Ketakutan

146 11 7
                                    

Jarum di jam dinding kamar Haidar sudah menunjukkan tepat pukul 6 pagi. Suasana pagi di Jakarta memang terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, kedua mata Haidar masih terasa berat hingga enggan untuk terbuka.

Suhu tubuh Haidar tak seperti biasanya, ia merasa begitu lemas untuk bangkit. Angin dari hembusan napas Haidar terasa panas, ia menutup wajahnya dengan lengannya.

Telinga Haidar tak mendengar beberapa panggilan yang terus memanggil namanya di depan pintu kamarnya, ia sedikit terkejut saat ibundanya memegang tangannya yang ia letakan di wajah.

"Bunda, ngagetin aja." tanpa menjawab, ibunda Haidar langsung memegang kening Haidar hingga lehernya, ia mendudukkan tubuhnya di tepi kasur.

"Kamu gak denger bunda panggil? Badan kamu panas, Haidar." tak ingin menjawab, Haidar kembali menutupi wajahnya dengan lengannya lagi.

"Haidar." panggilnya

"Ck, Haidar gak kenapa-kenapa, bunda."

"Sayang, kamu jujur deh sama bunda, bunda tau kamu akhir-akhir ini begadang terus."

"I'm gonna be okay, bunda. Haidar cuma butuh istirahat sebentar, nanti juga sembuh."

"Bunda serius, Haidar! sekarang kamu mandi, bunda tunggu di bawah, kita periksa ke klinik. Kalo kamu gak mau, bunda sita semua kendaraan kamu termasuk credit card  kamu." Haidar melepaskan lengannya dari wajahnya dan melihat ibundanya pergi begitu saja.

Dengan sigap, Haidar membangkitkan tubuhnya dari kasur dan segera membersihkan tubuhnya. Tak ada pilihan lain selain menuruti perkataan ibundanya, ia sangat takut jika ibundanya sudah meninggikan suaranya.

Meskipun Haidar bisa melawannya, namun ia akan tetap kalah jika berdebat dengan ibundanya. Ia akan menurutinya agar tak membuat hati ibundanya sedih saat ia tetap bersikeras untuk melawannya.

Sudah beberapa menit telah berlalu setelah Haidar bersiap-siap untuk pergi bersama ibundanya untuk memeriksa kondisi tubuhnya, ia menuruni tangga dan menghampiri ibundanya yang sedang menunggu dirinya sambil menonton televisi.

"Udah?" Haidar hanya mengangguk dengan lemas dan segera mengikuti langkah ibundanya keluar.

Selama di perjalanan, Haidar hanya terdiam tak berani mengeluarkan kata untuk mengobrol dengan ibundanya. Ia menyandarkan kepalanya di kursi penumpang, menutup matanya untuk menenangkan isi kepalanya.

"Jangan bohong sama bunda."

"Haidar gak bohong."

"Let's see, kalo bunda sampe denger kata dokter kamu kenapa-napa, bunda gak kasih kamu main sampe kamu benar-benar sembuh."

Haidar membuka matanya dan menatap wajah ibundanya yang sedang fokus menyetir, ia ingin mengelak agar tak dimarahi olehnya, namun ia pasrah dan menghembuskan napasnya.

Kepalanya ia sandarkan kembali di kursi penumpang itu, ia kembali memejamkan matanya dan menjelaskan apa yang terjadi padanya.

Haidar menceritakan perkuliahannya hingga tak lupa untuk bercerita tentang isi kepalanya yang akhir-akhir ini sedang berantakan. Mulai dari tugas kuliah hingga masalah percintaannya dengan Jovaniel, ibundanya mengangguk mengerti.

"Kalo kamu butuh tempat buat cerita, kamu harus inget kamu masih punya bunda, sayang. Bunda pasti bisa bantu kamu buat masalah kuliah, hari ini sampe beberapa hari ke depan kamu izin gak masuk, nanti bunda yang ke fakultas. Dan.."

Haidar mengangkat kedua alisnya, ia terus menatap wajah ibundanya. Ia hanya terdiam dan menunggu apa yang akan ibundanya katakan padanya.

Hingga saat lampu merah menyala, ibundanya melambatkan mobilnya dan menatap wajah Haidar. Ia menghembuskan napasnya perlahan dan memegang punggung tangan Haidar.

You're Mine, JovanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang