🍃

54 8 0
                                    

Senja turun perlahan, menyelimuti kampus dengan selimut cahaya jingga yang lembut.

Di sudut perpustakaan yang sunyi, Seonghwa duduk terdiam, memandangi layar laptop di depannya. Surat elektronik dari Jongho yang baru saja dibacanya menelusup ke dalam benaknya seperti racun yang manis, mengisi setiap sudut pikirannya dengan pertanyaan dan keheranan.

"Seonghwa, aku tidak tahu bagaimana caranya mengatakan ini padamu secara langsung. Aku selalu takut kau tidak akan mengerti, atau lebih buruk lagi, kau akan menjauh. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama, bahkan jika kadang-kadang tampak seperti aku mengabaikanmu. Sejujurnya, aku tidak bisa mendengar. Aku tuli sejak lahir. Aku berharap kau bisa memahaminya dan tidak melihatku berbeda."

Seonghwa membaca kata-kata itu berulang kali, mencoba memproses segala sesuatu. Namun, semakin ia mencoba, semakin jelas segalanya. Mengapa Jongho sering kali tidak merespon ketika dipanggil, mengapa tatapan Jongho selalu terfokus pada bibirnya setiap kali mereka berbicara. Jongho tidak mengabaikannya; Jongho sedang berusaha memahami setiap kata yang diucapkan Seonghwa.

Hati Seonghwa berdegup kencang, campuran antara keharuan dan penyesalan menyelimuti dirinya. Betapa butanya ia selama ini, tidak menyadari perjuangan yang dihadapi Jongho setiap hari. Di balik senyuman hangat dan sikap tenangnya, Jongho menyimpan rahasia besar, sebuah dunia sunyi yang tak pernah Seonghwa bayangkan.

Seonghwa mengingat kembali setiap momen yang mereka habiskan bersama, mencoba melihatnya dengan mata baru. Jongho yang diam, Jongho yang selalu tersenyum ketika Seonghwa berbicara, seolah-olah memahami segala sesuatu tanpa perlu kata-kata. Seonghwa merasa bodoh, tidak pernah menyadari betapa Jongho berusaha keras untuk tetap terhubung dengannya.

Hari berikutnya, Seonghwa berdiri di depan pintu apartemen Jongho, mengetuk perlahan. Pintu terbuka, dan Jongho muncul dengan ekspresi bingung di wajahnya. Seonghwa bisa melihat kekhawatiran di mata Jongho, ketakutan bahwa rahasianya telah mengubah segalanya.

"Hai, Jongho," kata Seonghwa perlahan, berusaha menjaga agar suaranya tetap tenang. "Bisakah kita bicara?"

Jongho mengangguk, membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakan Seonghwa masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana namun nyaman. Jongho menatap Seonghwa dengan cemas, seolah menunggu keputusan yang tak terhindarkan.

Seonghwa menarik napas dalam-dalam, mencari kata-kata yang tepat. "Aku membaca emailmu," katanya pelan, matanya bertemu dengan tatapan Jongho. "Dan aku ingin kau tahu, bahwa aku tidak melihatmu berbeda. Aku hanya menyesal tidak menyadari ini lebih awal."

Jongho menunduk, menghindari tatapan Seonghwa. "Aku takut kau akan menjauh," bisiknya, suara yang hampir tidak terdengar, namun penuh dengan perasaan.

Seonghwa menggeleng, menggenggam tangan Jongho dengan lembut. "Tidak, aku tidak akan menjauh. Aku ingin belajar, Jongho. Aku ingin memahami duniamu. Tolong ajari aku."

Mata Jongho berkaca-kaca, tangannya gemetar dalam genggaman Seonghwa. "Kau tidak perlu melakukan ini," katanya pelan.

"Tapi aku ingin," jawab Seonghwa tegas. "Aku ingin menjadi teman yang lebih baik, dan aku ingin kau tahu bahwa kau tidak sendiri."

Jongho tersenyum, senyum yang penuh rasa terima kasih dan harapan. "Baiklah," katanya, matanya bersinar dengan semangat baru. "Aku akan mengajarimu."

Mereka menghabiskan sore itu dengan Jongho mengajarkan Seonghwa dasar-dasar bahasa isyarat. Setiap gerakan tangan, setiap ekspresi wajah menjadi jembatan baru di antara mereka. Seonghwa belajar dengan cepat, keinginan yang kuat untuk memahami dan terhubung dengan sahabatnya memberinya dorongan yang luar biasa.

"Ini untuk mengatakan 'teman'," kata Jongho, menunjukkan gerakan isyarat dengan tangan yang tersenyum.

Seonghwa mengulang gerakan itu, tersenyum lebar. "Teman," katanya, matanya bertemu dengan tatapan Jongho. "Kita selalu akan menjadi teman."

Malam itu, Seonghwa pulang dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa lebih dekat dengan Jongho daripada sebelumnya, seolah-olah mereka telah menemukan cara baru untuk berkomunikasi, cara yang lebih dalam dan bermakna. Seonghwa berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus belajar, terus berusaha untuk memahami dunia Jongho. Karena persahabatan mereka lebih kuat daripada kata-kata, dan dalam keheningan itu, mereka menemukan suara hati mereka yang sejati.

Hari demi hari berlalu, dan Seonghwa terus belajar dengan tekun. Setiap pertemuan dengan Jongho menjadi kesempatan untuk memperdalam pemahaman mereka. Mereka menemukan kebahagiaan dalam kebersamaan yang sunyi namun penuh makna. Di tengah hiruk pikuk dunia, mereka menciptakan ruang di mana kata-kata tidak lagi menjadi penghalang, di mana hati mereka berbicara lebih keras daripada suara.

Karena Seonghwa telah menemukan sesuatu yang berharga, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apapun: persahabatan sejati yang dibangun di atas dasar pengertian dan kasih sayang yang tulus.

Dan di dalam keheningan itu, mereka menemukan bahwa cinta dan persahabatan tidak membutuhkan suara, hanya hati yang terbuka dan kemauan untuk mendengar.

Endearing Episode • All × JonghoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang