P.8

13K 286 11
                                    

Saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya untuk para readers.. saya baru bisa mengupdate cerita ini sekarang karena harus menyelesaikan karya tulis dan berbagai tugas lainnya.. Terima kasih yang sudah bersedia untuk menunggu..terima kasih yang sudah ngevote dan comment. Saya selalu mendapat pemberitahuan dari wattpad setiap hari..hehehe :D

Ok, selamat membaca ya.. Semoga part berikutnya nggak ngaret lagi.. Amin.



"Pagi ini sangat cerah sekali. Hmm.. Hei, Brian! Apa aku sudah boleh pulang sekarang?" Tanya Caca dengan ceria dan senyum yang lepas.

"Tidak." Jawab Brian singkat.

"Lalu kapan?" Tanya Caca lagi sambil masih melihat ke arah jendela.

"Tidak tahu."

"Ish! Kau sangat menjengkelkan. Aku ingin pulang! Aku sudah bosan berada di sini! Bayangkan saja sudah tiga minggu aku berada di sini. Aku sudah tidak sakit lagi, bahkan aku tidak di infus lagi! Aku ingin pulang hari ini juga!" Caca sudah tidak tahan dengan sikap Brian yang begitu cuek padanya.

"Hmm."

"Aw. Sakit!" Di saat Caca merintih kesakitan, Brian dengan sigap langsung menghampiri Caca yang memegang kepalanya.

"Caca! Kamu kenapa? Mana yang sakit?"

"Kepalaku sakit sekali. Akh! Aku nggak kuat Brian! Sakit!"

"Kamu tahan sebentar ya aku panggilin dokter." Terlihat sekali raut wajah Brian sangat khawatir, dia tidak dapat menyembunyikannya, apalagi sekarang tangannya di tahan oleh Caca.

"Aku nggak mau sendirian. Aku takut.."

"Tapi kepala kamu kan sakit. Aku harus panggil dokter untuk memeriksa keadaan kamu."

"Aku nggak perlu dokter. Aku cuma perlu sebuah pelukan sekarang." Tanpa banyak bicara lagi Brian langsung memeluk Caca, pelukan yang menggambarkan rasa rindu, sayang dan juga mungkin sedikit benih-benih cinta.

Dibalik pintu dimana Caca dirawat, seseorang memerhatikan mereka. Tatapannya begitu tajam, seolah-olah dia sangat tidak senang dengan adegan pelukan di hadapannya sekarang. Tangannya mengepal keras sampai-sampai tangannya ikut bergetar.

"Lihat saja nanti, kalian berdua tidak akan kubiarkan merasa senang dan bahagia sedikitpun! Tunggu tanggal mainnya!"

***

"Pa.. papa dari kemarin melamun terus, kenapa pa..?"

"Tidak ada apa-apa kok sayang. Papa hanya sedang memikirkan pekerjaan papa saja, kan semenjak Caca masuk rumah sakit, semua pekerjaan papa tertunda."

"Oh, begitu, sudah papa tenang saja, Caca biar aku yang jaga, jadi papa bisa fokus lagi ke pekerjaan papa. Serahin semuanya ke Brian."

"Kamu yakin..?"

"Tentu pa. Mana mungkin aku bohong, lagian papa tahu kan tentang sesuatu di antara aku dan Caca."

"Kau ini. Kau sudah tumbuh dewasa nak, jaga Caca baik-baik, jangan membuatnya meneteskan air mata lagi."

"Of course pa.."

***

"Caca! Caca! Caca!" Kenapa aku terus membayangkan mimpi itu? Siapa pemilik suara itu? Siapa yang terus menerus memanggil namaku? Nada suaranya menyiratkan kekhawatiran. Aku sudah memimpikannya tiga kali semenjak aku bangun dari koma. Mengingat soal koma, aku sudah berbohong pada Papa dan Brian. Ini semua berkat bantuan dokter Alex, untung saja dia teman papa dan aku tidak bisa melupakan orang sebaik dia. Semua ingatan yang kulalui bersama Brian, sudah pulih saat aku memintanya untuk memelukku. Aku sudah menceritakan semuanya pada dokter Alex dan dia memaklumi alasanku untuk tetap seperti hilang ingatan tentang aku dan Brian.

Kiss From My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang