Bab 8

3 0 0
                                    

"Rayaaa??" Suara nyaring membuat Kiraya menoleh ke asal suara. Terlihat seorang wanita dewasa datang dengan dua kantong besar.

"Hati-hati, Tan!" Tegurnya kala wanita  dewasa di depannya nyaris tersandung kayu di bawahnya.

"Maaf. Tante terlalu semangat. Soalnya, anak tante yang pertama mau pulang. Makannya tante seneng banget."

Kiraya tersenyum. "Oh ya? Bagus dong."

Wanita dewasa yang tak lain adalah Bu Anggita atau sekarang dipanggil tante Anggita akhirnya pamit menuju dapur guna memersiapkan masakan spesial untuk sang putra yang lama tidak pulang.

Sedangkan Kiraya geleng-geleng kepala melihat bagaimana tingkah tante Anggita, kemudian ia melanjutkan kembali aktivitasnya.

Sudah tiga minggu Kiraya datang ke rumah Bu Anggita, tepatnya setiap hari sabtu dan Minggu. Dan di pertemuan kelima, Bu Anggita menyuruhnya memanggil tante. Katanya terlalu risih dipanggil Ibu.

Selain bertemu dengan tante Anggita, ia juga bertemu dengan Om Juanda, suami tante Anggita. Biasanya jika ada waktu, beliau selalu mengajak Kiraya mengobrol. Membahas banyak hal berkaitan dengan seni. Dari situ juga, dia tahu kalau ayah dari Om Juanda adalah salah satu seniman terkenal yang lukisannya sudah tersebar dimana-mana.

Berbincang dengan Om Juanda seperti membuka jalan baru, jalan yang belum pernah dia lalui.

Baru tangannya mulai mengukir, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki diikuti derit kursi. Kiraya mendongak. Dahinya melengkung mendapati sosok berkaos hitam sedang duduk bersandar dengan tatapan lelah.

Sambil mengamati, kiraya mendengarkan segala keluh kesah orang di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sambil mengamati, kiraya mendengarkan segala keluh kesah orang di depannya. Sesekali tangannya menggaruk dahi. Bingung memberitahu kalau dirinya bukan mamah yang dimaksud.

Posisi Kiraya yang terhalang rumput tinggi dan hanya terlihat kepalanya, disalah artikan oleh si cowok. Ia mengira ibunya sedang bercocok tanam seperti yang biasa beliau lakukan.

"Mah? Mamah dengerin abang? Kok diem aja, abang lagi curhat nih. Bukannya mamah nyuruh abang pulang karena pengen dengerin cerita abang?" Tak mendapati sautan atau tanggapan sedikitpun, cowok yang memanggil dirinya abang lantas bertanya.

"Mah? Oh... Gitu? Abang dicuekin? Abang pulang lagi nih." Ancam cowok itu pura-pura beranjak.

Sedangkan sang empu disangka ibu-ibu, kalang kabut. Bibirnya yang sedari tadi berkedut menahan tawa kini digigitnya pelan. Kalau beneran pulang, kasian tante Anggita. Tapi, gimana caranya dia menampakkan diri setelah tanpa sengaja mendengarkan segala cerita si cowok.

Dia tak mengira, cowok berotot dan bermata tajam itu bisa mengeluarkan nada dan kalimat yang menurutnya menggelikan. Rajukan, omelan, dengusan, semua terpatri dengan apik di kepalanya.

Tak mendapati balasan, si cowok mengerutkan alis. Ibunya kenapa, jangan-jangan merajuk lagi dengan ayahnya? Pikirannya menebak.

"Mah?" Hening. Berulangkali kali dirinya memanggil, tak mendapat balasan juga. Takut ibunya kenapa-kenapa sontak cowok tersebut  tergesa menghampiri.

Netra tajamnya melotot mendapati sosok perempuan sedang duduk bersila menatapnya kikuk.

"Lo siapa?!"

*****

"Assalamu'alaikum, Bi mamah mana?"

"Waalaikumsalam. Masyaallah, abang pulang?" Pekik Bi Ayun melepaskan sapu yang tadi dipakai beralih memeluk orang yang tadi mengucap salam. "Abang kemana aja, kenapa jarang pulang? Kasian Ibu. Sering galau."

Si cowok terkekeh sambil mencium tangan Bi Ayun, asisiten rumah tangga yang sudah bertahun-tahun ikut keluarganya dan seseorang yang dia anggap ibu keduanya.

"Abang sibuk Bi, ngga sempet kalau bolak-balik."

Bi Ayun mengangguk. "Tadi bibi liat ibu ada di taman, Bang. Samperin gih!" Orang yang di panggil abang pun berlalu.

"Loh, ibu di dapur? Bibi kirain ada di taman." Bi Ayun terkejut.

"Tadi saya emang ke taman bi, tapi cuma sebentar. Kenapa emang bi?"

"Tadi abang cariin."

"Abang udah pulang?" Pekik Bu Anggita. "Oh ya ampun.... Bi, sekarang jam berapa? Bolunya tolong potongin bi, pasti dia laper."

Kehebohan di dapur terhenti saat mendengar suara nyaring dari arah luar.
Bu Anggita dan Bi Ayun saling lirik lalu bergegas menuju asal suara.

*****

"Raya, kenalin ini anak pertama tante. Namanya Salendra. Abang, kalau ini Raya. Raya ini yang bantu mamah bikin pagar taman." Tante Anggita saling memperkenalkan.

Setelah kejadian beberapa menit lalu, Kiraya yang canggung, makin canggung saat di tatap tanpa kedip. Seolah jika berkedip, cewek di depannya bisa tiba-tiba menghilang.

"Abang!" Tegur sang mamah, menyenggol lengan cowok yang sedari tadi diam. "Ngga sopan, natep orang kayak gitu.

"Kalian ngobrol-ngobrol dulu sambil tunggu masakan mateng, mamah tadi bikin bolu, kamu potong-potong sendiri." Tante Anggita menunjuk seloyang bolu yang baru dikeluarkan dari oven. "Ajakin Raya sekalian. Raya, kamu istirahat dulu aja yah." Ujar tante Anggita berlalu, meninggalkan dua anak yang saling berperang dengan diri masing-masing.

Kiraya meremas tangannya, ada tante Anggita aja dia canggung binti kikuk, apalagi ini? Belum lagi manik hitam cowok yang ngga beralih sedikitpun.

Sedangkan di sisi lain, si cowok yang tak lain Salendra, sedang mengumpat dalam hati. Berbagai kalimat negatif dilayangkan untuk kebodohan dirinya.

Menghembuskan napas, Salendra berusaha bersikap tenang. Mengandalkan muka datarnya, ia membuka pembicaraan.

"Kenal dimana sama mamah?"

"Di sekolah." Jawab Kiraya singkat.

"Sekolah?" Tanya Salendra. "Elo masih pelajar?"

Kiraya tercengang. What? Pardon? Maksudnya muka dia keliatan udah tua kah?

Menyadari kesalahan kalimatnya, lantas cowok itu meralat ucapannya.
"Maksudnya, elo masih SMA? Eh.... Bukan. Argh, ya Tuhan... Okelah gue gak bisa basa-basi. Jadi mending gue diem."

Kiraya spontan tertawa sampai keluar air mata, cowok di depannya ini. Pikirnya gemas. Dari pertama datang sampai sekarang, selalu membuat perutnya teraduk. Belum usai kepalanya menghilangkan kejadian tadi, kini di tambah merasakan kegundahan manusia introvert untuk mengawali percakapan.

Berdehem sejenak, Kiraya mengusap sudut-sudut matanya. "Maaf... Maaf... Ngga bermaksud ketawa. Tapi elo lucu." Lirihnya di akhir kalimat.

"Aku masih sekolah, tepatnya kelas XII. Karena tante tertarik sama desain punyaku, jadi.. disinilah sekarang."

Tanpa disuruh, Kiraya menjelaskan dibalas anggukan mengerti.

"Aku aja yang motong." Cegah Kiraya tiba-tiba.

"Its okey. Kamu udah capek dari tadi. Istirahat aja."

Salendra melanjutkan potong- memotongnya. Di potongan ketiga, Salendra memotong dengan ukuran besar lalu memindahkan ke piring kecil dan menyodorkan kepada Kiraya.

"A-apa?"

"Ambil lah! Jangan nolak ataupun membantah." Tegasnya saat dilihatnya cewek di depannya hendak menolak.

"Tapi kegedean."

"Harus habis! Tenang. Bolu buatan mamah, enak kok." Ujarnya tak mau dibantah. "Anggap aja, imbalan buat tutup mulut." Sambungnya sambil menyuap bolu berselai coklat.

******

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pluviophilia (HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang