Tentang Segala Prihal

57 18 5
                                    

___________

Suara kendaraan yang kembali terdengar ramai, seolah menjadi alarm yang menandakan bahwa malam sudah berlalu, serta pagi segera tiba. Udara segar dan dingin, seolah menjadi permula hari, bermula untuk mengejar masa depan, atau justru hanya ikut memulai karena sudah taka da harapan.

Perasaan hampa, seakan memenuhi jiwa raga saat sama sekali tak memiliki tujuan hidup, gairah hidup, semangat, serta alasan untuk tetap hidup. Semua manusia tentu memiliki ego dan nafsu, ego yang tinggi maupun rendah, serta nafsu yang tinggi maupun rendah. Semua itu hanya mampu dikendalikan oleh diri sendiri.

Langit yang belum sepenuhnya terang, masih jelas terukir indahnya bulan sabit. Sepasang mata, seakan tak mampu lagi untuk beralih sebab keindahannya.

Panji menelan ludahnya, tubuhnya sudah berdiri di lorong panti sejak pukul 3 pagi. Saat mengingat dirinya yang selalu bangun di pukul 3 pagi untuk membantu Ibu Panti, Panji pasti akan teringat pada Mahesa yang justru baru beranjak tidur sepulang berdagang.

Semua orang, punya masanya masing-masing.

Pandangannya masih terarah pada langit yang masih terbilang pekat. Panji mengangguk-angguk kecil, bibirnya ia paksa tarik, tersenyum.

Di kala seperti ini, ia pasti selalu mengingat tentang orang tua. Kepalanya seakan penuh pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu jawabannya.

Siapa orang tuanya?

Seperti apa wajah cantik ibunya?

Seperti apa wajah tampan ayahnya?

Mengapa ia tak tinggal dengan orang tuanya?

Mengapa di kehidupan yang hanya satu kali ini, ia tidak tau siapa Ibu dan Ayahnya?

Mengapa ia tetap lahir, jika nyatanya tak bersama Ayah Ibu?

Untuk apa ia bertahan sampai sejauh ini?

Panji menghela nafasnya kecil, ia sudah muak dengan pertanyaan seperti itu di setiap paginya. Panji sempat putus asa, kala itu, bahkan mengakhiri hidupnya sempat menjadi pilihannya. Namun berhak Ibu Panti yang harus dirinya balas atas kebaikan beliau, serta angina malam yang selalu ia nikmati di angkringan Mahesa... Hal itu cukup membuatnya mempertimbangkan, berhenti, atau coba sekali lagi.

Tepukan di bahu sebelah kirinya, membuat Panji menoleh spontan. Pemuda itu tersenyum saat mendapati Ibu Panti yang entah kapan tiba di sampingnya.

Ibu Panti turut tersenyum, "Kamu kenapa?" Alis Ibu Panti sedikit naik, memastikan keadaan anak pantinya.

Panji mengalihkan pandangannya, memandangi jalanan di depan Panti. "Terima kasih ya, Bu. Ibu selalu tanya keadaan anak-anak, termasuk aku... Ibu selalu peduli sama semua orang."

Ibu Panti kembali tersenyum, kepalanya melingik wajah Panji yang fokus ke arah depan.

"Ibu dulu punya Ayah yang hebat, dia pernah cerita, sewaktu Indonesia masih dijajah, Ayah selalu dipeluk sama Ibunya, Ayah selalu disuruh buat tetep diem di ruang bawah tanah, nah setelah Ibunya kembali ke ruang bawah tanah, beliau pasti tanya ke Ayah tentang keadaan Ayah, padahal Ibunya Ayah yang terluka, tapi dia selalu memastikan anaknya baik-baik saja."

"Semasa hidupnya, Ayah juga selalu menanyakan kabar Ibu. Ibu dulu sering dimarah, tapi setelah emosi Ayah merada, beliau selalu minta maaf ke Ibu, atau kadang Ayah juga memeluk Ibu... Padahal, ngga jarang itu karena kesalahan Ibu sendiri."

"Ibu cuma mau, semua anak-anak itu ngerasain apa yang Ibu rasain. Hal yang baik, akan Ibu salurkan, hal yang buruk, biar Ibu aja yang ngerasain."

Ibu Panti terus mengulas senyumnya kala dirinya menceritakan tentang Ayahnya dengan Neneknya. Namun, sepasang mata Ibu Panti sama sekali tak melihat senyum di wajah Panji.

"Ibu bahagia?" Ibu Panti mengerutkan keningnya setelah mendengar pertanyaan Panji.

"Bahagia?"

Panji mengangguk, "Punya Ayah yang sayang, karena semasa kecilnya punya Ibu yang hebat dan penyayang." Barulah senyum Panji merekah. Namun tak seperti biasanya, sedikit berbeda.

