Without Those Songs - The Script

706 26 0
                                    

Malam yang meriah di Le Raison kali ini disponsori oleh peluncuran buku terbaru Aldera Agnes Athiana. Sang penulis legendaris yang telah menelurkan karya-karya hebat yang berkali-kali dicetak ulang dan tetap saja masuk jajaran Best Seller.

"Malam ini mau bawain lagu apa?" Tanya Vee pada Key yang sedang meyisir rambutnya di depan cermin.

"Ada deh. Nanti Kak Vee denger aja sendiri. Hihi." Jawab gadis periang itu sambil bangkit berdiri.

Vee geleng-geleng kepala seraya mengolesi lipstick di permukaan bibirnya. Ia selalu bisa mengandalkan Key disetiap acara di Le Raison. Gadis periang yang kini berusia tujuh belas tahun itu selalu memilih play list nya sendiri. Lagu-lagu yang ia nyanyikan—meski sederhana—namun selalu syarat akan makna.

Dan Vee percaya, dia, Kayyisa Rajatha Pratama, adalah orang yang bisa menerjemahkan lirik lagu dalam perspektif yang berbeda. Seperti halnya puisi, Key juga menggunakan analisis-analisisnya untuk mengutarakan makna eksplisit maupun implisit lagu yang sedang ia bawakan.

Maka setelah polesan di bibirnya selesai, ia ikut bangkit dan berjalan tegap menuju dapur. Sebelum acaranya mulai Vee harus memastikan segala menu yang dihidangkan sudah siap disantap.

"Would Dylan be just a poet?

Would Bono ever know it without those songs?

Would Marley be just a stoner?

Johnny Cast just be a loner without those song?

Would buddy Holly have disappeared?

Or would Lennon still be here without those songs?"

Dari dapur, Vee bisa mendengar dengan jelas suara Key menyanyikan Without Those Songs milik The Script.

Wanita itu tersenyum sambil menata pudding di piring-piring kecil. Lagu yang Key bawakan, selalu tak terduga.

"What happened in their lives? What happened in their heart?

To make them want to write the words.

Gonna tear this world apart.

The beauty of their lives is when they're dead and gone.

The world still sings along

When anything went right. When anything went wrong.

They put it on a song"

Terdengar suara riuh tepuk tangan menggema dimana-mana, ditengah-tengah lagu, Key mulai berdehem.

"Selamat malam semuanya. Terima kasih telah datang di Launching buku terbaru Kak Agnes. Kalian yang sering berkunjung pasti tahu, saya selalu membawakan sebuah lagu dengan maksud tertentu.

Lagu Without Those Songs ini saya persembahkan untuk Kak Agnes yang baru saja kembali mengeluarkan karyanya. Saya sering lihat Kak Agnes nulis di bangku pojokan Le Raison sambil dengerin lagu ini. Katanya, ada sesuatu dalam lagu ini yang bikin  ide menulisnya enggak manguap justru malah makin menguat.

Saya pahami liriknya, dan pikir-pikir ternyata benar juga. Intinya, lagu ini sedang bertanya pada kita.

Tanpa karya, mereka hari ini akan jadi apa, ya?

Tanpa mereka, hari ini dunia bakal berbeda kah?

Dan saya menempatkan posisi saya sebagai Kak Agnes sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Di masa itu saya akan menengok ke belakang. Jejak apa saja yang sudah saya tinggalkan? Manfaat apa yang sudah saya bagikan ke semua orang?

Membuatnya terkenang, dalam waktu yang panjang. Karna Kak Agnes pernah bilang, menulis adalah menciptakan untuk meninggalkan jejak, untuk tetap diingat, tanpa perlu dalam wujud nyata, cukup karya yang dihasilkan.

Jadi, tanpa karyamu hari ini, akan jadi apa kamu di hari depan?"

What happened in their lives? What happened in their heart?

To make them want to write the words.

Gonna tear this world apart.

The beauty of their lives is when they're dead and gone.

The world still sings along

When anything went right. When anything went wrong.

They put it on a song"

Suara tepuk tangan kembali terdengar memenuhi Le Raison malam itu.

Vee yang mendengar semuanya dari dapur ikut tersenyum bangga pada Key yang selalu dapat menyebarkan kebahagiaan yang dimilikinya pada para pengunjung. Lewat suaranya, lewat lagunya. Lewat segala melodi yang mengiringinya.

"Tuh. Mamamu lagi sibuk. Mending kita balik nonton Kak Key, yuk!"

Vee menengok ke arah pintu dapur yag sedaritadi ia biarkan terbuka, senyumannya melebar seiring dengan pandangan matanya yang bertemu dengan sepasang manik mata mungil yang dipancarkan gadis kecil berusia dua tahun di gendongan suaminya.

"Hai sayang. Mau bantuin Mama menghias pudding ya? Sini. Sini." Vee mengambil alih bocah dua tahun itu ke dalam gendongannya. "Leo, bantuin angkatin ini ke depan dong."

"Loh, emang kamu mau kemana?"

"Mau nonton konsernya Kak Key, lah. Iyakan, Renata Mahaprama?"

Bayi dua tahun dalam gendongannya tersenyum saat namanya disebut oleh sang Mama.

Kalau Agnes dan Key berpikir, tanpa karya mereka akan jadi apa. Maka Vee berpikir, tanpa Rere hidupnya akan seperti apa.

Renata Mahaprama adalah bintang jatuh yang selalu dinanti-nanti kehadirannya oleh keluarga Pratama. Bintang jatuh, yang membawa harapan dan seribu angan-angan yang sempat terpikir tak dapat diraih.

Key yang mengusulkan nama Renata alias singkatan dari Rafaelo dan Annata, sementara Mahaprama diusulkan oleh Vee yang tetap ingin menggabungkan namanya dan suaminya. Maharani dan Pratama.

Leo tak diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam penamaan anaknya sendiri. Hidupnya sudah terlalu banyak disabotase oleh pihak perempuan. Mulai dari Mama, Ibu, Vee, Key, dan sekarang hadir lagi makhluk baru yang mereka panggil Rere.

Meski begitu, Leo tetap bahagia bukan main saat melihat tubuh mungil itu untuk pertama kali berada dalam gendongannya, dan mendengar Adzan nya. Setelah dua tahun penantian yang panjang, akhirnya Rere hadir di dunia ini

KEY [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang