A Thousand Years - Christina Perri

250 21 0
                                    

The Rhythm of Orchestra.

Key membaca spanduk yang bertuliskan judul konser mereka kali ini di Taman Ismail Marzuki yang pagi itu masih sepi.

Gadis itu melangkah masuk ke belakang panggung, bergabung dengan tim lainnya. Menanti datangnya malam dengan dada berdebar.

Sementara itu, jauh dari keributan persiapan konser, Tristan bolak-balik mengitari meja makan sambil bersedekap di rumahnya.

Ayahnya yang melihat kelakuan putra satu-satunya itu hanya bisa menggelengkan kepala dan kembali menekuni koran yang dibacanya.

"Tristan! Ibu nemu, nih!" Teriak Ibunya dari kamar atas.

Secepat kilat, anak tunggalnya itu berlari menghampiri sang Ibu yang sedang membongkar lemari pakaian. Di tangan kanannya sudah terdapat Tuxedo hitam legam yang membuat Tristan tersenyum lebar.

"Ini... pas buat aku?" Tanya Tristan sambil menyambar Tuxedo di tangan Ibunya.

"Iyalah. Ayah kamu pas masih muda kan ukurannya kayak kamu sekarang ini," Jawab Ibunya seraya mengingat kencan pertama bersama suaminya.

"Makasih, ya, Bu." 

Ibunya memperhatikan Tristan yang tak bisa menghilangkan senyum dari wajahnya. Wanita itu berdehem pelan. "Kamu tau, Tan?" Tristan menoleh menatap Ibunya yang juga sedang tersenyum. "Kamu bahkan enggak pusing milih baju kayak gini dikencan pertamamu sama Dhita dulu,"

Pipi Tristan bersemu merah. 

Wanita anggun itu menghampiri anaknya. "Ibu mau kenal secepatnya sama..."

"Key. Namana Key," Potong Tristan.

Ibunya menepuk pundak Tristan. "Perasaan seseorang bisa berubah. Ibu tau banget kalau Dhita enggak akan ada gantinya di hati kamu. Di keluarga kita." Ia menghentikan ucapannya menatap sendu ke arah anaknya. "Tapi memilikinya membuatmu tersakiti, Tristan. Mengetahui fakta bahwa kamu akan kehilangannya sewaktu-waktu bikin Ibu khawatir. Cinta itu seharusnya mendatangkan kebahagiaan, bukan membawa kegelisahan."

Tristan siap memprotes. Mengatakan bahwa nama Dhita di hatinya memang tak akan pernah tergeser. Dan ia tak pernah merasa tersakiti sejauh ini. Mencintai Dhita adalah tuntutan.

"Dan Ibu harap, kebahagiaan kamu kelak, dari Key datangnya."

"Bu!" Seru Tristan. "Udah berapa kali Tristan bilang kalau Key cuma wakil Tristan di acara Pensi sekolah? Udah berapa kali juga Tristan bilang kalau hari ini Tristan cuma sebatas nonton konser dan mengapresiasi kerja kerasnya?"

"Sayang, dengerin dulu." Potong Ibunya sabar. "Ibu paham kalau kamu menyayangi Dhita, kamu ingin melindunginya sepenuh hati, menutup segala kekurangannya, mengorbankan apapun demi dia, memberikan limpahan kasih sayang untuknya..."

Ibunya berdehem. "Dhita memang segalanya bagimu. Tapi Key membuatmu tampak berbeda," Ia kembali menarik napasnya. "Key membuatmu jatuh. Key membuatmu mengecap rasa jatuh cinta yang sebenarnya."

***

Hari semakin larut. Matahari mengundurkan diri dari tahtanya, digantikan cahaya rembulan dan taburan bintang.

Leo membukakan pintu untuk anak, istri, dan mamanya. 

Di mobil lain, Ayah dan Bunda Key juga menuruni mobil mereka. 

Sesaat, kedua keluarga itu tersenyum satu sama lain. Menghapus jarak dan kebencian yang dulu sekali pernah ada.

Mereka kompak memakai gaun putih sementara para lelaki mengenakan three pieces suit, lalu berjalan bersama memasuki Taman Ismail Marzuki.

KEY [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang