🦗

39 7 0
                                    

"Lo pasti becanda, kan?" suara Jongho pecah di tengah ruang ganti yang sunyi. 

Matanya membulat tidak percaya, mulutnya sedikit terbuka. Di depan dia, Wooyoung hanya berdiri tenang, tatapan matanya tajam namun bibirnya menyunggingkan senyum yang sedikit sinis.

"Gue berharap ini cuma bercanda, tapi lo harus naikin nilai lo atau gue gak bisa masukin lo di pertandingan berikutnya. Itu aturan, Jongho," kata Wooyoung dengan nada tegas namun lembut. Dia menatap tajam ke arah Jongho, memberikan isyarat bahwa ini bukanlah situasi yang bisa dianggap enteng. Jongho merasakan udara di sekelilingnya semakin berat, dadanya terasa sesak.

Wooyoung adalah kapten tim basket mereka, bukan hanya pandai bermain tetapi juga tegas dan berwibawa. Dia berdiri dengan tubuh tegap, seolah-olah seluruh tekanan dunia ada di pundaknya. Tapi ada sesuatu di mata Wooyoung yang membuat Jongho merasa lain. Sebuah tantangan tersembunyi, sebuah godaan yang tak terucapkan. Jongho selalu tahu ada hal lebih dalam dari sekedar kedisiplinan yang menghubungkan mereka. Dan mungkin sekarang adalah saatnya untuk menghadapinya.

"Kita gak bisa kayak gini terus," kata Jongho pelan, suaranya nyaris berbisik. Dia merasakan perasaan aneh menggelitik di perutnya. Perasaan ini bukan pertama kali muncul. Setiap kali Wooyoung menatapnya dengan cara seperti ini—tatapan yang seolah menembus kulit dan mencapai inti terdalam dirinya—Jongho merasa dia dihadapkan pada kenyataan yang tak bisa ia sangkal.

Wooyoung mendekat, langkah kakinya nyaris tak bersuara di atas lantai yang dingin. Dia berhenti tepat di depan Jongho, jarak mereka hanya beberapa inci saja. "Dengar, Jongho. Ini bukan cuma soal pertandingan. Gue tau lo bisa lebih baik dari ini. Gue tau lo bisa lebih dari sekedar yang lo tunjukin sekarang."

Kata-kata Wooyoung menggantung di udara, seperti tantangan yang tak terucap namun jelas. Jongho tahu persis apa yang ingin Wooyoung katakan. Tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdebar kencang. Melainkan bagaimana Wooyoung mendekat, bagaimana dia menyentuh pipi Jongho dengan tangan yang tegas namun lembut. Sentuhan itu membuat tubuh Jongho bergetar, merasakan sensasi yang membakar dari dalam.

Tanpa peringatan, Wooyoung menarik Jongho ke dalam pelukannya, tangan yang kuat memeluk tubuh Jongho dengan intensitas yang membuat udara di sekeliling mereka bergetar. "Gue bisa bantu lo," bisik Wooyoung di telinga Jongho, suaranya dalam dan penuh dengan arti yang tersembunyi. Jongho merasa seluruh tubuhnya bergetar, seolah-olah dia berada di ambang jurang yang dalam, antara takut dan terpesona.

Sebelum Jongho bisa merespon, Wooyoung mendorongnya perlahan ke dinding ruang ganti. Punggungnya bertemu dengan permukaan yang dingin, membuat tubuhnya semakin panas dengan kontras yang menyakitkan. Wooyoung menatap matanya dalam-dalam, mencari persetujuan di balik ketidakpastian.

Dan ketika bibir mereka bertemu, dunia seakan berhenti berputar. Jongho mendesah, tangannya mencengkeram bahu Wooyoung dengan erat. Wooyoung melumat bibirnya dengan gairah yang terpendam, seolah-olah ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkapkan segala perasaan yang selama ini terpendam. Ciuman itu berubah menjadi lebih panas dan mendalam, membawa Jongho pada sebuah dimensi baru yang belum pernah ia jelajahi.

Di bawah sentuhan Wooyoung, Jongho merasakan kulitnya terbakar, sensasi panas yang menjalar dari ujung kaki hingga ke kepala. Wooyoung tak membuang waktu. Tangan-tangannya cekatan menjelajahi tubuh Jongho, menemukan titik-titik sensitif yang membuat Jongho menggeliat dalam kenikmatan.

"Lo suka ini, kan?" Wooyoung bertanya dengan nada rendah, hampir seperti menggeram. Jongho tidak bisa menjawab, napasnya terengah dan matanya tertutup, terhanyut dalam gelombang sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Wooyoung terus mengeksplorasi tubuh Jongho dengan ketangkasan dan kepastian. Setiap sentuhan adalah janji, setiap desahan adalah bukti dari keinginan yang tak terbendung. Jongho merasa seperti dia terjebak dalam pusaran gairah, semakin dalam dan semakin dalam, sampai ia tidak tahu lagi mana atas dan mana bawah.

Ketika Wooyoung akhirnya masuk, Jongho menjerit kecil, terkejut dengan intensitas yang tiba-tiba menyerang. Tetapi rasa sakit itu segera bercampur dengan kenikmatan yang melampaui batas. Wooyoung bergerak dengan ritme yang kuat dan mantap, setiap dorongan membuat Jongho semakin lupa diri. Desahan dan erangan memenuhi ruangan kecil itu, berbaur dengan suara napas yang terengah.

Mereka bergerak bersama dalam tarian yang menggila, Wooyoung memimpin dengan ketegasan yang menggetarkan. Jongho mengikutinya, tubuhnya bergerak serempak dengan irama Wooyoung, setiap gerakan membawa mereka semakin dekat ke puncak kenikmatan yang tak terbayangkan.

Ketika akhirnya mereka mencapai klimaks, itu bukan hanya pelepasan fisik. Itu adalah penyerahan diri, sebuah pengakuan diam-diam dari perasaan yang lebih dalam dari sekadar hasrat.

Setelahnya, mereka tergeletak di lantai ruang ganti yang dingin, tubuh mereka berkeringat dan napas mereka masih terengah. Wooyoung membelai rambut Jongho, bibirnya menyentuh dahi Jongho dengan lembut.

"Lo tahu, kan, kalau ini bukan cuma soal nilai?" Wooyoung berbisik.

Jongho mengangguk, matanya masih terpejam. Dia tahu. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa tidak perlu berpura-pura lagi.

Di bawah tekanan nilai dan cinta, dia akhirnya menemukan kebenaran tentang apa yang sebenarnya dia inginkan.

Endearing Episode • All × JonghoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang