13.

633 65 5
                                    

Sarapan di kediaman Ronald Gerhardt kali ini terasa berbeda, kehadiran si bungsu yang sudah dua minggu tidak terlihat mampu mempengaruhi susana di meja makan.

Ketiga kakak beradik itu tenggelam dalam diam, ada kecanggungan disana. Terlebih salah satu diantara yang tertua telah mendengar ucapan ambigu dari liam saat waktu sahar tadi.

Jimmy meletakan alat makanya perlahan, dia menatap liam yang hanya fokus pada sarapannya.

"Dek, kemarin uncle ada ngasih obat gak ke kamu?"

Liam mengalihkan perhatiannya sejenak, hanya anggukan kepala yang anak itu berikan, sebab mulutnya masih terisi penuh.

"Disimpan dimana? Kakak lupa nanya sama kamu semalam. Diminum kan obatnya?"

"Enggak" jawabnya dengan enteng.

Jimmy yang mendengar itu sontak saja menghela napas kasar, entah hanya perasaanya saja atau bukan. Sejak bertemu dirumah sakit adiknya jadi banyak berubah, awalnya dia berpikir mungkin saja karna efek amnesia. Tapi semakin diperhatikan, kenapa liam jadi terlihat seperti orang lain?

Tidak, jimmy segera menepis pikiran bodohnya. Mana mungkin orang lain, ini pasti karena ingatannya yang hilang. Maka dari itu dia tampak berbeda, jelas dihadapannya saat ini adalah wujud asli sang adik.

"Yaudah, nanti jangan lupa diminum obatnya. Hari ini kakak ada kelas pagi, kamu gak papa kan kalo sendiri dirumah?"

"Hmmm, iya"

Setelah itu Mereka melanjutkan kegiatan yang sebelumnya tertunda, sedangkan barel hanya fokus dan diam-diam menguping pembicaraan kedua adik nya.

Sama seperti jimmy, barel pun merasakan perubahan dari liam. Hatinya juga merasa tidak nyaman, seperti ada yang hilang, namun dia sendiri juga tidak mengetahui apa sebabnya.

Bertahun-tahun mereka hidup dalam hubungan keluarga yang dingin, tapi itu semua adalah bentuk benteng pertahanan diri mereka. Ada hal yang masing-masing mereka sembunyikan, barel sadar tentang itu. Dia sendiri pun memiliki rahasia lain.

Rasanya sudah lama sekali dia tidak melihat interaksi kecil seperti yang dilakukan jimmy dan liam. Kalau boleh jujur ini lebih baik dari biasanya, meski masih ada rasa canggung untuknya.

"Gue selesai, kabarin kalo papa udah dirumah" ucap barel yang segera berlalu dari sana tanpa menunggu balasan dari adiknya.

Jimmy hanya memandang kepergian barel dalam diam, lalu tatapannya beralih ke arah si bungsu.

"Adek, nanti tolong kabarin kakak atau abang ya kalo papa sampai"

"Shane aja" sanggah Liam dengan cepat, sejujurnya dia malas sekali meladeni jimmy yang ternyata tidak jauh beda dengan Jeff, mereka banyak bicara.

"Gimana?" Tanya jimmy tidak mengerti.

Dengan menghela nafas Liam menjawab "Shane aja yang ngabarin, aku malas"

"Shane kan ikut sama abang ke kantor, jadi tolong ya, nanti adek kalo mau sesuatu kabarin aja ke kakak" ujar jimmy dengan sedikit bujukan, sejujurnya dia agak ragu dengan ini.

"Apa dia pikir aku anak kecil?" Batin Liam kesal.

Liam memutarkan bola matanya malas, "aku bukan anak kecil" ucapnya ketus.

Jimmy meringis saat Liam mengetahui maksud dari tujuannya.

"Kamu belum tujuh belas tahun, jadi masih kecil. Udah pokoknya nanti kalo papa dateng kamu harus kabarin kakak, jangan lupa diminum obatnya, kakak pergi dulu"

Jimmy berlalu dari sana meninggalkan liam yang masih mengumpat dalam hati karna lagi dan lagi, jimmy mengacak rambutnya seperti anak kecil.

"Nanti juga akan pulang, kenapa repot-repot memintaku untuk memberi kabar? Lagi pula aku tidak tau seperti apa rupa ayah mereka" gumamnya.

SECONDE VIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang