ALONA II BERANGKAT BERSAMA

9 0 0
                                    

“Harapan tidak akan membawa apapun selain kekecewaan.”

- Alona Zealinne Artharendra

•••

Alona sudah siap dengan seragam putih abu-abu dengan sedikit polesan di wajahnya. Pagi-pagi sekali dirinya sudah bersiap-siap agar Devano tidak perlu menunggu lama. Untuk pertama kalinya mereka berangkat bersama dan Alona tidak ingin meninggalkan kesan buruk untuk ini.

Tidak perlu menunggu lama hingga mobil ferrari berwarna hitam milik Devano sampai di depan rumahnya. Kacanya perlahan terbuka. Menampilkan sosok tampan yang kini beradu pandang dengannya. Tidak ada dari mereka yang ingin mengakhirinya sebelum Alona tersadar dan memilih untuk menurunkan pandangannya.

“Masuk.”

Alona mengangguk. Lantas kakinya melangkah memasuki mobil Devano. Keduanya diam. Tidak ada yang ingin membuka suara. Bahkan hingga Devano menyalakan mobilnya dan melesat menuju bangunan sekolah.

Hanya ada keheningan. Tentu saja. Keduanya sibuk dengan perasaan masing-masing. Devano yang masih tidak mengerti mengapa jantungnya berdebar kencang saat berada di dekat Alona, dan Alona yang berusaha terlihat biasa saja walaupun gugup setengah mati. Untuk kedua kalinya dirinya berada di mobil yang sama dengan Devano dan perasaannya masih sama, gugup.

Tiba-tiba handphone Devano berbunyi. Memecah keheningan yang terjadi. Alona juga sempat melihat siapa yang sang penelepon sebelum Devano mengangkatnya. Dapat Alona lihat raut keterpaksaan di wajahnya dan itu membuat Alona mengerti jika lelaki di sampingnya ini sedang memiliki masalah dengan ayahnya.

“Ayah udah bilang jemput Aresha, ‘kan? Kenapa dia malah ngeluh kalo kamu gak kerumahnya?!” tanya Anandra dengan nada suara membentak.

Devano menghela nafasnya kasar. “Aku gak punya hubungan apa-apa sama dia. Jadi aku gak berkewajiban jemput dia.”

“Tapi kamu calon tunangannya, Devano!”

“Itu cuma anggepan Ayah.”

“Devano!”

Sebelum Anandra meneruskan ucapannya, Devano sudah terlebih dahulu memutuskan panggilan yang terhubung dengan lelaki paruh baya itu. Persetan jika Ayahnya akan marah. Dirinya tidak ingin semakin kesal karenanya.

Alona menggigit bibir bawahnya tak enak. Mungkin karena dirinya Devano dan Ayahnya kembali bermasalah seperti ini. “Lo kalo mau jemput Aresha jemput aja. Gue bisa ke sekolah naik taksi.”

“Gak.”

“Gue gak mau kalo sampe Ayah Lo marah, Devano. Lo tau sendiri gimana Ayah Lo, ‘kan?”

“Gue yang lebih kenal Ayah gue. Kita juga gak pernah akur sebelumnya. Jadi ini bukan masalah besar.”

“Tapi---”

“Lo nurut atau gue cemplungin ke selokan?”

“Gue serius. Kali ini dengerin gue.”

“Kalo gue gak mau? Lagian Lo siapa ngatur-ngatur gue? Intinya gue gak bakal jemput Aresha dan Lo tetep ke sekolah bareng gue. Gak ada penolakan, gak ada alesan. Gue males ngurusin Lo kalo sampe jadi gembel di jalan cuma gara-gara nyuruh gue jemput Aresha.”

Alona menipiskan bibirnya menahan senyum. Baru kali ini dirinya mendengar Devano berbicara sepanjang itu. Sebelumnya hanya kalimat-kalimat singkat yang keluar dari mulutnya.

Merasa tidak ada balasan lagi dari Alona, Devano memutuskan untuk kembali menjalankan mobilnya. Entah sadar atau tidak, namun bibirnya membentuk sedikit senyuman. Tidak ada yang menyadarinya, termasuk Devano sendiri.

•••

Siang ini Alona memilih untuk pergi ke kantin daripada terus menerus berada di kelas yang bising. Apalagi saat melihat tatapan sinis Aresha yang terus mengarah padanya. Juga karena keributan yang dibuat Zafran.

