No basa-basi, let's go to the chapter below!
Btw Penulis lagi sekarat di ranjang kasur, mohon dimaafkan keterlambatan dari jadwal biasaa :(
Happy reading~
——————————
"Ayo berteman."
Gentar yang duduk disebelahku menghembuskan nafasnya kasar. Aku juga sejenak mulai merasa lelah dengan kalimat sama yang terulang-ulang selama beberapa waktu belakangan ini. Kami cukup bosan dan mulai lelah dengan murid satu ini.
"Kamu sebenarnya mau apa sih? Kenapa keukeuh banget pengen temenan sama kita?" Aku mencoba sabar untuk kesekian kalinya. Menghadapi murid keras kepala di depan kami ini sungguh tantangan berat. Terlebih lagi tidak ada Supra di sini yang kepalanya terlalu dingin namun dapat menjadi telalu panas.
"Aku kan sudah mengatakannya. Aku mau berteman dengan kalian." Jelasnya dengan alasan yang sama seperti alasan lain yang pernah ia utarakan. Aku sempat ingin membalas dengan argumen, namun Gentar menyelaku terlebih dahulu.
"Mending kamu pergi! Kamu mungkin gak sadar kelakuan kamu itu ngeganggu kita, ya. Harusnya kamu punya pikiran yang lebih dewasa, dong." Gentar berseru ketus, bahkan ia sampai bangun dan posisi duduknya. Aku sedikit terkejut, Gentar bukan tipe yang akan sampai seperti itu ketika kesal. Tapi kenapa Gentar sangat menunjukkan kekesalannya pada murid itu?
"Oke, aku pergi. Maaf kalau ngeganggu."
Dan anak itu pergi tepat setelah ia meminta maaf dengan tubuhnya yang agak membungkuk kepada kami. Aku menatap kepergian murid itu dengan sedikit perasaan ragu dan bersalah. Namun perilaku Gentar itu... Salah dan tidak. Maksud Gentar baik, ia hanya ingin memperjelas bahwa kelakuan murid itu mengganggu kami. Namun cara ia menyampaikannya justru salah, seharusnya ia tak membentaknya begitu.
"Hei, Gentar. Gak usah gitu lain kali, kalau Supra tahu bisa-bisa kamu diberikan ultimatum tujuh hari penuh." Kataku mencoba menenangkan Gentar dengan candaan kering. Dan benar saja, perasaan Gentar jadi lebih membaik ketika aku membawa Supra pada masalah ini. Memang sepertinya Supra adalah kunci segala masalah, ya?
Gentar sekarang sudah kembali mendudukan dirinya disebelahku, sembari menyandarkan diri di pohon. Yah, kami sedang di taman, dan kebetulan ada sebuah kursi yang mengelilingi sebuah pohon besar. Jadi, dan Gentar memutuskan untuk bersantai di sini saja dibandingkan ke kantin.
"Tapi Frost, si Glacier, Gelaster, apa si Gester itu nyebelin! Ugh, masa anak IPS gak nyadar arti tingkahnya sendiri?" Gentar berucap geram. Itu terdengar jelas dari bagaimana ia menggeram singkat di beberapa kesempatan. Kelakuannya itu selalu membuatku tersenyum entah kenapa, lucu saja kalau diperhatikan.
"Udah, udah. Gak papa, mungkin dia cuma pengen temenan sama kita, tapi gak tahu cara bersosialisasi dengan baik dan benar." Kataku mencoba mencairkan suasana. Sekalian mencoba berpikir positif tentang murid baru bernama Glacier itu.
Ah, seharusnya aku menceritakannya dahulu pada kalian. My bad. Akan aku ceritakan awal mulanya dulu. Intinya, ini terjadi tepat dua hari setelah Supra berangkat mengikuti lomba. Ada murid pindahan di sekolah kami, murid yang sama yang meminta pertemanan kepada kami sebelumnya.
Namanya Glacier Indra Germata, kalau menurut pengakuannya, ia mau dipanggil sebagai Glacier. Dan Glacier ini murid pindahan yang masuk ke kelas IPS, meski aku yakin nilai prakteknya akan cukup buruk di sana. Tapi baiklah, anggap saja dia normal.
Dari sejak awal kepindahannya di sekolah ini, ia selalu menghampiri kami. Pertama kali aku bertemu dengannya adalah saat di gerbang. Aku tak sengaja menabraknya, dan yah, kami mengobrol sejenak sebelum Gentar tiba dan menyeretku pergi.
"Duh, maaf banget ya! Aku udah nabrak kamu, ada yang luka atau kotor?" Aku bertanya dengan panik ketika melihatnya terjatuh tepat didepanku. Salahku karena berlari meski sadar secara penuh bahwa gerbang penuh murid yang berlalu lalang.
Dia, yang entah kenapa tidak kukenali itu menaikkan pandangannya padaku. Tepat pada wajahku, karena kami sempat berkontak mata selama beberapa waktu. Aku yakin dengan penilaianku bahwa ia terkejut saat melihatku. Tapi, kenapa raut terkejutnya itu seperti takut?
"Hei... Aku minta maaf udah nabrak tadi. Kamu beneran gak papa, kan?"
Aku bertanya pelan, masih mengulurkan tanganku. Aku mencoba sebisa mungkin untuk tidak terlihat seperti seorang yang jahat. Tatapan takutnya padaku itu menggangguku lebih dari apapun. Tapi beruntungnya ia menyambut uluran tanganku setelahnya. Meski ragu.
"Makasih..."
Dia menggumamkan sesuatu, tapi aku tidak yakin selain uacapan terima kasih. Tapi aku tak akan mengambil pusing soal itu. Aku hanya mengangguk, menerima ucapan terima kasih darinya serta tidak lupa meminta maaf akan kelakuanku.
"Kamu... Punya teman yang suka bermain biola?"
Aku mengernyit, kenapa dia bertanya soal itu? Tapi, saat itu aku hanya berpikir mungkin saja ia terlalu malu untuk bertanya pada murid lain. Sepertinya memang benar begitu, ia gugup.
"Ada. Kamu juga main biola? Aku bisa antar kamu ke klub orkestra, atau klub musik." Aku menawarkan dengan sukarelawan. Dan setelah kuperhatikan lebih jauh, dia tidak mengenakan seragam sekolah sini. Apa dia murid lain? Atau murid pindahan?
Tapi, dia menggeleng dengan tawaranku. Entahlah, mungkin ia memang tidak berniat masuk pada keduanya. Atau mungkin ia bertanya begitu karena dia fans Supra? Kalau benar, itu keren.
"Terus–"
Aku belum sempat mengatakan apa-apa pada murid itu, sebab tiba-tiba saja aku ditarik masuk ke dalam gedung sekolah. Pelakunya jelas Gentar. Dan Gentar mengatakan bahwa aku hampir terlambat. Dan, yah, memang apa yang ia katakan adalah kebenaran. Lima menit lagi bel sekolah berbunyi dan aku masih berada di gerbang sekolah.
Tapi, murid tadi bagaimana kabarnya?
Dan, hal yang aku khawatirkan selama di kelas tadi terhapus ketika melihat murid itu berada dihadapanku dan Gentar yang baru saja akan pergi ke kantin. Tatapannya tajam, tapi bukan dalam artian buruk. Mungkin seperti memperhatikan segala detail yang ada antara aku dan Gentar.
"Siapa kamu?" Tanya Gentar memecah keheningan yang membunuh itu. Suaranya terdengar terititasi, mungkin ia terganggu dengan kehadiran murid lain di tengah jalan. Aku juga kaget, tapi tidak sampai terganggu seperti Gentar.
"Kamu... Ah, aku Glacier Indra Germata. Aku cuma mau ngobrol sedikit sama F–"
"Ngomongnya bisa gak, kalau nggak di sini? Kamu ganggu orang mau lewat." Aku mengernyit ketika mendengar nada suara Gentar yang menurutku jelas seperti mengusir murid bernama Glacier itu. Aku menatap Gentar, mencoba mencari tahu apa yang dipermasalahkan oleh Gentar dari murid itu. Tapi aku buta.
"Mending, kita duduk dulu? Gimana Gen–"
"Nggak. Aku udah janji sama Sopan, dia pasti udah nunggu kita. Ayo!" Tiba-tiba saja Gentar menyeretku pergi dari hadapan Glacier. Aku sedikit heran, namun juga merasa bersalah pada Glacier. Glacier bahkan sampai terdiam ditempatnya saat Gentar memaksaku pergi.
Tapi, ekspresi Glacier seperti kecewa. Kenapa dia kecewa?
Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Sedari awal, entah kenapa aku menyadari ada perbedaan dari Gentar yang melihat Glacier dan tidak. Seolah, Gentar menghindari Glacier. Apa mereka mungkin saja pernah kenal saat SMP? Tapi, apa hubungan mereka berdua sampai membuat mereka saling tak nyaman melihat kehadiran satu sama lain?
"Kenapa kamu tinggal dia gitu aja? Nggak sopan, Gentar..." Aku mencoba sebisa mungkin meredakan emosi yang tampak dari ekspresi Gentar. Dan sepertinya berhasil, karena wajah Gentar melembut, meski sedikit.
Dia hanya diam menyeretku mendekat pada meja tempat Sopan berada. Ada tiga mangkuk basko di meja kantin yang sedikit teracak-acak. Mungkin saja Sopan memindahkan beberapa isian pada bakso kami seperti biasanya.
"Biarin," aku terhenyak sejenak, kenapa nada suara Gentar sangat datar? "dia itu cuma virus yang bakalan merusak, cepat atau lambat."
"Gimana?"
——————————
Published : 23 Juni 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
School Mystery - Rumor Masa Lalu
FanficNot even the world will support them, because they will change anything in front of them without exception. And they are not destined to change anything. . . . School Mystery - Rumor Masa Lalu Original, writer by NyiiDyaa Inspired by an art on Pinte...