"Maaf, Tuan Rafael. Keadaan Tuan Sopan untuk saat ini sedang diambang batas. Ia tengah dalam tidur panjangnya."
Itu bukanlah kata-kata yang sulit untuk dipahami olehku, namun tetap saja rasanya menyakitkan untuk mendengarkan langsung. Dan pula, rasanya tak mungkin jika Sopan tidak mengalami keadaannya sekarang.
Koma. Kondisi di mana seseorang mengalami ketidaksadaran atau biasanya adalah tidur panjang dan atau mimpi panjang karena luka yang parah, atau karena benturan keras pada kepala.
Aku menghela nafas, kondisi ini tak baik. Yang lain juga tampaknya tak baik-baik saja. Ini mengerikan.
"Dokter, apa kami boleh masuk dan menjenguk Sopan?" Tanya Sori kepada salah satu dokter yang sebelumnya menangani kondisi Sopan.
Dokter itu menatap pada Sori, kemudian menatap pada kami. Setelahnya, beliau baru menatap pada Ayah Supra, Tuan Rafael.
"Sebaiknya, tidak untuk sekarang. Setelah kondisinya pulih, anda sekalian akan diizinkan untuk menjenguk Tuan Sopan." Dokter itu menjawab dengan nada yang ramah, dan aku yakin ada senyum yang tersembunyi dibalik maskernya.
"Tapi, untuk saat ini anda sekalian dapat menengok keadaan Tuan Sopan melalui kaca pembatas ruangan saja." Sambung salah satu dokter lainnya yang kini keluar dari ruangan. Dan disusul dengan Sopan yang dipindahkan dengan kasur pasien.
Sori tampak begitu khawatir, itu jelas sekali dari gerak-geriknya dan ekspresinya. Kami, kecuali Tuan Rafael, menyusul Sopan yang dipindahkan ke ruangan rawat. Ruangan rawat Sopan terlihat amat mahal dan penuh dengan alat-alat.
"Supra... Aku nggak tahu lagi kalau bukan gara-gara kamu Sopan kabarnya gimana." Ucap Sori dengan nada bergetar yang samar. Ia memeluk Supra, cukup erat. Dan itu membuatku sedikit sedih, jujur saja.
Gentar dan Glacier tak banyak berbicara saat ini. Bahkan sejak tadi, namun aku yakin ada banyak hal di dalam pikiran mereka saat ini. Aku tak dapat menebak isi pikiran mereka.
"Guys, ini udah malem. Kalian masih mau di sini atau pulang?" Supra bertanya setelah Sori melepaskan pelukannya. Yang mana pertanyaannya membuat kami menatap kepada Supra.
"Sebenarnya aku belum ngabarin orang tuaku sih... Tapi aku yakin mereka nggak bakalan larang aku." Jawabku pelan. Orang tuaku tidak sekejam itu untuk membiarkanku setres memikirkan kondisi temanku yang sedang sekarat di rumah sakit.
"Ayahku bahkan nggak di rumah hari ini." Gentar melanjutkan dengan acuh tak acuh. Yah, seperti yang dapat ditebak dari seorang Gentar.
"Aku udah ngabarin orang tuaku, kok. Mereka bilang aku harus jaga diri, jangan sampai ngelakuin hal aneh-aneh." Jawab Glacier ketika tatapan kami jatuh padanya.
Glacier ini... Orangnya sedia payung sebelum hujan, ya?
"Okay... Kalau Sori–"
"Aku stay di sini, Supra. Aku pengen nungguin Sopan..."
Aku menatap pada Sori dengan sedikit iba. Keadaan Sori tidak cukup baik, apa ia bahkan sudah makan?
"Tapi, yah... Kalaupun makan, emangnya bisa nelen?"
Hening terjadi di antara kami, hingga kemudian Supra mengajukan usulan yang tidak kami duga sebelumnya. Usulan yang sebenarnya cukup bagus dan efisien.
"Mau nginep di rumahku aja nggak? Nggak jauh-jauh banget dari sini." Supra menawarkan diri dengan santai, hampir terlalu tenang. Yah, itu kelebihan Supra seorang.
Kami sontak saja mengangguk. Entah itu aku, Gentar, Sori, bahkan Glacier mengangguk karena merasa itu ide yang amat sangat bagus. Karena percayalah, aku yakin itu sangat-sangat efektif untuk kondisi saat ini.
Jadi, tanpa menunggu waktu, kami akhirnya diantar kembali terlebih dahulu oleh Tuan Rafael. Atau Ayahnya Supra. Kami diantarkan ke kediaman Supra yang... Megah. Luar biasa megah dan mewah.
Namun, kemewahan itu bukanlah apa-apa jika kamu mengingat kondisi saat ini. Muram sedikit, namun setidaknya lebih santai daripada sebelumnya.
Kami masuk kedalam kediaman Supra sesuai dengan arah yang Supra tuju. Rumah Supra itu... Seperti museum. Ada banyak patung, taman yang seperti labirin, dan air mancur besar di halaman rumahnya.
Sementara di dalam, dipenuhi dengan lukisan, artefak kuno dan tradisional, alat musik, patung, dan perabotan yang bernilai tinggi. Dan aku yakin, karpet berbentuk harimau itu adalah kulit harimau sungguhan.
Bernilai tinggi dan luar biasa indah. Meskipun sedikit usang karena usia.
Supra tidak membawa kami kemana-mana. Kami hanya dibawa ke kamar Supra untuk melanjutkan investigasi yang tertunda sebelumnya. Dan kamar Supra adalah tempat yang sangat cocok untuk melakukan investigasi.
"Aku mulai mikir kalau Supra aslinya detektif, bukan ahli waris." Gumam Gentar yang membuatku memukul kepala belakangnya sedikit. Tapi setidaknya, Sori dapat tertawa pelan karena candaan itu.
"Ahaha... Tapi iya sih. Supra, kamu itu cocok buat jadi detektif atau peneliti, dibandingkan jadi ahli waris." Sambung Sori melanjutkan candaan Gentar dengan sedikit bobot dalam ucapannya.
Kenapa ini sedikit melenceng, ya?
"Hm... Aku lagi pikir-pikir sih. Bisa aja kujadiin pekerjaan sampingan, kan?" Supra berkata dengan nada bercandanya. Meski bagi sebagian orang itu adalah nada serius.
"Oke, daripada itu lebih baik kita catat poin-poin penting yang udah terjadi selama ini. Dan kuharap, tidak ada yang rasis di sini." Ucap Glacier sedikit menyela pembicaraan santai ini. Sembari matanya melirik pada Gentar, dan aku sangat amat paham apa maknanya.
Intinya, Glacier ingin serius dan ia tak mau Gentar bertingkah tidak kooperatif saat ini.
"Nggak usah kamu bilang aku juga udah tahu, aku nggak sebodoh itu."
Glacier memutar matanya, disertai Supra yang mendengus akan perbincangan tak jelas mereka berdua. Sementara Sori tampak diam, seolah berpikir. Dan untuk sejenak, untuk sejenak sekali, ekspresi sedihnya menghilang.
"Kamu lagi dapet ide apa gimana, Ri? Kok kayaknya serius banget." Tanyaku memastikan apa yang kupikirkan adalah benar. Dan di luar dugaan, Sori menganggukkan kepalanya.
"Lumayan ada sih. Agak sedikit fantasi gitu, mungkin. Tapi... Kalian percaya gak kalau sekolah kita itu angker?" Ungkap Sori yang membuatku terdiam sejenak. Itu bukan hanya takhayul, fantasi, ataupun fiktif.
Tapi nyata. Dan aku serta Sopan lah saksi matanya.
"Itu masuk akal. Tapi kalah menurut cerita Frostfire sebelumnya yang nemu hantu di ruang orkestra... Berarti waktu kamu lari terus nabrak aku itu gara-gara itu?" Supra menyimpulkan kejadian yang sudah amat lama itu dengan pikirannya.
Aku sedikit tercengang, yang benar saja Supra masing mengingat kejadian itu? Padahal normalnya orang tidak akan mengingat kejadian remeh. Lagipula, Supra kan tidak mengalaminya.
"Masih inget aja..."
"Guys, kok aku ngerasa kalau semua kejadian ini berurutan ya?"
Aku menatap pada Glacier dengan tatapan penasaran. Yang lain juga tampak sama penasarannya. Entah apa yang ada dipikiran oleh Glacier saat ini.
"Maksudmu apa?" Tanya Gentar untuk menjadi dialog rasional hari ini tanpa setitikpun adanya nada kekesalan di sana. Itu baru, mungkin.
"Kalian ngerasa nggak sih kalau ini kayak udah terstruktur?" Glacier mengungkapkan maksudnya dengan nada lirih. Yang entah bagaimana langsung dapat ditangkap oleh otak Supra dan Sori.
"Jadi, maksudmu itu kalau semua itu emang udah direncanain dari awal?" Sori menebak-nebak kemungkinan maksud ucapan Glacier dengan apa yang ia tangkap.
"Dan semua ini ibarat kata adalah rencana mereka yang gaib karena suatu alasan, begitu?" Dan Supra yang menambahi tebakan Sori dengan kalimatnya sendiri.
Aku benci mengakuinya, tapi kurasa... Itulah satu-satunya alasan masuk akal saat ini.
——————————
Published : 2 Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
School Mystery - Rumor Masa Lalu
FanfictionNot even the world will support them, because they will change anything in front of them without exception. And they are not destined to change anything. . . . School Mystery - Rumor Masa Lalu Original, writer by NyiiDyaa Inspired by an art on Pinte...