
"Tidak, Taeyong. Tidak. Aku ingin bersamamu di depan umum, bukan di sini. Tidak. Kurasa hubungan kita hanya..." Jeffrey tak bisa melanjutkan kata-katanya, terbata-bata.
"Kesalahan? Sebuah kesalahan?" tanya Taeyong dengan nada marah.
"Tidak, tidak, tidak. Jangan berani-berani berpikir seperti itu. Kita tidak bisa bersama. Kita tidak bisa." Taeyong melihat rasa sakit di mata Jeffrey. Dia meraih wajah Jeffrey dengan tangannya dan menciumnya.
Ciuman itu penuh perasaan. Tapi juga penuh dengan rasa sakit. Taeyong tahu dia harus meninggalkan Jeffrey. Jeffrey juga tau harus meninggalkan Taeyong. Dia harus melupakan mata dan aroma Jeffrey, obatnya. Jeffrey harus melupakan Taeyong karena kalau tidak dia akan terluka.
Saat mereka berhenti berciuman, Taeyong melingkarkan tangannya di pinggang Jeffrey dan memeluknya. Dia kemudian melepaskannya dan menyalakan mobil kembali. Jeffrey memasang sabuk pengamannya dan hanya duduk terdiam.
Pada saat ini, hal itu telah memukul Taeyong dengan cara yang paling sulit. Air mata terjatuh. Dia menangis. Dia ingin berteriak, memukul sesuatu. Sakit yang hanya menusuk hatinya. Dia merasakan tangan Jeffrey di bahunya. "Taeyong, aku menyayangimu dengan sepenuh hati. Aku tidak akan pernah menginginkan seseorang dengan cara yang sama seperti aku menginginkanmu."
"Aku pun begitu, Jeff."
Taeyong membawa Jeffrey ke rumahnya dan sebelum dia keluar, mereka berbagi ciuman terakhir. Itu adalah hal yang paling menyakitkan.
"I love you," Jeffrey berbisik dalam ciuman itu.
"I love you more," Taeyong balas berbisik padanya.
Begitu Jeffrey menutup pintu, Taeyong menginjak pedal gas dan langsung melaju pulang sambil melepaskan tangisan yang berusaha ia tahan.
Taeyong menghentikan mobil dan keluar, menutup pintu dan menguncinya. Sebelum masuk ke rumah, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Taeyong membuka pintu, melepas sepatu bot dan mantel, lalu berlari ke kamarnya, membanting pintu di belakangnya. Dia merangkak ke tempat tidur, menutupi dirinya dengan selimut, dan membiarkan air matanya mengalir lagi. Meringkuk seperti bola, dia mendengar ketukan di pintu. Dia tetap diam saat pintu terbuka, menampakkan Thomas dan ibunya masuk ke dalam.
"Bro, sst, tidak apa-apa. Aku di sini," kata Thomas sambil duduk di sebelahnya dan meletakkan tangannya di bahu Taeyong. Taeyong perlahan merangkak ke arahnya dan memeluknya. Thomas selalu ada untuknya, bahkan saat ayah mereka memukulnya. "Aku kehilangan dia. Dia sudah pergi," bisik Taeyong ke bahu Thomas.
"Apa? Mengapa? Bagaimana?" Thomas tampak kaget. "Dia bilang kalau aku harus menikahi Katrina, maka aku harus menikah. Bahwa kita tidak bisa bersama," jawab Taeyong, suaranya penuh kesedihan.
Taeyong merasakan tangan lain di punggungnya, itu ibunya. "Maafkan ibu, sayang. Dan ibu minta maaf karena bereaksi berlebihan kemarin," kata ibunya dengan lembut. Taeyong hanya mengangguk, merasa sedikit tenang dalam pelukan Thomas.
"Jadi menurutku sudah waktunya untuk menyelesaikan urusan pernikahan. Tinggal 5 bulan lagi," kata Taeyong, masih terisak. "Itu bisa menunggu. Biarkan itu menjadi urusan mereka yang menanganinya. Saat ini yang penting adalah kau melepaskan rasa sakitmu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Menangislah di bahuku selama yang kau mau," kata Thomas, mencoba menenangkan adiknya.
Setelah ibunya pergi, Taeyong tiba-tiba merasa sangat lelah. Matanya terpejam, dan dia tertidur lelap, seolah-olah segala rasa sakitnya menghilang sejenak.