BAB 10 Dia Alicia

288 19 0
                                    

Bastian dan Tasya duduk berdua di ruang tunggu saat Aurel pergi ke toilet. Keheningan menyelimuti kedua manusia yang sedang bersama itu.

"Sya, lo pasti khawatir banget ya sama Alicia?" Tanya Bastian membuka percakapan.

"Iya, gue khawatir banget sama Cia! Dia...lebih berarti bagi gue dari apapun, karena dia gue bisa bertahan sampai sejauh ini. Kalau nggak ada Cia, gue nggak tau bakalan hidup atau enggak," jawab Tasya emosional.

Bastian tampak ragu ingin bertanya lagi atau tidak, namun rasa penasarannya jauh lebih tinggi.

"Kalau gue boleh tau, kejadian apa yang bikin lo bisa nganggep Cia orang yang bikin lo bisa bertahan?"

Tasya tersenyum kecil, kemudian gadis itu menarik nafas dalam sebelum berbicara yang sebenarnya pada Bastian.

______________________________________________

5 tahun lalu......

Tasya sedang berjalan memasuki gerbang sekolah, hari ini adalah hari pertamanya menginjak SMP. Senyum cerah terpancar begitu jelas pada wajah cantiknya.

"Baiklah, ini adalah hari pertama MPLS! Saya Denata kakak pembimbing kelompok Leo, salam kenal semuanya!" Ujar Denata selalu ketua regu dari kelompok Leo.

Anak-anak bersorak memberikan atensi positif pada kakak OSIS mereka.

"Hai, gue Larisa! Lo siapa?" Sapa salah seorang siswi yang berada di samping Tasya.

"Gue Tasya," jawab Tasya ramah.

Larisa tampak manggut-manggut, mereka berdua berbicara dengan akrab. Sesekali gelak tawa berhasil keluar dari mulut keduanya.

"Btw, lo kok nggak kumpul bareng sama temen-temen lo yang lain sih?" Tanya Tasya.

"Oh, mereka di kelompok Aquarius! Gimana mau nyamperin coba?"

Setelah kurang lebih setengah hari, MPLS hari pertama telah selesai. Tasya kini sedang menunggu mamanya menjemput di dekat pos satpam.

"Sya, gue duluan ya!" Pamit Laris berlalu dari atas mobil mewah.

Tasya membalas dengan senyum ramah, kenapa? Untuk membangun citra tentunya! Hari pertama sekolah harus terlihat kalem, nanti dulu liarnya.

30 menit berlalu, tetapi mama Tasya belum kunjung menjemputnya. Tasya masih setia menunggu, mungkin sedang ada macet di jalan. Secara Jakarta setiap hari selalu ramai dan tak luput dari kemacetan.

1 jam.....

2 jam.....

3 jam....

Sekarang sudah jam empat sore bahkan hampir setengah lima, tetapi mamanya belum juga kunjung datang. Tasya sudah meringkuk dirinya sendiri sambil duduk di lantai sekarang.

"Mama kemana? Kenapa belum jemput sih? Apa mama udah lupa sama aku? Mama udah nggak sayang sama aku?" Cecar Tasya terisak.

"Loh neng, kok belom pulang? Ini udah sore loh," tegur satpam sekolah.

"Saya belum di jemput pak! Mama saya udah nggak sayang lagi sama saya!"Jawab Tasya masih terisak.

"Tasya!" Panggil seorang wanita dengan menggunakan baju biru ala rumah sakit.

"Mama!"

Tasya langsung berlari menuju wanita yang dia sebut sebagai mamanya itu.

"Maafin mama ya sayang? Mama udah telat jemput kamu," ujar Marina.

Tasya menggeleng cepat dalam dekapan hangat sang mama. Wajah Marina terlihat begitu pucat dan seperti menahan rasa nyeri pada bagian sudut perutnya.

"Ayo, kita pulang!" Ajak Marina menggenggam tangan Tasya.

Kedua ibu dan anak itu berjalan menuju mobil, Tasya dengan riang bersenandung kecil.

Brukh!

Tubuh Marina ambruk begitu saja ke tanah dengan kuat, kini wanita itu kehilangan kesadarannya.

"Mamaaa!" Pekik Tasya.

.

.

.

Tasya menangis tersedu-sedu di rumah sakit bersama dengan Aurel, tantenya.

"Gimana Tasya bisa hidup tanpa mama Tante? Tasya nggak sanggup!" Isak Tasya.

Aurel mengeratkan pelukannya pada Tasya, entah bagaimana caranya agar Aurel bisa membuat Tasya ceria lagi.

"Kamu tenang Sya! Mama kamu pasti bisa sembuh!"

"Tante jangan bohong! Aku udah bukan anak kecil yang naif lagi sampai bisa Tante Aurel bohongin! Mama menderita gagal ginjal Tante, kemungkinan mama bisa sembuh bener-bener kecil!"

Tasya bangkit dari duduknya dan berlari menuju luar. Aurel berusaha mengejar Tasya, tetapi dihalangi oleh perawat yang meminta agar administrasi segera diselesaikan.

*******

Tasya berlari hingga ke rooftop, gadis itu kini menjatuhkan dirinya ke lantai sambil terus terisak. Tidak bisa Tasya bayangkan jika harus hidup tanpa sosok mamanya.

"Tolong jangan ambil mama Tuhan! Kalau mau Tuhan bisa ambil aja aku, tapi jangan ambil mama!"

Tiba-tiba terlintas sebuah ide dalam pikiran Tasya. Gadis remaja yang masih labil itu berjalan perlahan menuju pagar pembatas rooftop.

"Aku bakalan kasih nyawa aku biar mama bisa tetep hidup. Aku mohon Tuhan setelah aku loncat dari sini, tolong cabut penyakit mama! Jangan biarin mama menderita!"

Tasya memejamkan matanya, perlahan gadis itu berusaha menjatuhkan dirinya dari atas gedung. Namun seseorang menarik tangan Tasya hingga gadis itu terhempas keras ke lantai.

"Apaan sih? Kenapa lo cegat gue?" Tanya Tasya dengan emosi.

"Gila! Kamu pikir kalau loncat dari atas sini terus mati mama kamu bisa sembuh gitu? Nggak! Mama kamu akan tetap sakit, jangan bertindak bodoh dalam kesedihan!" Omel Alicia menatap erat netra Tasya yang berderai air mata.

"Kita hadapin ini sama-sama, manusia cuma bisa jalanin takdir dengan cara berbeda tapi tujuan dari takdir nggak akan berubah. Sejatinya nggak ada manusia yang benar-benar bisa merubah takdir! Kalaupun bisa, takdir sepenuhnya nggak akan beubah total semuanya hanya akan tertunda sesaat." Lanjut Alicia menasihati Tasya.

Tasya melampiaskan kesedihannya dalam pelukan Alicia, gadis itu sudah membuka pikiran terdalam Tasya. Meyakinkannya agar bisa bertahan menghadapi beratnya kenyataan dunia.

Dia Alicia, alasan Tasya bisa berdiri di depan semua orang sebagai sosok yang berani. Dia Alicia, gadis yang dengan suka rela mengulurkan tangan dan membantu Tasya kembali ke jalan yang benar. Dia Alicia dan semuanya karena dia.

The Wrong ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang