Arjuna Sutra Mahendra. Kepala dari keluarga kecilnya yang hancur. Mulai dari bangunan rumah yang tadinya diselimuti oleh kehangatan keluarga, kini harus hancur oleh kehancuran di masa lalu.
Juna, Juna adalah ayah dari ketiga anak kembar namun tak seiras itu. Ayah yang dulunya penyayang, belas kasih, dan juga perhatian kini sifatnya harus redup karna 1 pilar di belahan jiwanya telah hilang bagai hembusan angin itu.
Tubuh yang seharusnya sehat dan juga kekar, kini mulai mengkerut yang menghasilkan tubuhnya itu sedikit mengurus akibat banyaknya masalah yang datang tanpa di undang.
Keberadaan dirinya memang jarang sekali di sorot, atau lebih tepatnya jarang sekali memunculkan dirinya sendiri. Sebab dirinya sedang hancur, mungkin lebih dari kata hancur.
Juna duduk di salah satu kursi berwarna putih bersih sambil membawa masalahnya itu kesana. Terlalu memikirkan masalahnya tak sadar 1 tetes air yang tak ingin ia rasakan kian jatuh.
Namun, kondisi nya saat ini memang sedang menurun. Tunggu, sejak kapan dirinya sehat sejak masalah terberatnya kian datang?
"Airyn ... Saya belum sama sekali menjadi ayah yang terbaik bagi kedua anak mu, melihat mereka menderita mungkin membuat hati mu teriris tapi ego ku benar benar tak bisa aku kontrol."
"Sarah ... Saya juga ingin meminta maaf kepadamu karna telah mengekang anak satu satunya, anak tunggal mu"
"Saya tau, tidak ada gunanya juga jika saya meminta maaf di sini, seorang diri. Seharusnya saya meminta maaf kepada anak anak kalian bukan malah berdiam diri disini."
Juna terus menerus meminta maaf didalam taman itu, sekali lagi ini bukan lah kemauan Juna, tetapi karna egonya itu memang terlalu tinggi untuk hanya sekedar meminta maaf kepada anak anaknya.
Air yang tadinya hanya dapat meneteskan 1 2 butir kini kian deras entah kenapa. Di tambah hembusan angin yang mendukung untuk dirinya terus terpuruk diatas penderitaan sang anak.
"ayah gak perlu minta maaf. Aksa, Rakha sama Bima udh maafin ayah sebelum ayah meminta maaf kok"
Diam. Jantung Juna terasa di tahan mendengar suara yang tak asing baginya. Tak ada niatan untuk menoleh melainkan mengabaikan suara itu, Juna hanya pikir itu hanyalah halusinasinya saja.
Bagian kosong di sebelah Juna kini sudah terasa berat, itu artinya ada yang duduk di sebelahnya. Hingga 1 tepakan lembut Juna dapati dengan suara yang tadi ia dengar.
"ayah kenapa? ini Rakha loh yah, ayah malu ya karna tertangkap ada disini"
Alrakha Arga Mahendra. Anak kedua dan juga anak terakhir dari istri pertama tercintanya, Airyn.
Juna tak lagi diam kini ia menoleh tanpa menghapus air matanya yang masih keluar dari kelopak mata lelahnya itu.
Senyuman kotak ciri khas anak yang sering ia katai dengan sebutan sialan kini ada di hadapannya, di depan matanya sambil tersenyum tulus.
"ayah nangis? kenapa nangis? Rakha buat salah lagi yaa sama ayah?" tanya anak polos itu, yang memakai baju hitam berjaket navy, celana coklat, sepatu putih serta rambut yang rapih.
Tangan yang dulunya mungil, kini hinggap di pipi tirus Juna, tangan itu mulai mengusap lembut air yang ada di pipi ayahnya tanpa rasa jijik sama sekali.
Juna kini sadar kembali dan dengan cepat menepis tangan itu sedikit kasar.
"Bisa tidak jangan ganggu saya sebentar? apakah kamu tak ada tempat lain selain disini? pergi"
"Rakha ganggu ayah? Rakha cuma mau temenin ayah di sini sekalian bawa jaket ayah yang ketinggalan di depan mobil ayah"
"terimakasih dan sekarang pergi, jangan ganggu saya"
"kenapa ayah? Rakha gak boleh sama ayah, kenapa? Rakha udh mandi yah, Rakha udh gak gembel lagi"
"saya tidak peduli pergi dari sini Alrakha"
"ayah sebenci itu sama Rakha? ayah semuak itu sama Rakha? ayah segamau itu liat muka Rakha? kenapa yah?"
"kamu pembunuh istri saya"
"Rakha bukan pembunuh ayah, Rakha bukan anak pembunuh, Rakha gak tau kenapa bunda meninggal, Rakha gak tau kenapa bunda ninggalin kita, Rakha gak tau yah"
"Rakha harus lakuin apa supaya ayah mau nerima Rakha sebagai anak ayah bukan sebagai pembunuh?, Rakha juga manusia yang bisa cape yah, Rakha juga punya hati. Bilang sama Rakha apa yang buat ayah seneng dan mau nerima Rakha sebagai anak ayah"
"Rakha cuma mau di anggap ayah, Rakha gak peduli orang orang sekitar Rakha gak anggap Rakha tapi Rakha cuma mau ayah yang anggap Rakha ada disini, sebagai anak bukan pembunuh"
"Rakha tau Rakha anak yang gak berguna buat ayah, Rakha tau ayah benci banget sama Rakha. Tapi tolong hargai keberadaan Rakha disini yah, hargai usaha Rakha supaya bisa Deket sama ayah kayak anak dan ayah orang lain. Itu aja yah, Rakha gak minta lebih"
"Saya mau kamu pergi Rakha"
"apa dengan Rakha pergi ayah bisa Nerima Rakha sebagai anak ayah?"
'kamu sudah ayah anggap Rakha'
"ngga kan yah?"
"saya mau kamu kembalikan istri saya"
"kalo Rakha memilih untuk bertukar tubuh sama bunda ayah suka gak? jadi bunda aja yang hidup Rakha yang meninggal. Rakha gak bisa balikin bunda yah, karna Rakha gak punya kuasa, Rakha cuma punya obat untuk hidup yah"
"maksud kamu?"
"itu gak penting buat ayah, kalo emang gak ada cara lain selain itu Rakha bakalan pergi untuk ayah, dan semoga ayah suka dengan keputusan Rakha."
"Rakha mengambil keputusan ini karna Rakha capek, karna Rakha sakit hati yah. Anak ayah ini juga butuh istirahat, juga butuh waktu buat sembuh sama luka yah"
"mungkin Rakha gak tau seberapa besar luka ayah tapi kayak gini kah pelampiasan rasa sakit ayah?"
Perdebatan kali ini Rakha yang berbicara dan Juna yang diam. Diam mencerna perkataan anak keduanya, apa yang di maksud di sela sela perkataan nya.
"Rakha gak bakal ganggu ayah"
Setelah mengeluarkan kata kata itu Rakha langsung berbalik dan pergi dari sana. tapi
"RAKHAA AWASS!"
-Sorry typo bertebaran
nahloh, wets lanjut lagi by the way jangan lupa VOMENT!!
See you again guys
KAMU SEDANG MEMBACA
Abadi Selalu dan Selamanya
Random"ayah kalo emang muak sama kita, tinggalin lah kita biar hidup ayah ngga sengsara seperti sekarang, kita rela ayah pergi asal ayah bahagia" ucap Rakha Perkataan Rakha mampu membuat sang ayah diam tak bersuara "iya ayah kita rela ayah pergi ke mana...