Mark berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit yang sunyi, langkah kakinya terpantul di lantai marmer yang bersih. Hatinya berdebar kencang, pikirannya terfokus pada satu hal: Aeri. Setelah berhari-hari mencoba mendapatkan informasi dari eomma-nya, akhirnya dia berhasil mendapatkan nama dokter yang merawat Aeri, Dr. Jung. Sekarang, dia berada di depan pintu ruang praktik Dr. Jung, mengumpulkan keberanian untuk mengetuk.
"Masuk," suara dalam terdengar dari balik pintu.
Mark membuka pintu dan melangkah masuk. Dr. Jung, seorang dokter muda yang tampan dengan wajah ramah, sedang duduk di belakang meja, menatap layar komputernya.
"Silakan duduk," kata Dr. Jung dengan senyum lembut, mengangkat pandangannya dari layar. Mark mengambil tempat duduk di hadapan dokter itu, mencoba menenangkan kegugupannya.
"Dokter Jung, saya datang untuk mengetahui lebih banyak tentang kondisi kesehatan Aeri," kata Mark, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
"Apa kau suami nya?"
"Dokter tau?" Tanya Mark balik.
"Tentu! Aeri pernah bercerita sedikit." Dr. Jung mengangguk pelan, tampak sudah memahami situasi ini. "Aeri adalah seorang pejuang yang luar biasa. Dia telah melalui banyak hal dan masih bertahan dengan sangat baik," katanya, memberikan pandangan yang penuh penghargaan.
Mark menelan ludah, merasa ada sesuatu yang lebih besar yang akan diungkapkan. "Dokter, saya ingin tahu semua yang perlu saya ketahui. Saya ingin memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik."
Dr. Jung menarik napas dalam, kemudian mulai menjelaskan. "Aeri hanya memiliki satu ginjal yang berfungsi, dan itu sudah menjadi tantangan besar. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah riwayat penyakit lupusnya. Lupus adalah penyakit autoimun yang bisa mempengaruhi berbagai bagian tubuh, termasuk ginjal. Walaupun sudah 2 tahun ini tidak ada gejala yang muncul kembali. Tapi kemungkinan besar bisa datang kapan saja."
Mark mendengarkan dengan saksama, merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. "Jadi, apa yang harus saya lakukan?" tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.
"Yang paling penting adalah memastikan Aeri menjalani pola hidup yang sehat," jawab Dr. Jung. "Dia perlu menjaga dietnya, rutin berolahraga, dan tidak lupa mengonsumsi obat-obatan yang telah diresepkan. Dukungan emosional juga sangat penting."
Mark mengangguk, mencoba menyerap semua informasi yang diberikan. "Saya akan pastikan dia mendapat semua itu, Dokter. Terima kasih banyak."
Setelah pertemuan itu, Mark keluar dari ruangan dengan tekad yang kuat. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan segala yang bisa untuk mendukung Aeri.
Hari berikutnya, Mark membawa berbagai macam buah segar. Saat dia masuk, Aeri terlihat sedang duduk di ruang tamu, membaca buku.
"Untuk mu," Mark kikuk, tidak tau harus bagaimana. "Aku bawa beberapa buah segar. Bagus untuk kesehatanmu."
Aeri mengangkat alis, terkejut dengan perhatian yang tiba-tiba itu. "Tumben sekali. Tapi terima kasih, deh. Kau tidak perlu repot-repot."
Mark duduk di sampingnya, memasang wajah serius. "Kenapa kau menyembunyikan hal besar dari ku?"
Entah itu pernyataan atau lebuh ke pertanyaan, Aeri merasa bingung. "Memang aku menyembunyikan apa? Bukankah kau yang sering menyembunyikan banyak hal dari ku?"
"Kenapa kau mau menyumbangkan ginjal mu hanya untuk menolong ku?"
Mendengar itu, Aeri tertegun. Matanya melebar, dan dia menatap Mark dengan kaget. "Ba bbagaimana kau tahu?"
Mark tersenyum lembut. "Eomma yang mengatakannya. Kemudian aku bertemu dengan Dr. Jung juga. Aku hanya ingin memastikan kamu mendapatkan perawatan terbaik."
Aeri menundukkan kepalanya, merasa campur aduk. "Mark, kau tidak perlu berpura-pura hanya untuk membalas budi. Aku tidak butuh simpati."
Mark menggelengkan kepala. "Ini bukan tentang balas budi, Aeri. Ini tentang aku peduli padamu. Kau sudah cukup kuat bertahan selama ini, dan aku hanya ingin membantu."
Aeri menatap Mark, melihat ketulusan di matanya. Perlahan, dia tersenyum tipis. "Baiklah, Mark. Aku akan terima bantuanmu. Tapi ingat, aku masih bisa menjaga diriku sendiri."
Mark tersenyum lebar. "Tentu, aku tahu itu. Kau adalah pejuang yang tangguh, Aeri."
Aeri merasa kurang nyaman, entahlah perasaan nya menjadi gusar. Apa itu adalah alasan Mark mengajak semuanya dari awal?
"Mark, aku tidak butuh kasihan mu. Lagipula aku sehat kok, jangan terlalu serus dengan ginjal ku. Kau fokus saja dengan pekerjaan mu."
Kenapa? Kenapa disaat Mark ingin mencoba kembali berdamai, ia mendapat respon seperti itu.
Mark menggenggam kedua tangan Aeri, merasakan halusnya kulit seputih susu nya, kemudian Mark berjongkok menundukkan pandangan nya. "Terima kasih, istri ku. Terima kasih atas semua yang kau perjuangkan untuk ku. Ku mohon kali ini, kita berdamai dan memulai semua dari awal ya? Ku mohon Aeri maafkan aku."
Aeri terkejut tentu saja dengan sikap lelaki ini, apalagi ia mendengar isak tangis yang sudah tidak bisa tertahan lagi. Mengusap pucuk rambut Mark, "Mark berdirilah, jangan seperti ini."
Mark menggeleng cepat," Tidak mau. Kau belum memaafkan ku."
Tersenyum kecil, Aeri merasa gemas sendiri dengan sikap sang suami."Kau tidak perlu sampai seperti ini untuk mendapat maaf ku. Karena dari awal akulah yang merusak kehidupan mu, Mark. Jadi, disini seharusnya aku yang minta maaf." Jelasnya kemudian.
Mark mendongak, memajukan badannya ingin memeluk Aeri. Namun dengan cepat Aeri menahannya. "Kita berpisah saja ya?"
Mark terkejut dan melepaskan genggaman tangannya. "Berpisah? Aeri, apa maksudmu?"
Aeri menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. "Mark, aku sudah banyak berpikir. Aku merasa ini adalah jalan terbaik bagi kita. Kita berdua butuh waktu untuk menyembuhkan luka-luka kita masing-masing. Aku tidak ingin kau merasa terbebani dengan kondisiku."
Mark merasa dunia seakan runtuh. "Aeri, jangan bicara seperti itu. Kau seperti ini juga karena aku kan? Ku mohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, aku ingin berada di sisimu, membantu dan mendukungmu. Kita bisa melalui ini bersama."
Aeri menggelengkan kepala, air matanya mulai mengalir. "Kau harus fokus pada karirmu dan hidupmu, Mark. Aku tidak ingin menjadi penghalang."
Mark menggenggam tangan Aeri lagi, kali ini lebih erat. "Kau bukan penghalang, Aeri. Kau adalah bagian dari hidupku. Tolong, beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bisa melewati ini bersama."
Aeri menatap dalam mata Mark, melihat ketulusan dan cinta yang terpancar. Dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang sulit, tetapi demi kebaikan mereka berdua, dia merasa ini adalah pilihan yang tepat.
"Aku minta maaf, Mark," kata Aeri pelan. "Aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Mungkin suatu hari nanti, kita bisa menemukan jalan kembali ke satu sama lain. Tapi untuk sekarang, ini adalah yang terbaik."
---