RIP Sopan :'(
Enjoy the chapter below!
——————————
Kejadian tadi benar-benar mentalku anjlok. Ditambah dengan Sori yang menangis tersedu-sedu bersama Gentar dan Supra di sebelahnya turut menambah beban mentalku yang tengah syok itu.
Tanpa basa-basi, aku langsung saja menghampiri mereka dengan tergesa-gesa. Sedikit tidak kuat karena melihat darah yang tercecer selama perjalanan Sopan menuju ke dalam mobil ambulan. Aku harap ia baik-baik saja.
"Supra! Ini– ini kenapa? Sopan kenapa?" Tanyaku sedikit panik, namun aku mencoba tenang karena aku yakin itu lebih baik untuk saat ini. Dan Supra yang awalnya mencoba membantu Gentar menenangkan Sori seketika berbalik menghadap padaku.
"Itu... Aku kurang tahu kronologi kejadiannya bagaimana. Tapi yang pasti, Sopan jatuh dari lantai 6." Jawab Supra yang seketika membuatku mencelos. Sopan yang itu, jatuh dari lantai 6?
"Dia jatuh... Dari lantai 6?"
Supra mengangguk, namun ekspresi wajahnya tampak ragu dan khawatir. Ia menatapku dengan jeda, sebelum kemudian ia menyuarakan isi hatinya.
"Wajah Sopan pucat, ada keringat juga di sekitar wajah dan tangannya. Mungkin nggak kalau dia panik sebelum jatuh?" Tanya Supra yang membuatku mengernyit pelan. Dikejar? Siapa yang akan mengejar Sopan hingga Sopan tanpa pikir panjang lompat dari tangga lantai 6?
"Oke, Aku nggak yakin– tapi, sekarang kita nyusul Sopan dulu okay? Biar sekalian juga si Sori kalau mau dianter pulang..." Usulku pada Supra yang diangguki olehnya. Dan kebetulan sekali, Ayah Supra juga sudah menjemput Supra.
Supra menatap padaku, lalu kubalas dengan anggukan. Dan kami segera saja membawa Sori yang masih syok itu ke mobil Ayah Supra untuk diantar ke rumah sakit tempat Sopan ditangani.
Perjalanan ke rumah sakit tidak cepat, cukup lamban karena macet yang terjadi. Tidak banyak hal yang dibicarakan di mobil Ayah Supra. Selain Supra dan Ayahnya yang berbincang tentang kejadian itu di kursi depan.
Sori tetap hening ditempatnya, sementara Gentar tampak melamun. Aku tidak tahu apa yang kedua orang itu pikirkan, terutama Gentar. Ia terkadang sangat sulit untuk ditebak isi pikirannya.
Di saat kami tiba di rumah sakit, kami segera saja bergegas menuju meja administrasi. Terutama Sori yang panik bahkan hingga asmanya kambuh.
"Sori! Bernafas! Pelan-pelan... Ambil nafas... Keluarin." Ucapku lamban untuk menuntun Sori yang hampir saja kehilangan nafas. Di sini aku dibantu oleh Gentar yang tidak berkata-kata sama sekali sejak tadi.
Sementara Supra dan Ayahnya masih berada di meja administrasi. Sepertinya tengah mengurus biaya penanganan dan lain sebagainya. Kenapa mereka terlalu baik, sih?
"Sori... Tenang aja, ya? Aku yakin Sopan baik-baik aja, Sopan itu kuat. Mental Sopan itu kuat. Inget kan, kalau mental yang turut menjadi penopang fisik yang kuat." Ucap Gentar menyemangati. Meski entah kalimatnya benar ataupun tidak, namun aku tidak menyangkalnya.
Sori prioritas pertama untuk kami saat ini. Sopan, biarlah dokter dan tenaga lainnya yang mengurusnya untuk saat ini.
"Guys... Sopan masih ditangani di UGD, dia kena kategori 1." Ucap Supra lemas. Aku menatap padanya yang baru tiba lalu mengangguk paham.
"Tapi– tapi Sopan bakalan baik-baik aja, kan? Ya kan Supra?"
Supra mengangguk, ia memeluk Sori erat. Seolah ia tengah menunjukkan kepada Sori bahwa yang panik bukan hanya Sori. Namun kami.
"Stay chill, Sori. Jangan panik, bernafas pelan-pelan. Kami juga panik di sini, and I trusted that Sopan will be fine. Dia anak kuat, aku percaya itu."
Sori mengangguk, dengan aku yang ikutan mengangguk untuk memperkuat pernyataan Supra. Gentar di sana masih tampak melamun, entah apa yang tengah ia pikirkan. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut.
Dan keheningan itu berakhir dengan Ayah Supra yang tiba-tiba menghampiri kami. Beliau mengatakan beberapa hal terkait bahwa ppembayaran mulai dari penyelidikan, penanganan, dan ruang rawat Sopan sudah diurus oleh Ayah Supra.
Kami merasa bersyukur, terlebih lagi Sori yang sampai hampir bersujud karena rasa berterimakasih Sori yang tinggi. Memang benar, jika bukan karena Ayah Supra, entah apa yang akan terjadi.
Dan saat itu, mataku tak sengaja menangkap siluet yang cukup kukenal. Siluet orang yang tidak kuduga untuk berada di sini. Aku pikir, ia seharusnya tak berada di sini. Namun ia justru berjalan ke arah kami dengan wajah seriusnya.
"Kenapa kamu ada di sini... Glacier?" Tanyaku pelan. Aku tak ingin membuat keributan apapun di rumah sakit, dan sebaiknya begitu pula dengan Gentar. Karena kulihat ia sudah mulai ingin mengatakan sesuatu.
Berterimakasihlah kepada Supra dan Sori yang menahan apapun yang ingin dikeluarkan oleh Gentar dari mulutnya itu. Atau kami semua akan mengalami masalah serius.
"Maaf, tapi aku ke sini bukan buat cari keributan. Dan aku minta tolong buat kerja sama kalian. Sekali ini saja, tolong."
Aku terdiam sejenak. Permintaan tulus dan serius dari Glacier terdengar terlalu menggoda untuk didengarkan. Seolah, jika aku kami mendengarnya, maka kami yang akan menyesal.
"Bilang. Ucapin apa yang harus kamu ucapin, Glacier. Situasi ini bukan situasi yang cocok untuk kita bertengkar juga." Balasku dengan sama seriusnya. Dan saat itu juga, Supra menyarankan kami untuk berbincang di tempat lain.
Beruntungnya Ayah Supra mengizinkan kami untuk mencari tempat nyaman kami. Sementara Ayah Supra akan menjaga Sopan dan menunggu kabar terbarunya.
Jadi, kami pergi dari sana.
...
"Jadi, kamu mau ngasih tau apa?" Serang Gentar tajam pada Glacier. Bukan hanya Glacier yang merasakannya, kami juga merasakannya secara buta.
"Gentar."
"Iya, iya, Frostfire. Maaf, aku cuma nggak sabar." Sela Gentar tak mendengarkan peringatanku lebih lanjut.
Aku hanya menghela nafas pelan, lalu menatap Glacier. Mengizinkannya untuk menjelaskan apa yang ingin ia jelaskan, atau apa yang ingin ia katakan.
"Aku... Sebenarnya aku sempet lihat Sopan di tangga– TAPI, ada tapinya Gentar. Sewaktu aku keluar dari kamar mandi, Sopan udah lompat dari tangga." Ucap Glacier yang membuat kami berempat syok.
Jadi, Sopan benar-benar melompat dengan kesadarannya?
"Aku belum selesai, kalian jangan nyimpulin apa-apa dulu," Glacier menyela pikiran kami dan mulai melanjutkan kalimatnya, "tadi itu, Sopan kelihatan kayak didorong orang."
"... Siapa yang dorong Sopan?"
Aku menatap pada Sori, dari nada bicara Sori saja sudah membuatku merinding. Entah apa yang saat ini ia pikirkan, atau entah apa yang akan ia lakukan kepada sosok yang mendorong Sopan itu.
Yang pasti, itu terdengar dan terasa menakutkan.
Aku menatap pada Glacier, menunggu apapun yang akan ia katakan. Bukan hanya aku yang menunggu, Supra, Gentar, dan Sori juga turut menunggu apapun yang akan Glacier katakan.
"Aku nggak tahu apa yang dorong Sopan. Tapi yang pasti, Sopan dicekik dan ia didorong jatuh dari tangga. Cuman..." Ia kembali menjeda kalimatnya, lagi. Seperti... Kenapa ia ragu?
"Cepet kasih tahu kita Glacier! Kamu jangan gantung kita–"
"Udah aku bilang aku nggak tahu! Nggak ada yang cekik ataupun dorong Sopan! Tapi gerak-gerik Sopan mirip orang digituin!"
Wah... Apapun itu, ini rumit.
——————————
Published : 26 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
School Mystery - Rumor Masa Lalu
FanfictionNot even the world will support them, because they will change anything in front of them without exception. And they are not destined to change anything. . . . School Mystery - Rumor Masa Lalu Original, writer by NyiiDyaa Inspired by an art on Pinte...