"Kau yakin ini tempatnya?"
Seokjin menoleh pada Yoongi yang mengeratkan kepalan tangannya di tepi pintu mobil. Sorot matanya menatap ke luar kaca jendela tanpa emosi.
Rintik hujan yang mengiringi keberangkatan mereka semakin deras di luar sana.Tempat itu hening, jauh dari perkotaan dengan jalan berkelok menanjak juga hutan dan jurang di sejauh mata memandang.
"Kehadiran wanita itu terasa sangat kuat..." Ia berucap tenang walau jantungnya berdegup kencang.
"Kalian tidak takut?" Jimin mencondongkan tubuh diantara kedua kursi mereka.
Seokjin mendengus tersenyum lalu menoleh singkat.
"Takut.....sangat takut, Jiminie...."
"Walau aku tidak mengalaminya....peristiwa itu seperti membekas selalu pada ingatan kami..." Ia mengusap singkat kepalan tangan Yoongi yang berada di atas pangkuannya. Menarik lalu menggenggam erat seolah ingin menenangkannya."Seperti apa rupanya ya?" Yoongi terkekeh pelan.
"Wanita itu seharusnya sudah berumur ratusan tahun sekarang..."Seokjin dan Jimin hanya melirik iba. Entah bagaimana rasanya jika mereka berada di posisi sang pria pada waktu itu. Kehilangan adik dan ibunya dalam satu hari. Tak mampu berbuat apa-apa hanya karena masih anak-anak dan tak mengerti apapun.
"Dengar.....aku tidak ingin kau ikut, Jimin..."
"Setibanya di tempat itu....aku ingin kau hanya berjaga sejauh mungkin" Yoongi memalingkan wajahnya menatap lekat sang kekasih yang mengerutkan dahi bingung.Jimin menggelengkan kepalanya pelan. "Kau bilang...."
"Aku akan kembali...." Yoongi memotong ucapan sang pria dengan sentuhan lembut di bibirnya.
"Itu janjiku....""Ahh....kalian ini...." Seokjin tertawa geli. Sedetik kemudian ia harus membanting kemudi karena tiba-tiba mobilnya mendadak berhenti dan berbelok pada tikungan tajam beralas jurang.
"Kalian tidak apa-apa?" Ia berusaha mengatur deru nafasnya diantara kilatan cahaya yang berkali-kali menyambar.
"Apa yang terjadi, Seokjin?" Yoongi menggenggam erat jemari Jimin yang masih terkejut.
"Sepertinya kita sudah dekat...." Seokjin menebarkan pandangan ke sekitar sambil sesekali mencoba menghidupkan kembali mobilnya.
Batu-batu nisan tak terawat tampak menyembul diantara ilalang."Yoongi....." Tiba-tiba tatapannya beralih pada satu bangunan tua yang sepertinya adalah sebuah ruang penyimpanan jenasah di ujung tanah pemakaman yang masih gelap karena hujan deras.
"Gosh....auranya gelap sekali disana...." Seokjin perlahan membuka sabuk pengamannya.
"Kau benar...." Yoongi menatap kosong pada dua buah pintu kayu besar yang tertutup rapat itu.
"Ia disini...."
"Yoongi, tunggu!" Jimin menarik tangannya ketika sang pria terburu-buru membuka pintu hendak melangkah keluar.
"Stay here......please..." Yoongi kembali menutup pintu dan membelai lembut wajah khawatir sang kekasih.
"Berjaga dan mintalah bantuan jika kami belum kembali..."Jimin menggeleng kuat-kuat. "Aku akan ikut..."
"Jiminie....." Seokjin berusaha menenangkan sang pria.
"Ini bukanlah kasus biasa....memerlukan orang-orang yang tidak biasa pula untuk menanganinya""Dan jika terjadi sesuatu padamu..."
"Kami tidak tahu harus bagaimana""Tolong mengertilah...." Ia memiringkan kepala, tersenyum menatap mata berkaca-kaca itu iba.
"Yoongi......" Pria mungil itu meringis kecil tak ingin ditinggal.
"Aku akan kembali, Jiminie....janji..." Dikecupnya bibir mengerucut itu lembut.
"Tunggu aku ya....."Seokjin memalingkan wajahnya. "Namjoon....."
"Apakah kita masih bisa bertemu lagi?"
Kilat dan gemuruh mengiringi langkah Seokjin dan Yoongi mendekati bangunan tua itu.
"Aneh....." Seokjin bersandar pada dinding kayu bersebelahan dengan pintu masuknya.
"Too quiet...""Wanita itu memang sengaja menanti kita, Seokjin...."
"Menantiku...." Yoongi memiringkan senyumnya. Memasukkan batu berwana merah yang menjadi kelemahan sang wanita itu rapi ke dalam saku celananya.
Seokjin hanya menggeleng singkat, membiarkan Yoongi mendorong pintu kayu yang berderit dengan senjata api telah digenggam erat di tangannya.
"Aku datang......Young Mi..."
Hembusan angin kencang pun datang entah dari mana. Suara langkah tenang terdengar mendekat.
"Hallo"
"Kakak...." Senyum manis seorang wanita menatap keduanya yang tersentak membulatkan mata."Ka....kak?" Yoongi mundur perlahan.
"Kau pikir aku masih hidup dan berjalan dengan tubuh yang sama seperti saat aku mengambil raga adikmu ini untuk persembahan puluhan tahun lalu, hmm?"
"Kau naif, Yoongi....." Wajah pucatnya sangat mirip dengan sang ibu. Tersenyum semakin lebar seiring langkahnya mendekat.
Seokjin berulang kali menelan ludahnya. Wanita yang tidak lain adalah adik kandung Yoongi itu sudah tak bernyawa, arwah di dalamnyalah yang hidup dan mengendalikan raganya. Young Mi.
"Yoon......"
Ucapannya terpotong seiring kepala wanita itu menoleh dan menatapnya tajam."Kau......ayahmu membakar habis kediaman kami..." Sorot matanya berubah menakutkan. Surai hitam panjangnya berkibar-kibar seiring telapak tangannya yang terulur mencekik leher Seokjin hingga terangkat.
"Lepaskan! Aku yang kau inginkan....bukan dia!" Yoongi berusaha melepaskan pegangan tangannya namun tenaga sang wanita yang jauh lebih besar membuatnya terhempas menabrak dinding kayu di belakangnya.
Wanita itu kembali memalingkan kepalanya menghadap Seokjin. Saat itu pula satu peluru berisi air suci menembus dagunya.
Young Mi berteriak menjauh dan membiarkan Seokjin jatuh tersungkur.
"Yoongi!" Ia bergegas lari menghampiri sang pria yang berusaha bangun.
"We lost her!" Yoongi menggeram kesal menghempaskan tinjunya ke lantai.
"Yoongi...lihat...." Seokjin menatap ngeri pada sebuah lingkaran bercahaya yang semakin melebar di tengah ruangan.
Tak lama suara langkah kaki berlari terdengar memasuki gudang itu.
"Aku mendengar suara tembakan" Jimin memasuki ruangan kemudian terbelalak menatap marmer hitam yang perlahan runtuh membentuk sebuah jurang.
"Jangan mendekat!" Yoongi melebarkan telapak tangannya pada sang pria, mengisyaratkan agar Jimin menghentikan langkahnya dan mundur.
"Kita pergi dari sini...." Setengah berbisik, Seokjin menarik kerah kemeja Yoongi.
Keduanya saling membantu untuk berdiri lalu berjalan cepat menuju pintu."Lari!" Yoongi menarik pergelangan tangan Jimin keluar dari ruangan itu.
Mereka pun berlari secepat mungkin,