“Jika kamu tidak pernah mencoba, maka kamu tidak akan tau hasilnya. Ambil langkah pertama untuk mencoba, maka kamu dapat melihat hasilnya sendiri.”
— Huang Renjun
•••
Devano berjalan sambil memainkan bola basket yang berada di tangannya dengan tas yang tersampir indah di pundak kanannya. Cukup penat Sebenarnya berada di sekolah untuk waktu yang lama. Namun Devano berusaha menikmati. Pernah mendengar kalimat tentang bagaimana seseorang menikmati pekerjaannya hingga setiap pekerjaan yang dia lakukan terasa mudah? Begitu juga yang Devano lakukan. Setiap harinya lelaki itu berusaha untuk menikmati pekerjaannya sebagai seorang ketua osis.
Sejenak Devano terdiam hanya untuk melihat wajah Alona yang tertidur di dalam kelas. Entah sadar atau tidak. Namun kakinya kini tidak lagi melangkah maju ke depan, namun berbelok ke kelas Alona. Waktu sudah hampir petang, tidak mungkin dirinya membiarkan seorang gadis sendirian di sekolah. Terlebih tidak ada lagi orang selain dirinya, kecuali pak satpam yang mungkin masih bertugas.
Devano tersenyum lalu melempar bola basket itu ke dinding di belakang Alona. Lantas senyuman itu semakin melebar seiring dengan mata Alona yang mulai terbuka. Gadis itu terlihat lebih cantik di saat seperti ini. Apalagi saat cahaya matahari senja menyatu dengan warna kulitnya.
Alona mengangkat wajahnya. Rasa kantuk masih bersemayam dalam dirinya. Rasanya terlalu berat untuk hanya sekedar membuka mata. Apalagi membalas perbuatan seseorang yang telah membuatnya terbangun seperti sekarang. Bahkan hanya untuk membuka mata lebar-lebar saja Alona membutuhkan usaha besar.
Wajah Devano menjadi sesuatu yang pertama kali tertangkap dalam Indra penglihatannya. Senyum itu. Kembali Alona dibuat terpana akan garis lengkung di bibir manis Devano. Rasa kesal yang tadinya hampir membuncah telah hilang di gantikan dengan rasa suka yang sudah lama tak pernah hilang. Bahkan saat Alona berusaha sangat keras untuk menghilangkannya.
“Balik!” Devano memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. “Ngapain Lo tidur di kelas. Mau nginep disini?”
Segera Alona menggeleng. Dengan kesadaran yang tersisa gadis itu mengambil tasnya dan bangkit dari tempat duduknya. Mengabaikan Devano yang sepertinya menunggu pembalasan darinya. Jujur saja. Alona tidak memiliki kekuatan lebih untuk membalas Devano. Tubuhnya tidak bertenaga. Padahal saat ini Alona begitu ingin menendang Devano yang sudah mengganggu tidurnya.
Devano memperhatikan wajah Alona lamat-lamat. Gadis itu terlihat berbeda sejak terakhir kali mereka bertemu beberapa jam yang lalu. Wajahnya yang terpoles make up tipis kini tampak pucat entah mengapa. Jalannya pun tidak seperti biasa. Alona terlihat sangat hati-hati saat mengambil langkahnya.
Tanpa pikir panjang Devano langsung berjalan kearah Alona. Tangannya terangkat untuk memeriksa kening gadis itu. Dan benar saja. Panas menjalar di punggung tangannya. Pertanda jika Alona memang sedang sakit.
Sedang Alona masih menatapnya bingung atau mungkin bertanya, Devano langsung mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya keluar kelas. Dari jalan yang ia lewati, sepertinya Devano hendak membawa Alona ke parkiran.
“Mau ngapain?” Untuk hari ini Devano bisa mendengar Alona berbicara padanya seperti manusia pada umumnya. Tanpa nyolot. Tanpa ngegas. Tetapi bukannya senang. Devano malah semakin gelisah. Hatinya tidak tenang saat melihat Alona yang lemah seperti ini.
“G*blok! Makannya jangan makan es mulu! Jadi sakit kayak gini, ‘kan! Sekarang gue juga yang susah!”
Devano bisa merasakan jantungnya kembali berdebar saat melihat senyum tipis di bibir Alona. Entah apa makna yang tersirat dalam senyum itu. Namun yang terpenting adalah Devano senang karena Alona masih bisa tersenyum ditengah kondisinya saat ini.
“Makasih.”
Devano tersadar. Dirinya terlalu hanyut dalam senyum Alona yang menurutnya lebih dari kata indah hingga tidak sadar bahwa kini mereka sudah hampir mencapai parkiran. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga langkah Devano sampai pada mobil Ferrari berwarna hitam miliknya, lalu menyimpan Alona di kursi belakang.
Tidak banyak bertanya, Alona hanya diam menerima semua perlakuan Devano walau dalam hatinya kini sudah berteriak. Keadaan tidak mengharuskannya untuk berteriak sekarang. Selain karena kondisinya yang masih lemah, juga memalukan jika orang lain menganggapnya gila, bukan?
Mungkin hanya Alona yang salah berpikir bahwa Devano akan membawanya kerumah atau memang Devano yang sudah berniat membawanya ke rumah sakit sejak awal. Bahkan dirinya tidak sadar jika sekarang mereka sudah berada di depan bangunan rumah sakit. Entah bagaimana Devano mengemudikan mobilnya hingga mereka bisa sampai secepat ini.
Sekali lagi Alona merasakan kedua sudut bibirnya tertarik tanpa sadar saat Devano menggendongnya memasuki rumah sakit. Lelaki itu terlihat santai memasuki ruangan tempat Alona akan di rawat. Mungkin karena rumah sakit ini milik kakeknya, jadi Devano tidak perlu bersusah payah mengantri seperti yang lain.
“Devano? Kenapa?” Itu Dokter Alive, salah satu Dokter yang sudah lama bekerja di rumah sakit ini dan menangani seluruh anggota keluarga Devano.
“Temen saya sakit, Dok. Bisa tolong di periksa?”
Dokter Alive mengangguk. “Silahkan tunggu diluar.”
Melihat Devano yang masih tidak berkutip dari posisinya dan menatap Alona penuh khawatir membuat Dokter Alive tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Devano membawa seorang gadis dan menunjukkan ke khawatirannya secara terang-terangan. Sebelumnya Dokter Alive belum pernah mendapati Devano seperti ini.
“Temen atau pacar? Kalau kamu di sini terus gimana caranya saya periksa temen atau mungkin pacar kamu ini?”
“Dia cuma temen aku!”
Dokter Alive terkekeh. “Temen tapi kok khawatir banget kayaknya.”
Devano berdecak lalu berjalan keluar dari ruangan tempat Alona di periksa. Namun sebelum itu dirinya sempat menoleh secara diam-diam untuk melihat wajah Alona yang semakin bertambah pucat. Entah mengapa, namun hatinya seperti tak ingin melihat Alona seperti ini.
•••
Devano langsung menoleh saat mendengar suara pintu yang terbuka. Melihat Dokter Alive yang keluar dari ruangan membuat Devano buru-buru berjalan kearahnya. Yang anehnya, malah di sambut senyum hangat oleh Dokter wanita berumur empat puluh tahun tersebut.
“Gimana keadaan Alona?”
“Dia cuma demam. Saya udah kasih dia obat penurun demam. Sekarang dia lagi istirahat. Kalau kamu mau jenguk usahain jangan sampe ganggu. Paham?” Melihat Devano yang hanya mengangguk membuat Dokter Alive tersenyum kecil. “Yaudah, saya tinggal dulu.”
Devano segera masuk kedalam ruangan tempat Alona di rawat setelah Dokter Alive benar-benar masuk kedalam ruangannya sendiri. Jangan sampai dirinya menjadi bahan ejekan wanita itu karena terlalu khawatir pada Alona.
Haruskah Devano mengakui jika dirinya merasa sangat khawatir pada Alona? Jujur saja. Devano juga tidak mengerti perasaannya sendiri. Setiap kali melihat senyum Alona, hatinya menjadi tenang. Namun saat gadis itu sakit, entah mengapa dirinya menjadi tak rela. Pantaskah jika Devano egois dan selalu menginginkan Alona yang ceria? Devano tidak pernah ingin melihat Alona sakit.
Baru saja Devano hendak mengambil salah satu tangan Alona untuk ia genggam, otaknya sudah terlebih dahulu melarang. Lantas lelaki itu segera menggeleng dan berjalan mundur menjauhi Alona. Hati dan otaknya bertentangan. Devano tidak mengerti semuanya. Rasanya begitu membingungkan.
“Gue bener-bener gak suka sama dia, ‘kan?”
Detik itu pula Devano kembali berpikir untuk pertanyaan yang ia buat sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA ( AL SERIES 2)
عشوائي"Mengharapkan orang yang tidak pernah menginginkan kehadiran kita terkadang memang melelahkan." - Alona Zealinne Artharendra