“Kamu harus mengenal dirimu sendiri untuk mengetahui tujuan hidupmu.”
- Alona Zealinne Artharendra
•••
Alona menghembuskan nafasnya kasar. Ayahnya baru saja menelepon dan menyuruhnya untuk pulang tanpa tau keadaannya. Sejujurnya Alona sudah merasa lebih baik dari sebelumnya, namun tetap saja. Tubuhnya masih lemas. Alona tidak bisa memaksakan dirinya untuk pulang dalam keadaan seperti ini.
“Alona!”
Mendengar suara yang sangat familiar di telinganya membuat Alona langsung menoleh. Disana dapat Alona lihat Alana yang sedikit berlari untuk mencapainya. Bahkan ketika kedua orang tuanya tidak menanyakan keadaannya, Alana yang hanya berstatus sebagai kakak kandungnya mau menjenguk bahkan membawa beberapa buah tangan untuknya. Apalagi saat mengingat perlakuannya dahulu. Alona menjadi malu. Bahkan perasaan bersalah semakin menghantuinya.
“Lo gakpapa, ‘kan? Mana yang sakit?” Alana meletakan punggung tangannya di kening Alona. Tidak terlalu panas. Namun tetap saja, dirinya tidak bisa tenang dengan keadaan Alona yang seperti ini.
Di belakang Alana ada Alzean. Tentu saja. Lelaki itu tidak akan membiarkan istrinya pergi sendirian tanpa dirinya. Sedangkan Devano pergi entah kemana. Sejak bangun dari tidurnya setengah jam yang lalu, Alona belum mendapati kedatangan Devano.
“Gue gak kenapa-kenapa. Tenang aja.” Alona tersenyum pada Alana. Berharap agar wanita itu tidak terlalu mengkhawatirkannya.
“Kenapa bisa sakit kayak gini?”
Alona menggeleng. “Gak tau.”
Beberapa saat setelahnya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Menampilkan Devano dengan beberapa kantung belanjaan di tangannya. Sejenak terjadi keheningan. Devano merasa kaku dalam situasi seperti ini. Begitu juga dengan Alana dan Alzean. Hubungan mereka memang terbilang canggung. Mengingat Devano yang sempat menyimpan perasaan pada Alana.
Bola mata berwarna hitam kecoklatan itu beralih pada Alona yang juga tengah menatapnya. Lagi. Entah untuk keberapa kalinya tatapan mereka bertemu. Menyimpan debaran yang Devano juga tidak tau artinya. Jantungnya berdebar kencang saat bertemu Alona, jiwanya merasa bebas begitu melihat senyumannya, dan perasaannya seolah menjadi baik-baik saja ketika menatap mata Alona. Entah sejak kapan Alona begitu berpengaruh untuk dirinya.
Devano melangkah mendekati Alona dengan mata yang masih menatap lekat wajah gadis itu. Seolah dirinya kehilangan kendali untuk menyadari semuanya. Tatapan itu seolah membiusnya. Bahkan hingga dirinya tidak sadar jika kini sudah berada tepat di samping brankar Alona.
“Dev.”
Devano menggeleng. Mengapa dirinya terlalu larut dalam tatapan Alona hingga mengabaikan semuanya. Lantas dirinya segera menoleh pada Alana yang tadi memanggilnya. Sebenarnya Alana juga bisa sampai di sini karenanya. Devano tidak ingin memberi tahu kedua orang tua Alona karena tau bagaimana tanggapan mereka. Oleh karena itu dirinya hanya memberi tahu Alana.
“Makasih karena udah bawa Alona kesini.”
Devano mengangguk. “Gue juga bawa dia kesini cuma karena gak mau kalo nanti sekolah kita dianggep nelantarin siswanya.”
Bugh!
Ringisan kecil keluar dari bibir Devano begitu mendapat pukulan gratis dari Alona di perutnya. Bahkan Alana yang melihat itu langsung membulatkan matanya. Sedangkan Alzean, seperti biasa. Lelaki itu tidak bereaksi. Hanya diam tanpa ekspresi apapun.
“Lo yang maksa gue kerumah sakit!” Alona menatap nyalang pada lelaki yang masih meringis akibat ulahnya.
“Tapi Lo mau-mau aja, ‘kan?!”
“Gimana mau nolak kalo Lo udah gendong gue?!”
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Alona langsung menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya setelah mengatakan hal itu. Apalagi saat menyadari tatapan tajam Devano yang mengarah padanya.
Menyadari jika suasana semakin mencekam antara Alona dan Devano, Alana segera pamit untuk pulang. Membiarkan mereka menyelesaikan masalah ini sendiri. Sejujurnya, Alana juga merasa senang setelah mendengar penuturan Alona tadi. Berarti Devano sudah mulai melupakannya dan membuka perasaan pada Alona. Begitu juga dengan adik kembarnya, Alona bisa menemukan seseorang yang benar-benar tulus padanya.
Alzean menatap Alana lama. Sepanjang perjalanan keluar dari rumah sakit wanita itu terus tersenyum. Padahal tidak ada sesuatu istimewa yang terjadi di dalam tadi. Hanya pertengkaran Alona dan Devano yang mungkin tidak bisa terelakkan.
“Kenapa senyum-senyum gitu?”
Alana semakin melebarkan senyumnya. “Devano sama Alona keliatan cocok gak sih?”
“Lumayan.” Alzean beralih menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. “Mau jajan dulu atau langsung pulang?”
“Langsung pulang aja.”
“Tumben.”
“Gak lama lagi malem. Mending langsung pulang.”
Alzean tersenyum lalu mencium pipi Alana singkat. “Gemesin. Pengen gigit.”
•••
Di dalam ruangan serba putih itu kini hanya tersisa Alona dan Devano yang masih diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun dengan Alona yang berusaha menetralkan detak jantungnya akibat tatapan tajam yang dilontarkan Devano.
“Kalo mereka mikir aneh-aneh gimana?!”
Alona memejamkan matanya. Suara Devano lebih terdengar seperti bentakkan untuknya. Entah sejak kapan oksigen di ruangan ini menjadi sangat minim. Alona bahkan kesusahan untuk hanya mengambil nafas dan mengisi paru-parunya.
Devano mengembuskan nafasnya pelan. Alona mungkin takut dengan suaranya. Lantas dirinya kembali mendekati gadis itu. Namun sebelumnya Devano sudah terlebih dahulu mengambil satu kotak bubur dari kantung belanjaannya untuk ia berikan pada Alona. Bukan hanya bubur, Devano juga mengambil beberapa buah-buahan dari dalam sana sebagai pencuci mulut untuk gadis di hadapannya.
“Buat gue?” Alona menatap bubur yang berada di tangan Devano lalu beralih menatap wajah lelaki itu.
“Enggak. Buat setan.”
Alona berdecak. Devano memang menyebalkan. Entah bagaimana ceritanya dirinya bisa menyukai lelaki itu. Dari segi wajah, Devano memang tampan. Namun terkadang tingkahnya tidak setampan rupanya. Tak jarang Devano menjadi sangat menyebalkan hingga membuat Alona kesal sendiri. Namun anehnya, perasaannya tak pernah hilang walau hanya sesaat.
Devano duduk di kursi samping brankar lalu mulai menyuapkan bubur yang berada di tangannya pada Alona. Gadis di hadapannya ini tidak seperti pasien-pasien lain yang akan sulit di bujuk untuk makan. Alona dengan mudah menerima bubur yang ia suapkan walaupun masih ada raut bingung di wajahnya.
Alona diam sambil mengunyah bubur di mulutnya. Tentunya sambil memperhatikan wajah Devano. Namun entah mengapa tangannya tiba-tiba tergerak untuk menahan pergelangan tangan Devano yang hendak kembali menyuapkan bubur padanya. Tak sampai disitu, Alona juga mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Devano yang kali ini tidak berniat untuk memundurkan wajahnya sama sekali.
“Pinter banget Lo baperin gue.”
Jari telunjuk Devano tergerak untuk mendorong kening Alona yang masih terasa hangat untuk sedikit menjauh dari wajahnya. “Gue gak tertarik baperin Lo.”
“Padahal gue udah baper.”
“G*blok.”
Mungkin Devano tidak mengatakannya secara langsung, namun jantungnya kembali berdebar kencang saat wajahnya berada begitu dekat dengan wajah Alona. Apalagi saat dirinya bisa memperhatikan dengan jelas setiap pahatan di wajah gadis itu. Devano tidak bisa berbohong. Namun entah mengapa Alona terlihat lebih menarik saat dilihat dengan jarak sedekat itu.
‘S*al, jantung gue!’
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA ( AL SERIES 2)
Altele"Mengharapkan orang yang tidak pernah menginginkan kehadiran kita terkadang memang melelahkan." - Alona Zealinne Artharendra