The Beginning

296 19 0
                                    




Suara genderang juga alat-alat musik tradisional itu bergemuruh mengisi malam di sebuah desa terpencil jauh dari peradaban.

Seorang wanita tua dengan pakaian hitam menutup hampir seluruh tubuhnya menari berputar-putar dikelilingi oleh para pengikutnya.
Bersebelahan dengan api unggun yang menyala besar, mengepulkan asap hitamnya ke udara.


"Eomma....apakah adikku sudah akan lahir?" Bocah kecil bermata sipit dan berpipi gempal itu mengusap-usap perut buncit sang ibu yang meringis kesakitan dengan hati-hati.

"Iya, sayang...." Jemari lentik itu meraih tangan mungil yang masih berlabuh di atas perutnya.

"Anakku....dengar baik-baik..." Sang ibu berusaha bangun dan duduk.
Suara orang-orang bernyanyi mulai terdengar lebih kencang dan ramai dari luar tenda yang hanya berlapis kain kanvas tebal yang telah usang.
Menyerupai puji-pujian lebih tepatnya.

"Ya eomma?" Bocah kecil itu memilih untuk mendekat daripada membiarkan sang ibu kesulitan untuk duduk dengan perut besarnya.

"Anakku....." Wanita berwajah lelah itu tersenyum mengusap pipi anak kesayangannya.
"Kau mungkin tidak akan bertemu dengan adikmu"

"Eomma?" Kedua mata sipit itu membulat kebingungan.

"Ssssttt.....dengarkan eomma baik-baik, nak..."
"Eomma sangat menyayangimu, kau tahu itu bukan?" Dibelainya lembut surai hitam sang buah hati yang mengangguk kuat-kuat.

"Ingat pesan eomma, nak..."
"Setelah adikmu ini lahir....eomma mohon pergilah..."
"Pergi sejauh mungkin dari desa ini"
"Dan jangan kembali" Sorot mata penuh kesedihan itu berubah menjadi tegas dan menuntut.

"E-Eomma bicara apa?" Kedua mata membulat itu semakin besar.

"Kau tidak akan lagi bertemu adikmu...juga eomma, nak..."
"Maafkan eomma.....ini semua kesalahan eomma..." Ia tersenyum getir.

"Aku tidak mengerti, eomma...."
"Apa yang....."

Hentak keras kain yang dibuka itu mengejutkan keduanya. Empat orang laki-laki bertopeng menyeramkan bergerak cepat merengkuh lengan sang wanita dan dengan kasar mendorong sang bocah ke samping hingga terhuyung nyaris jatuh.


"Eomma!"
"Jangan sakiti eomma!"
Ia berlari dan berusaha menarik-narik tangan para laki-laki yang terus menyeret sang ibu menuju ke tengah padang rumput tandus tempat puji-pujian juga suara alat musik itu berbunyi semakin kencang.

"Eomma mau dibawa kemana?!!" Langkah kecil bocah itu semakin tak mampu mengejar mereka.

Terjatuh lalu kembali bangkit berusaha meraih sang ibu yang telah dibawa ke tengah-tengah padang rumput. Dibaringkan di atas sebuah alas batu datar memanjang menyerupai altar.

Pahatan berbentuk kepala binatang dengan tanduk panjang seperti kerbau itu bertengger di ujung atasnya.

Wajah wanita itu penuh peluh dan air mata. Mengerang kesakitan sambil melipat kedua kakinya. Berontak dan berteriak saat keempat laki-laki itu menahan kedua tangannya.

"Eomma!!" Dengan sisa tenaganya anak itu menjerit.

Tak lama bahunya berjengit kaget. Wanita tua berpakaian serba hitam yang beberapa menit lalu menari-nari itu mengusap kepalanya dan tersenyum.
"Ia akan baik-baik saja, nak kecil...."
"Ia akan baik-baik saja....." Ia terkikik pelan kemudian berjalan menuju sang ibu yang terbaring pasrah.

Langkah sang bocah tertahan oleh pemandangan yang sangat menyakitkan. Suara bayi menangis dan sosok wanita tua yang menggendongnya sambil tertawa-tawa membuat seluruh bulu kuduknya meremang.

Ia mematung tak mampu bergerak saat bayi mungil itu tak lagi bersuara dalam dekapan sang wanita tua.


"Yoongi!" Suara pilu itu membuyarkan lamunannya.

"Pergi dari sini!!"
"Pergi dan jangan pernah kembali, nak!"

Seolah titah mutlak, bocah itu berbalik lalu berlari sekuat tenaga. Meninggalkan suara-suara pujian yang berubah menjadi tawa menyeramkan. Orang-orang bertopeng itu mulai menggeram dan bertingkah bak binatang.


"Maafkan eomma....." Wanita itu tersenyum dengan air mata yang mengalir deras.
"Eomma menyayangimu...."

Kobaran api menjalar seiring tubuhnya yang terbakar dan berlari menyentuh semua orang yang berada di sekitarnya.

Dirobohkannya tiang-tiang obor yang berjajar di tepi padang rumput itu. Tak ada lagi suara genderang dan nyanyian. Hanya teror dan ketakutan yang bersahut-sahutan.

Menutup kedua telinganya erat-erat, bocah bertelanjang kaki itu terus berlari menyusuri hutan. Habis sudah air matanya terkuras menyaksikan sang ibu menghilang dari pandangannya.
Ia mendengus keras sebelum semuanya berubah gelap dan dingin.





"Semua habis terbakar, kapten" Seorang pria berpakaian polisi berlari mendekat.

"Tak ada lagi yang tersisa.... Oh? Masih hidupkah?" Tanyanya ketika sang kapten berbalik dengan seorang anak kecil yang tak sadarkan diri di tangannya.

"Mungkin ia seumuran dengan puteraku...." Kim Jong-soo tersenyum miris.
"Sepertinya anak ini terjatuh ke sungai saat sedang melarikan diri"

"Lihat....telapak kakinya luka-luka seperti ini" Ia mengusap kaki kecil itu lembut dengan sapu tangannya.

"Orangtuanya pasti telah meninggal dalam kebakaran tragis itu"


"Kapten....."


"Lanjutkan pencarian..." Ia berdiri menggendong bocah itu di tangannya.
"Anak ini harus menjadi tanggunganku hingga dewasa nanti"



"Itu janjiku...."

ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang