Let It Go - Demi Lovato

331 22 4
                                    


Rumah bertingkat dua itu tampak paling bercahaya di antara rumah-rumah lain dalam komplek. Kelihatan jelas, bahwa sedang berlangsung aktivitas penting meski jarum jam tengah menunjukkan pukul tiga dini hari.

"Kamu mau apa?" Tanya Tristan untuk kesekian kalinya pada seorang gadis yang berbaring di depannya.

Tidak ada jawaban.

Isakan kecil mulai terdengar dari balik punggung Tristan, menandakan sang Ibu dari si gadis kembali menangis diam-diam.

"Dek, bilang aja, kamu mau apa? Dibawa ke rumah sakit enggak mau, dipanggilin dokter enggak mau, obat penenang doang enggak akan bisa buat kamu sembuh total, dek." Kata Kakak laki-laki sang gadis yang duduk di sebelah Tristan.

Gadis itu menarik nafas perlahan, kemudian membuka matanya yang tampak sayu. Bibirnya membiru dan bergetar. Pemandangan yang sudah sering kali Tristan lihat setiap penyakit gadis itu kambuh, namun tetap dapat menyayat hatinya.

"Makasih," Ucapnya singkat pada Tristan disertai senyuman manis.

Senyum yang tak pernah ia bagi pada orang lain kecuali Tristan, meski tingkahnya sungguh menjengkelkan dibeberapa kesempatan, namun saat ini, saat melihat senyum lemahnya, Tristan kembali tersadar, ia tak akan pernah bisa membenci gadis yang memang seharusnya dilindunginya mati-matian ini.

Ya, Tristan memang harus diberi ribuan ucapan terima kasih untuk kecekatannya mengemudikan mobil dari rumahnya sampai sini pada pukul dua pagi namun Tristan merasa, bukan ke situ arah pembicaraan gadis yang berbaring di depannya kini.

"Ke rumah sakit, yuk?"

Ia menggeleng pelan.

Akhirnya Tristan menyerah.

"Yaudah, Tan. Kamu istirahat aja. Besok, kan harus masuk pagi," Ucap Kakak laki-laki si gadis sambil menepuk pundak Tristan.

Tristan patuh, sebelum bangkit, ia menyempatkan diri untuk mengecup singkat kening gadis di depannya seraya membisikkan sesuatu yang hanya bisa di dengar oleh mereka berdua,

"Bertahanlah, Dhita..."

***

Ada pemandangan langka di Global International School pagi ini.

Sang Ketua OSIS mengejutkan para warga sekolah dengan kedatangannya menaiki motor ninja hitam sendirian, lengkap dengan helm hitam dan jaket kulit hitam, seolah menggambarkan duka nya pagi ini.

Ditambah dengan ketidak hadiran Dhita hingga siang menjelang, hingga mendung datang, dan hingga rapat OSIS diadakan. Membuat beberapa orang bertanya-tanya termasuk Fitri yang urat malu nya sudah putus.

"Tan, Dhita kemana?"

"Gamasuk."

"Kalo itu gue juga tau, bego,"

"Ngatain ketua OSIS bego, saya urus poin kamu, ya,"

Fitri cemberut, namun belum menyerah atas pertanyaannya. Maka dari itu, ia menarik tempat duduk di sebelah Tristan. "Dhita kenapa enggak masuk?"

"None of your business,"

Fitri kembali mengerucutkan bibirnya. "Jarang-jarang, kan. Gue peduli sama ayang lo itu. Harusnya lo bersyukur... Jadi, dia kenapa?"

"Ada urusan,"

"Oh. Urusan sama raja neraka, ya."

"Gue urus beneran ya poin lo!"

Fitri cekikikan sambil kembali ke mejanya, sementara Tristan bersungut-sungut akibat konsentrasi bekerjanya terganggu.

"Mulekum!"

KEY [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang