Life Happens

311 29 55
                                    

Well written by ebinebiw

a/n

Hai teman-teman! Terima kasih sudah sabar menunggu cerita ini dilanjutkan. Di chapter ini kalian bakal menemukan lebih banyak narasi dari pada dialog. Bacanya pelan-pelan aja, ya!

Oh iya. Saranku untuk chapter ini, kalian baca dulu sampai selesai, baru kasih komen. Setelah selesai baca sampai akhir, kalian bisa in line comment juga. Ini cuma saran, boleh diikuti boleh enggak, hehehe.

Enjoy!!

- ebinebiw -

💫💫💫💫💫💫💫💫💫💫
💫💫💫💫💫💫💫💫💫💫

"Maksudnya apa sih, Pi? Kenapa Papi malah jodohin Sadam sama Sherina?"

Amarah yang sedari tadi ditahan, kini akhirnya meledak ketika mereka sampai di rumah. Sadam yang tak habis pikir dengan keputusan Papi yang tiba-tiba akhirnya menuntaskan perasaannya ketika kini hanya tinggal mereka bertiga disana.

Demi Tuhan. Bagaimana bisa ayahnya itu menjodohkannya dengan orang lain saat dirinya sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Marsha?

Apakah selama ini Papi menganggap hubungannya dengan Marsha adalah sebuah permainan? Atau jangan-jangan Papi memang sengaja menjebak Sadam dalam sebuah pertunjukan? pertunjukan sirkus konyol demi pundi-pundi rupiah yang semakin menggunung.

"Papi tidak terima bantahan"

Laki-laki berusia senja itu berujar tenang. Setenang ombak laut lepas. Sama sekali tidak terusik dengan emosi si sulung yang pecah. Gerik tubuhnya tidak menampakkan gejolak.

"Pi, Sadam bisa kok pegang factory tanpa harus melibatkan Erlangga. Sadam bisa handle-"

"Butuh berapa tahun untuk kedai kamu berjalan seperti sekarang?" Tuan Ardiwilaga memotong cepat. "Kalau bukan karena Sherina, kamu bahkan nggak bisa bayar untuk gaji karyawan"

Tunggu. Sadam tidak salah dengar, kan? Jadi ini ada hubungannya dengan kedai? tapi..

"Jadi Papi menganggap kerja sama ini sebagai balas budi? Balas budi karena menurut papi Sherina lah yang bikin kedai semaju ini?" Sadam menatap nanar. Tak habis pikir dengan jalan pikiran pria yang selama ini selalu ia agungkan. "Dia cuma pelanggan, Pi. Pelanggan yang kebetulan juga butuh bantuan produk dan jasa dari kedai. Kalau papi mikir seperti itu lebih baik Sadam putuskan hubungan aja dengan panti."

Meski terdengar bodoh, Sadam tetap membela diri dengan kalimat tak berbobot itu. Otak nya harus berpikir cepat untuk menemukan solusi dari masalah ini.

"Papi nggak pernah meminta balasan atas apa yang selama ini Papi kasih sama kamu"

"Terus apa, Pi? Papi pikir Sadam main-main sama Marsha? Kita udah empat tahun, Pi. Sadam bahkan lagi siapin pernikahan sama Marsha. Atau kalau Papi mau, Sadam bisa bujuk Om Suteja untuk invest-"

"Ini perintah, bukan negosiasi." Tegas, dingin, dan berwibawa. Nada suara yang selama ini hanya didengar Sadam ketika papinya itu sudah memberi keputusan final pada para karyawan kepercayaannya.

Sadam frustasi bukan kepalang. Dadanya yang bergemuruh menjadi tanda bahwa ia dilanda amarah. Sungguh tak habis pikir dengan keputusan telak yang Papi pilih.

Isi kepala laki-laki itu berantakan. Tak bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Papi jadi seenaknya? Kenapa Papi seolah memegang semua kendali? Bukankah urusan factory sudah sepenuhnya dilimpahkan pada Sadam?

Life HappensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang