“Jika aku terobsesi untuk mengalahkanmu, maka berusahalah untuk menang. Jangan bertingkah seolah-olah dirimu tidak pantas untuk bersaing dengan siapapun.”
- Alona Zealinne Artharendra
•••
Alona menatap Devano yang hanya diam diatas motornya sementara dirinya sudah turun hendak berjalan masuk ke dalam rumah Alana. Keduanya terlihat canggung. Tidak. Lebih tepatnya Devano yang merasa canggung. Bukan apa-apa. Hanya saja sedari tadi Alona terus memandangnya. Membuat jantungnya berdebar tak karuan.
“Lo beneran gak mau masuk?”
Untuk kedua kalinya Alona bertanya demikian. Namun jawaban Devano tetap sama.
“Gak.”
Alona menghembuskan nafasnya pelan. Mata indah milik Devano sudah menjelaskan segalanya. Masih ada sedikit rasa untuk Alana. Hatinya masih terjerat dalam bayang-bayang Alana. Walau hanya sedikit, namun tetap saja menyakitkan. Alana sudah menjadi milik orang lain. Tidak sepantasnya Devano menyimpan perasaan untuknya.
“Lo masih belum bisa lupain Alana, ‘kan?” Alona tersenyum tipis. “Ngelupain emang gak gampang, Dev. Gue tau Lo udah berusaha buat lupain Alana. Kalau belum berhasil berarti belum waktunya. Ada saatnya Lo bisa bener-bener lupain dia dan nemuin orang yang di kasih tuhan buat Lo. Bahkan kalau dia pergi jauh dari Lo, dia bakal tetep balik karna lo.”
Devano menatap Alona lama. Senyum itu, bibir, dan mata itu. Tidak ada sedikitpun kebohongan yang tertangkap oleh matanya. Alona mengatakannya bukan semata-mata untuk menguatkannya, namun agar dirinya bisa benar-benar melupakan Alana dan menjalani kehidupan baru tanpa mengingat kembali cinta pertamanya.
“Yaudah kalo Lo belum siap. Gue masuk sendiri.”
Baru saja Alona berbalik, tiba-tiba telapak tangannya merasakan kehangatan berkat genggaman lelaki di belakangnya. Tak sampai disitu, suara berat milik Devano juga berhasil membuatnya mematung di tempat. Bahkan hampir membeku jika saja ada angin bersalju yang menyentuh kulitnya.
“Gimana kalo lo yang di kirim buat gue?” Devano semakin mengeratkan genggamannya. “Lo gak bakal pergi dari gue, ‘kan?”
Jantung Alona berdebar semakin kencang. Nada suara Devano terdengar penuh harapan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar seperti sebuah keinginan. Dan Alona tau, tatapan Devano akan membuatnya lemah saat itu juga. Dirinya bukan enggan berbalik, namun memang sengaja tidak ingin berbalik karena tak sanggup membalas tatapan mata Devano.
Alona tertawa garing berusaha untuk menutupi rasa canggungnya. “Gak mungkin. Lo mana mau sama cewek kayak gue. Lo gak cocok sama gue. Tuhan udah siapin orang yang lebih baik buat lo.”
Devano turun dari motornya tanpa melepaskan genggamannya dari tangan Alona. Kakinya melangkah maju hingga sampai di hadapan Gadis itu. Keduanya sempat saling pandang sebelum Alona menundukkan wajahnya. Dengan susah payah gadis itu menetralkan detak jantungnya yang sudah hampir terlepas, dan sekarang Devano malah muncul di hadapannya dengan tatapan yang membuatnya hampir mati di tempat.
“Gimana kalo gue maunya Lo?”
Tuhan! Tolong bawa Alona pergi dari sini segera. Rasanya Alona sudah tidak kuat menahan setiap ucapan yang keluar dari bibir Devano. Pipinya bahkan sudah bersemu jika saja dirinya tidak semakin menunduk. Bagaimana jika Devano melihatnya? Bisa habis dirinya menjadi bahan ejekan lelaki itu.
Devano terkekeh lalu menangkup kedua pipi Alona hingga gadis itu mendongak. “Gitu aja baper.”
Alona membulatkan matanya. Benarkah ini hanya sebuah ilusi? Kata-kata Devano tadi hanya semata-mata untuk bercanda tanpa adanya unsur keseriusan? Namun untuk ini Alona juga bisa bernafas lega. Akhirnya jantungnya bisa kembali berdetak normal walaupun membutuhkan sedikit waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA ( AL SERIES 2)
Random"Mengharapkan orang yang tidak pernah menginginkan kehadiran kita terkadang memang melelahkan." - Alona Zealinne Artharendra