Ibu Panti mengangguk antusias, "Ibu sangat, sangat bahagia... Ibu bahagia punya Nenek yang hebat, sehingga melahirkan Ayah Ibu yang ikut hebat dan penyayang, sampai akhirnya bisa melahirkan anak seperti Ibu ini. Ibu merasa beruntung dan senang terlahir di dunia." jelasnya panjang lebar. Lengannya Ibu Panti tumpukan pada pematas lorong yang tinggi sedadanya.

Panji tururt mengangguk, melihat antusiasme Ibu Panti.

Panji semakin memperdalam tatapannya pada wajah Ibu Panti. "Nanti, apa aku bisa menurunkan cinta dan kasih sayang ke anak-anak aku di masa depan? Sedangkan aku? Aku ngga punya cinta dan kasih sayang itu sendiri dari orang tua aku, Bu." ucap Panji, meminta jawaban dari Ibu Panti.

Ibu Panti tersenyum sekaligus mengerutkan keningnya. "Kamu pasti bisa, Nji... Kalaupun kamu tidak menerima cinta dan kasih sayang dari Bapak, Ibumu, kamu, kamu yang harus memulai untuk pasangan dan anak-anak kamu di masa depan." Ibu Panti mengangguk-angguk, mempercayai Panji, bahwa pemuda itu pasti akan bisa melewati ini.

Panji menghembuskan nafasnya pelan, "Ibu, setelah kemarin aku berusia tujuh belas tahun, aku mulai paham tentang diri aku, keluarga, Ayah, Ibu, masa depan, dan hidup ini."

"Aku ngga pernah nyangka, kalau setelah aku paham hal sebanyak ini, justru aku merasa lebih hidup. Aku mulai merasakan sedih, haru, bangga, kecewa, emosional... Tapi aku juga ngga tau harus apa, waktu pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri ngga tau jawabannya itu seolah nyerbu pikiranku, Bu."

Ibu Panti belum pernah mendapati wajah Panji seperti saat ini. Raut wajah frustasinya seolah mendominasi, Ibu Panti sudah bersama Panji sedari usia pemuda itu dua bulan. Dulu, ia yang menerima, serta sampai saat ini usianya yang menginjak 18 tahun- ia yang merawatnya.

Walau banyak yang belum bisa Ibu Panti berikan pada Panji, namun ia selalu berusaha untuk mengelabuhi pikiran Panji, seolah dirinya itu Ibu kandungnya.

"Itu normal, Nji. Semua orang ngalamin hal begitu di waktu pubertasnya."

"Bahkan nama Badrun Panji Habibi ini- pemberian dari Ibu kan??" Panji bukannya merespon perkataan Ibu Panji sebelumnya, ia justru mengatakan hal yang sudah memenuhi benaknya belakangan ini.

Ibu tersenyum untuk kesekian kali, telapak tangannya mengusap punggung Panji. Lengannya terentang, membuka ruang untuk memeluk Panji.

Panji memandangi wajah Ibu Panti cukup lama, melihat anggukan di kepala Ibu Panti, Panji akhirnya mulai memeluk tubuh Ibu Panti.

Bila sebelumnya hanya satu telapak tangan yang mengusap, kini ada dua telapak tangan Ibu Panti yang mengusap punggungnya. "Kamu bertahan sampai di usiamu saat ini, itu pencapaian hebat, Nji."

Panji mengangguk dalam peluk, nafasnya memberat.

"Anggap aja, yang kamu peluk ini, tubuh Ibu kandung kamu. Yang ngusap punggung kamu itu Ayah kamu, Ayah kamu yang bangga sama putranya yang sudah sebesar ini."

Panji seketika mengeratkan pelukannya, ia menggigiti pipi dalamnya. Menahan air matanya untuk tidak terjatuh.

"Panji anak hebat,"

"Panji anak kuat,"

"Panji pasti bisa,"

"Panji keren,"

"Anak ibu, sayangnya Ibu, cintanya Ibu, kebanggaan Ayah, anak Ayah..."

Seluruh ucapan Ibu seakan menenangkan bagi Panji, ia benar-benar membayangkan bahwa yang memeluknya itu Ibunya, dan yang mengusap punggungnya sang Ayah. Walau ia tak bisa membayangkan wajah keduanya- sebab tidak pernah melihat wajah mereka, ia tetap berusaha membohongi dirinya.

Panji kembali tersadar, walau dirinya tak pernah bertemu dan tidak akan pernah tau Ayah dan Ibunya, tapi ia beruntung bisa memiliki Ibu Panti sebaik dan sehebat ini. Mungkin, jika kala itu orang tuanya tak meninggalkan dirinya di mobil box Ibu Panti, pasti ia tak akan tumbuh sebesar ini.

Semuanya, memiliki prihal baik maupun buruknya, sekali lagi, semuanya.

CAMARADERIE || 7Dream's (SEGERA TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang