P.2

33.6K 565 9
                                    

Author POV’s

Sudah empat hari Brian merawat Caca di rumah sakit, tapi keduanya masih canggung satu sama lain. Tidak ada yang berusaha mendekat atau sekedar mengobrol. Suster yang biasa memeriksa keadaan Caca juga tidak menggoda mereka lagi. Semua berjalan normal. Namun jauh di dalam lubuk hati Caca, dia merasa mengalami kerugian besar, yaitu dia sudah menghambat perjalanan untuk mencapai tujuannya sendiri.

Selama empat hari itu, ketika Caca sedang sendirian, dia menangis, dia merasa bahwa dia sudah gagal mencapai tujuan itu sesuai dengan yang direncanakan. Dia sangat membenci fisiknya, menurutnya fisiknya ini payah dan lemah dan apa yang tidak ia harapkan sudah terjadi dan sudah terbukti, sekarang dia hanya bisa terbaring di rumah sakit, tanpa melakukan apapun. Caca juga terus mengotot untuk cepat pulang pada dokter ataupun suster yang masuk untuk memeriksa keadaannya. Tapi sayangnya, dia selalu mendapat jawaban yang sama yaitu "tidak bisa, kondisi Anda masih lemah, Anda tidak boleh terlalu banyak melakukan aktivitas.".

Alhasil yang bisa ia lakukan hanyalah, menangis sebagai pelampiasan. Diam-diam Brian mengamati Caca dari depan pintu ruangannya di rawat. Brian selalu melihat setiap Caca menangis bahkan berteriak, dan juga memukul dirinya sendiri. Brian ingin menghentikannya, namun dia merasa tidak ingin ikut campur dengan urusan kehidupan Caca, karena sampai sekarang Brian tetap menganggap Caca sebagai saingannya. Tugasnya hanya sampai Caca sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa.

***

Caca POV’s

Perasaan sedih, kecewa dan marah itu yang kurasakan di dalam diriku sekarang ini. Aku sedih, aku kecewa dan aku marah pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak bisa membuat tujuanku itu tepat pada waktunya. Aku gagal dan aku merasa sesak karena itu.

“Ya, Tuhan.. Kenapa..? Kenapa aku tidak bisa menjalankan rencanaku..? Kau tahu, aku memiliki rencana yang baik.. hiks..hiks..hiks..”

Aku lelah karena terus menerus menangis. Sehingga aku tertidur, aku bermimpi..

Aku berada di sebuah taman, di sana banyak sekali bunga lavender bewarna ungu cerah. Aku tahu persis ini adalah bunga kesukaan papa. Aku melihat ke sekeliling taman itu. Aku berhenti di sebuah ayunan yang digantung di dahan pohon, namun ayunan itu sudah berlapuk. Aku mencoba untuk duduk di atas ayunan itu, syukur bahwa ayunan itu masih kuat menopang tubuhku. Saat sedang asiknya aku duduk di ayunan dan menikmati semilir angin yang sepoi-sepoi, aku merasa ayunan ini bergerak dengan sendirinya. Padahal aku tidak merasa bahwa aku mengayunkannya. Aku berusaha untuk menengok ke belakang dan yang kulihat sangat mengejutkanku.

Di belakangku, ada seseorang yang sangat penting di dalam hidupku. Ya, dia ayahku, dia sedang tersenyum ke arahku. Aku juga membalas senyum termanisku padanya. Semakin lama, ayunan itu berayun semakin pelan dan akhirnya berhenti. Ayahku berjalan hingga dia berada di hadapanku. Kemudian sambil tersenyum dia berlutut dan menggenggam tanganku.

“Anak papa sudah besar dan cantik ya sekarang.. Apalagi kamu sudah mulai terkenal..” Ucap sang papa lembut.

“Terima kasih pa, aku bisa seperti ini juga karena adanya papa dan juga mama yang menyayangi aku, membimbing aku, dan mau bersabar untukku. Tapi pa sekarang mama..”

“Iya.. papa tahu keadaan mama sekarang.. papa juga tahu kamu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga mama. Tapi kamu juga harus memperhatikan kesehatan kamu sayang, dan berhentilah menangis, papa tidak suka kamu menangis terus-menerus, kamu bisa jatuh sakit seperti itu bukan sepenuhnya salah kamu, tapi kamu membutuhkan seseorang untuk menjaga kamu. Kamu memerlukan seorang pria yang bisa menjaga kamu sayang.” Ucap papa.

“Tapi aku hanya ingin  fokus sama mama sekarang..” Tuntutku.

“Iya papa tahu, dia juga tidak jauh darimu.” ucap papa sambil membelai kepalaku halus. “Sampai jumpa nak..” Lanjut sang papa, lalu beliau berjalan mundur dan perlahan-lahan menghilang.

Kiss From My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang