“Aku jatuh. Namun aku masih bisa bangkit. Aku terluka. Namun aku masih bisa sembuh. Aku terpuruk. Namun aku masih bisa tersenyum. Orang lain tidak bisa melakukannya. Hanya aku yang berhak atas diriku sendiri.”
- Alona Zealinne Artharendra
•••
Saat ini Alona tengah duduk di bangku dekat taman. Hanya dekat. Alona tidak masuk kedalam. Sekarang dirinya butuh ketenangan. Bukan kericuhan. Pikirannya melayang jauh. Memikirkan kembali kejadian di rumah tadi.
“Saya dengar kamu bertengkar lagi? Sudah berapa kali saya bilang, Alona?! Kamu kalau gak bisa menorehkan prestasi seperti Alana setidaknya jangan mencoreng nama baik saya!”
Jika Alana hanya akan diam mendengar setiap hinaan yang di lontarkan Alvin. Maka berbeda dengan Alona. Prinsipnya, selagi bisa, maka lakukan. Kali ini dirinya tidak salah. Yang Alona lakukan hanya sebagai bentuk pembelaan untuk dirinya sendiri.
“Papa gak tau kejadian yang sebenernya, ‘kan? Disitu Alona gak sepenuhnya salah. Sebelum menyalahkan, mending papa cari tau kebenarannya dulu!”
“Kamu berani sama saya, Alona?”
“Selagi Alona gak salah.”
Tangan Alvin yang hampir terangkat untuk menampar Alona terhenti seketika begitu mendengar kata-kata anak itu.
“Tampar, pa, tampar! Emang ini kan yang dari dulu papa lakuin! Tapi Inget, aku bukan Alana yang bakal Nerima setiap kekerasan papa!”
Kalau boleh jujur. Alvin juga mengakui jika Alona memiliki nyali yang lebih besar dari Alana. Jika putri sulungnya hanya akan diam saat di salahkan. Maka Alona sebaliknya. Gadis itu akan melawan selagi dirinya benar. Entah itu keberanian dari mana. Namun Alvin berani bertaruh jika keberanian yang kini teredam dalam diri Alona menurun dari dirinya. Tentu saja.
Akhirnya Alvin kalah. Lelaki itu segera berbalik dan berjalan pergi entah kemana. Meninggalkan Alona yang masih menatapnya nanar. Alona bukan tipe gadis yang cengeng. Namun untuk kedua kalinya matanya berair. Alona juga tidak tau mengapa. Namun air mata itu bertahan hingga kini dirinya berada di dekat taman sambil memakan dua buah es krim rasa strawberry kesukaannya.
Alona tidak ingat mengapa dan sejak kapan dirinya menyukai strawberry. Tidak ada alasan khusus untuk dirinya menyukai buah itu. Rasanya asam. Namun bentuknya manis. Tidak semua seperti itu. Terkadang Alona juga mendapatkan strawberry yang mana bagian dalamnya terasa manis. Juga bentuknya yang sama manis. Alona mengerti. Setiap manusia juga seperti itu. Berpenampilan manis diluar untuk membangun image yang baik. Namun tidak ada yang tau di dalam. Tidak ada yang tau bagaimana diri mereka sebenarnya. Termasuk Alona sendiri.
Masih dengan tangisannya, Alona memakan sedikit demi sedikit es krim di tangan kanan dan kirinya. Terkesan rakus memang. Namun beginilah cara Alona menghibur dirinya. Alona tidak punya teman bercerita. Celline dan Steysie sudah tidak ingin berteman dengannya karena kecewa. Alona tidak marah. Malah bersyukur karena kedua sahabatnya itu menjauhinya. Setidaknya mereka tidak akan menjadi jahat seperti dirinya.
Di tengah aktivitasnya, tanpa sengaja Alona mendapati sebuah sapu tangan tersodor di depan wajahnya. Gadis itu mendongak. Untuk sesaat dirinya tercekat. Tak pernah ia duga sebelumnya jika orang yang datang adalah seseorang yang selama ini ia impikan bisa menghapus air matanya.
“Devano?”
•••
Terhitung sudah lima kali Devano berdecak hanya karena pembahasan tak penting antara Ayahnya dan kedua orang tua Aresha. Ya. Malam ini Anandra memiliki pertemuan yang katanya penting dengan calon besannya untuk membahas tentang pertunangan Devano dan Aresha. Sebenarnya lebih pantas di katakan jika Anandra dan orang tua Aresha yang berbicara. Sedangkan Devano tidak turut andil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA ( AL SERIES 2)
Random"Mengharapkan orang yang tidak pernah menginginkan kehadiran kita terkadang memang melelahkan." - Alona Zealinne Artharendra