Di jalan tanpa sengaja dirinya melihat Mara dan kedua antek-anteknya tengah membully seorang gadis. Dan yang lebih parah, gadis itu adalah Nazea, kekasih Revan, atau lebih tepatnya sahabat Devano. Padahal Nazea bisa saja melawan jika dirinya ingin. Namun sepertinya gadis manis itu tidak ingin membuat masalah di sekolah. Terlebih dirinya adalah murid paling pintar di kelas.

Alona segera berjalan mendekat dan tanpa aba-aba langsung menendang pinggang Mara hingga gadis itu hampir tersungkur jika saja kedua antek-anteknya tidak segera menahan. Raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. Alona maupun Mara saling melemparkan tatapan tajam yang mampu membunuh siapapun.

“Maksud Lo apa?!” Mara bangkit. Dengan tidak berperasaan gadis itu menarik rambut panjang Alona.

Tidak tinggal diam, Alona juga menarik rambut Mara tak kalah kuat. Membuat murid-murid yang lain mulai berkerumun untuk melihat pertengkaran mereka. Beberapa siswa terlihat kaget. Mengingat dulunya mereka bersatu menjadi seorang pembully. Namun sekarang salah satu diantara mereka sudah berubah dan menentang perbuatan yang satunya.

“Gue cuma gak suka sama orang yang semena-mena!”

Mara berdecak lalu mendorong dada Alona hingga gadis itu mundur beberapa langkah. Bibirnya menyungging. Menciptakan senyum menyeramkan bagi semua orang. Apalagi saat kaki jenjang itu melangkah pelan namun penuh ancaman kearah Alona.

“Bukannya Lo juga dulu semena-mena. Sekarang kenapa belagu?”

“Seenggaknya gue masih mau berubah. Kadang gue kasian sama Lo. Beneran. Lo bully semua orang cuma karna mau dianggep ratu sama mereka, ‘kan?” Alona tersenyum. “Tapi sayang banget ratu iblis kayak Lo gak pantes ada di masyarakat yang baik. Mending pergi, deh. Lo lebih cocok di neraka!”

Mara menatap Alona penuh permusuhan. Tangannya hampir terangkat untuk menampar gadis itu sebelum suara datar namun terdengar mengecam mengalihkan perhatian mereka. Itu Devano. Entah mengapa lelaki itu bisa datang di waktu yang tidak tepat seperti ini.

“Berantem lagi?”

Devano berjalan mendekati kedua gadis itu dengan kedua tangan yang di masukkan kedalam saku celana. “Kenapa?”

“Mara bully Nazea. Sok keren banget, dih!” Alona mengadu sambil menatap sinis kearah Mara.

“Gue cuma ngasih pelajaran sama dia. Siapa suruh gak hati-hati sampe nabrak gue.”

“Tapi gak gitu caranya. Lagian gue yakin Nazea udah minta maaf. Cuma Lo aja yang pengen banget di takuti semua orang. Rendahan banget cara main lo.”

“Mulut Lo di jaga, ya!”

“Kenapa? Yang gue omongin emang bener, ‘kan?”

Devano menghembuskan nafasnya pelan. Waktunya untuk beristirahat sejenak menjadi terganggu karena mendengar laporan tentang pertengkaran yang terjadi di koridor. Dan yang membuat Devano harus turun tangan adalah karena Alona terlibat. Gadis itu tidak akan mendengarkan siapapun. Oleh karena itu dirinya sendirilah yang harus mengurus.

Tatapannya beralih pada Nazea yang sudah menangis dalam pelukan Lenara. Beruntungnya Revan hari ini tidak masuk hingga permasalahan ini tidak semakin panjang. Jika saja lelaki itu tau jika kekasihnya menjadi korban bully, maka bisa ia pastikan jika Mara akan habis di tangannya.

“Lo berdua ke ruangan gue.” Devano menatap Alona dan Mara bergantian. “Gue gak terima alesan apapun.”

“Ogah! Lagian dia yang salah!” tolak Alona sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

“Dih. Sok b*go banget Lo!”

“Kalian berdua!”

Keduanya sempat berdecak. Namun tetap melaksanakan titah Devano. Dengan ogah-ogahan Mara maupun Alona berjalan  menuju ruangan kebanggaan lelaki itu.

Setelah memastikan kedua gadis itu benar-benar berjalan ke ruangannya, tatapan Devano beralih pada Nazea. “Lo juga,” ucapnya sebelum berjalan mengikuti Alona dan Mara.

ALONA ( AL SERIES 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang