“Orang lain tidak akan tau apa yang kamu rasakan jika kamu tidak mengungkapkannya.”- Alona Zealinne Artharendra
•••
Pagi itu SMA BAKTI JAYA di hebohkan oleh kedatangan murid baru yang di duga sebagai anak dari seorang pengusaha terkenal. Wajahnya cantik. Juga proporsi tubuhnya yang terbilang cukup ideal. Hanya dalam waktu sekejap gadis itu berhasil mengambil atensi seluruh siswa.
Alona diam di perpustakaan sambil membaca beberapa materi yang belum ia pahami. Jujur saja. Paginya terasa membosankan untuk hanya sekedar mendengar cerita tentang murid baru tersebut. Akan lebih baik jika dirinya melakukan hal yang lebih berguna.
“Eh, katanya tuh murid baru calon tunangan kak Devan, ya?”
Tanpa sengaja telinga Alona menangkap percakapan antara beberapa adik kelasnya. Gadis itu mendongak. Menatap satu persatu tiga orang di hadapannya.
“Tunangan?”
Salah satu dari mereka mengangguk. “Iya. Kak Lona gak tau?”
Alona menggeleng. “Lo tau darimana?”
“Ayah aku kerja di perusahaan Kak Devan. Jadi pasti dia tau rencana Ayah Kak Devan buat jodohin dia.”
Anggukan mengerti dari Alona mengakhiri percakapan mereka. Beberapa menit setelahnya mereka kembali sibuk pada urusan masing-masing. Kecuali Alona. Gadis itu masih memikirkan tentang Devano dan rencana perjodohan lelaki itu.
“Udah gak jadi pembully lagi Lo?”
Pertanyaan itu berhasil membuyarkan lamunan Alona. Entah sejak kapan tiga gadis tadi sudah digantikan oleh beberapa orang yang menatapnya penuh permusuhan. Alona mengenal mereka. Tentu saja. Dulu mereka berteman sebagai pembully. Semua baik-baik saja sejak dirinya memutuskan untuk tidak berteman lagi dengan mereka. Namun sekarang. Mereka datang entah karena apa.
Alona memutuskan untuk tidak menghiraukan. Perhatiannya kembali pada buku yang masih ada dalam genggamannya. Lagipula percuma menghadapi Mara dan Antek-anteknya. Hal itu hanya akan menguras emosi dan tenaganya.
Mara menepis dengan kasar buku yang berada di tangan Alona. Catat. Gadis itu tidak suka saat seseorang mengabaikannya. Sedari kecil Mara selalu mendapat perhatian penuh. Gadis itu tidak terbiasa di abaikan.
Sementara Mara tertawa setelah berhasil membuang buku tersebut, Alona memilih untuk bangkit dari tempat duduknya dan memungut kembali buku itu. Seperti kata gurunya. Buku adalah jembatan ilmu. Maka tidak pantas bagi dirinya untuk membiarkan buku tersebut tergeletak di lantai.
Jemari Alona terangkat untuk membersihkan debu yang menempel pada kulit buku tersebut. Setelahnya gadis itu kembali menyimpannya ke tempat semula.
Merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, Alona memutuskan untuk pergi dari perpustakaan. Namun sebelum itu. Mara sudah terlebih dahulu menghadang langkahnya hingga membuatnya tersungkur. Dan detik itu pula Alona mendengar tawa yang menggema di seluruh ruangan.
Semua orang menertawakannya.
Alona segera bangkit. Luka di lututnya tidak membuatnya gentar. Lantas gadis itu melayangkan tamparannya di wajah Mara. Matanya menatap gadis itu penuh benci. Untuk pertama kalinya Alona merasa di permalukan.
Tamparan Alona ternyata cukup keras hingga membuat pipi Mara memerah karenanya. Gadis itu mengepalkan tangannya. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga tangannya melayang ke wajah Alona. Bukan. Ini bukan tamparan. Namun lebih terasa seperti pukulan.
Alona memegang pipinya. Sakit. Panas menjalar di seluruh wajahnya. Alona tidak ingin menangis. Namun entah mengapa matanya tiba-tiba berembun. Alona ingin melawan. Namun air matanya melarang untuk tetap mengajukan pembelaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA ( AL SERIES 2)
De Todo"Mengharapkan orang yang tidak pernah menginginkan kehadiran kita terkadang memang melelahkan." - Alona Zealinne Artharendra