Piarap Mesti Tiarap

106 38 14
                                    


Happy Reading, Dear💕
_____________

Pandu berdiam diri, membiarkan dirinya tertinggal dari teman-temannya yang lain. Pandangannya memandangi gedung mewah yang besarnya berkali-kali lipat dari tempat tinggalnya. Tidak ada arti dari raut wajahnya yang terus datar tanpa mengeluarkan ekspresi sedikitpun.

Rumah impiannya. Rumah Chrysan.

Dulu, Pandu sempat membereskan hidupnya yang kacau setelah ibunya meninggalkan dirinya untuk selamanya. Pandu memungut puing-puing luka paska kehilangan sang ibu bersama ayahnya, kala itu Ayah Pandu selalu meminta dirinya untuk tetap tegar dalam menghadapi segala hal.

Awalnya, Pandu ragu untuk percaya dengan kalimat-kalimat semangat dari sang ayah. Bahkan hingga saat ini, Pandu masih teringat jelas bagaimana penuturan Ayahnya.

"Kamu jangan sampe menyerah ya, Le. Pokoknya, seberat apapun masalah kamu, kamu jangan pernah putus asa, kamu boleh kalau missal istirahat, yang penting ngga menyerah, Le."

"Jangan sampai, kamu menyesal di kemudian hari karena kamu selalu menyerah di masa muda. Apapun itu, Le."

"Sebenarnya, manusia itu bisa berubah sewaktu-waktu. Walau begitu, Ayah selalu berharap sama kamu, supaya kamu ngga membenci dan menyerah. Terlebih, kalau suatu hari Ayah mengecewakan kamu, kalau suatu hari ternyata Ayah ngga bisa menepati janji Ayah ke kamu, tapi kamu harus janji sama Ayah, jangan benci sama Ayah, ya...?"

"Karena satu alasannya, Ayah juga manusia, Ayah tempatnya salah, Ayah bukan Tuhan, Ayah bisa jahat, Le. Tapi yang harus kamu tau, semua Ayah di muka bumi ini, pasti sayang dan cinta dengan anak-anaknya. Mungkin, memang penyampaiannya yang berbeda, tapi percaya ini, yaa..."

Pandu menggelengkan kepalanya, lidahnya menusuk pipi bagian dalamnya. "Ayah, rumah Chrysan, persis sama rumah yang pernah Ayah gambar, rumah yang katanya mau kita tempati bareng..." gumamnya pelan. Pandu membawa kedua telapak tangannya di pinggang kecilnya, kemudian pundaknya terangkat pelan.

"Ayah, rumah impian kita, ternyata rumah temenku, Yah."

"Seharusnya Ayah ngga dituduh sebagai pembunuh, Ayah pasti bisa komunikasi sama Papah Chrysan buat cari info terkait tukang bangunan rumah yang bagus, Yah..."

"Sayang banget, rumahnya belum sempet dibangun tapi udah runtuh duluan."

Pandangan Pandu masih terfokus pada rumah Chrysan, "Yah, tiap malam, di rumah kecil peninggalan Ayah, aku sendirian, aku kesepian, Yah. Harusnya seusia aku masih mikir besok mau main kemana lagi, bukan mikir gimana cara nangkap pelaku yang ngebayar banyak orang buat ngalihin kesalahannya ke Ayah."

Ibu jari beserta jari telunjuk Pandu menyentuh dahinya, menompangnya agar tidak runtuh. Sesekali ia memijat pangkal hidungnya, giginya saling beradu, pemuda itu menahan gejolak emosi dalam tubuhnya.

Pandu mengusap matanya, saat di rasa telapak tangan seseorang menepuk pundak kirinya.

"Broo..." Suara Mahesa kali ini terdengar sangat kecil.

"Kalau ada masalah cerita, cerita biar lo lega, jangan lo pendem sendiri."

Mahesa memasukan tangannya di saku celananya, matanya menatap intens memandangi seluruh bagian wajah Pandu.

Dapat Mahesa lihat, mata Pandu sudah berkaca-kaca. Namun, temannya itu tidak mau membiarkan air matanya berlinang, Pandu justru cepat-cepat mengangkat bahunya untuk menghapus air matanya.

"Sa,"

Mahesa mengangguk-angguk kecil, "Cowok nangis bukan berarti pecundang, Pan." ujarnya.

"Sa,"

CAMARADERIE || 7Dream's (SEGERA TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang