Episode 12

18 0 0
                                    


Matahari sore mulai terbenam di ufuk barat, menciptakan pemandangan yang indah di langit. Rina, Rania, dan Winda bersiap-siap di depan rumah Rina, mengencangkan helm mereka dan mengecek sepeda masing-masing. Mereka merencanakan petualangan sore ini sudah sejak lama, bersepeda melewati jalan setapak yang indah di pinggiran kota.

"Sayang banget Yaya gak bisa ikut," kata Rania, menyesuaikan posisi tas punggungnya. "Dia pasti seneng kalo bisa ikut."

"Ya, tapi dia ada urusan keluarga mendadak." jawab Winda. "Kita bisa ngajak Yaya lain kali."

Rina tersenyum, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Ayo gays berangkat. Kita masih punya banyak waktu sebelum gelap."

Mereka bertiga mulai mengayuh sepeda mereka, menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok di antara pepohonan. Angin sore yang sejuk berhembus, membuat perjalanan mereka terasa menyenangkan. Suara tawa dan canda ria mengiringi perjalanan mereka, menciptakan kenangan baru di setiap kayuhan.

Setelah beberapa kilometer, mereka tiba di sebuah bukit kecil dengan pemandangan indah ke arah kota. Mereka memutuskan untuk berhenti sejenak, menikmati pemandangan dan beristirahat.

"Gak ada yang bisa menandingi pemandangan ini," kata Winda sambil mengeluarkan botol air dari tasnya.

"Real banget." tambah Rania. "Tempat ini benar-benar menenangkan."

Rina duduk di atas rumput, memandang jauh ke cakrawala. Di balik keindahan sore itu, pikirannya tiba-tiba melayang ke masa lalu, mengenang seseorang yang sangat berarti baginya. Pak Dafid, guru sekaligus mentornya yang selalu memberikan bimbingan dan dukungan, telah pergi beberapa bulan lalu karena harus pindah tugas ke kota lain. Mereka berpisah tanpa tahu kapan bisa bertemu lagi.

Rina teringat akan momen-momen mereka bersama, terutama saat Pak Dafid mengajarinya cara mengatasi kesulitan dan memberikan semangat di saat-saat paling sulit. Kenangan itu membuat hatinya terasa hangat, namun sekaligus penuh kerinduan.

"Gimana lo di rumah hari ini Rin?" Tanya Winda sambil menatap lurus kedepan.

"Gimana apa nya, ya gak gimana-gimana, kayak biasanya." Jawab Rina tersenyum simpul sambil memandang keindahan alam yang ada di hadapannya.

"Kita semua tau, lo gak bisa untuk selalu ada buat diri lo sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Bibir lo bisa bilang kuat, tapi hati lo? Lo pasti jelas tau apa yang sebenernya hati lo pengen."

"Iya Rin. Gue juga anak pertama sekaligus tunggal. Gue pasti tau banget seperti apa di posisi lo." Timpal Rania.

"Iya, apa yang kalian bilang itu emang bener. Tapi, gue harus gimana? Cari seseorang untuk jadi pelampiasan atau pelarian. Gue gak mau nge manfaatin orang lain. Gue ga mau orang lain juga terluka karena diri gue yang punya banyak luka dan ikut terbebani karena harus masuk dalam kehidupan gue." jawab Rina dengan tekanan hati dan perasaan sendu.

"Iya Rin, kita tau. Lo bukan tipe orang yang bakal cari pelampiasan demi ketenangan dan kepentingan Lo sendiri." Tutur Winda.

"Coba deh, kalian lihat di sana. Anak kecil itu keliatan seneng banget. Dia punya apa yang gak gue punya." Ucap Rina dengan sedikit tersenyum melihat pemandangan keluarga yang harmonis dan bahagia. Pandangan Rania dan Winda beralih melihat ke arah yang di tunjuk Rina.

"Ngeliat itu, gue jadi ke inget sama pak Dafid. Beliau yang selama ini bisa memenuhi apa yang gak pernah gue miliki dan rasain." Ujar Rina sambil melihat ke arah anak kecil perempuan yang duduk di ayunan dengan tersenyum riang. Tatapan Rania dan Winda menjadi ikut menjadi sendu.

Rania dan Winda saling pandang, merasakan beban emosional yang terpancar dari suara Rina. Mereka berdua tahu betapa pentingnya Pak Dafid bagi Rina, dan bagaimana beliau telah menjadi sosok ayah yang selalu diidam-idamkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Teacher Is My Father Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang