Meja nomor sebelas

286 27 82
                                    

Well written by ebinebiw

💫💫💫💫💫



💫💫💫💫💫

Dua hari yang lalu. 

Sadam mengambil napas dalam, memberanikan diri menatap Andre Suteja -ayah Marsha- dengan penuh ketegasan meski hatinya bergejolak. "Kedatangan Sadam ke sini bermaksud untuk..." Kepalanya kembali menunduk, kata-katanya menggantung sejenak, memberinya waktu untuk mengumpulkan keberanian yang sekali lagi tiba-tiba menguap saat ekor matanya mendapati wajah sang kekasih.

Marsha nya yang cantik. Marsha nya tersayang. Marsha Suteja yang seharusnya selangkah lagi menyandang gelar baru sebagai Nyonya Ardiwilaga. Nyonya Sadam Ardiwilaga. Namun, itu tidak akan pernah terjadi, karena Sadam sendiri yang akan menghancurkan mimpi indah itu—mimpi indah mereka berdua.

Perlahan, ia kembali mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Sekali lagi memberanikan diri menatap langsung ke arah ayah Marsha. Di sela-sela tatapannya, Sadam lagi-lagi melirik Marsha yang duduk di sebelah ayahnya. Wajah Marsha terlihat cemas, namun Sadam tidak bisa lagi mundur.

"Membatalkan pernikahan," ucap Sadam dengan suara tegas, namun penuh beban. Keputusan ini sudah bulat di hatinya, meski ia tahu konsekuensinya tidak akan mudah.

Marsha panik bukan main. Ada apa ini sebenarnya? Apa rahasianya terbongkar? Apa Sadam sudah tahu tentang hubungan gelapnya dengan Bian? 

Sialan. Siapa yang memberi tahu? Apa selama ini ada yang mengintainya? Hilfi? Hanya sepupu Sadam itu yang melihatnya keluar dari gedung apartemen Bian waktu itu. Benarkah dia yang mengadukannya pada Sadam?

Tapi tidak mungkin. Jika Sadam sudah mengetahuinya, laki-laki itu mungkin sudah meninggalkannya sejak lama. Lalu apa yang membuat Sadam berubah pikiran sejauh ini?

Saat Marsha masih sibuk menebak-nebak segala kemungkinan atas perbuatannya sendiri, Sadam merasakan kekhawatiran yang hampir sama. Laki-laki itu merasakan jantungnya berdebar keras saat Marsha menatapnya dengan penuh tuntutan.

“Dam? What’s wrong with you?” Sang puan bertanya dengan nada yang tajam, menunjukkan  kebingungan dan kemarahan yang meluap. Tatapan Marsha seperti menelanjangi segala rahasia yang selama ini ia sembunyikan. Sadam meneguk ludah, mencoba menenangkan diri, meski tahu apa yang akan ia katakan hanya akan memperburuk semuanya.

“Apa maksud kamu, Dam? Kenapa tiba-tiba seperti ini?” Tuan Suteja turut angkat bicara. Kerutan di dahinya semakin dalam, menambah kesan tegas dan tak sabar untuk mendengar penjelasan selanjutnya dari Sadam.

Sadam menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengucapkan alasan yang telah ia simpan rapat-rapat. “Ada wasiat Papi yang harus Sadam wujudkan, Om.” katanya dengan suara yang bergetar, meski berusaha untuk tetap tenang. “Sebelum meninggal, Papi meminta Sadam untuk melakukan beberapa hal, salah satunya adalah... membatalkan rencana pernikahan Sadam dengan Marsha.”

Keheningan langsung menyelimuti ruangan setelah kalimat itu terucap. Wajah Tuan Suteja memerah, tanda bahwa amarahnya sudah di ambang batas. “Ini penghinaan untuk keluarga kami, Sadam Ardiwilaga,” ucapnya dengan suara rendah namun penuh ancaman. Matanya yang tajam menatap lurus ke dalam mata Sadam, seolah mencoba menembus pertahanannya.

Sadam menundukkan kepala, merasa semakin bersalah dengan setiap detik yang berlalu. “Sadam paham, Om.” jawabnya dengan penuh penyesalan. “Atas nama keluarga Ardiwilaga, Sadam memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Om dan keluarga. Keputusan ini sangat sulit, tapi Sadam harus menghormati permintaan terakhir Papi.”

Life HappensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang