Trauma

92 12 0
                                    




"Pagi Namjoon..."

Yang disapa sontak menegakkan kepala. Mengerjap bingung kemudian menoleh saat wajah manis itu berada tepat di samping kursinya.

"Kau bekerja hingga pagi disini?" Seokjin membulatkan matanya.

Ia memperhatikan dasi hitam longgar yang masih terpasang melingkar pada kerah kemeja putih dengan dua kancing teratasnya yang terbuka. Surai keemasan yang kemarin tertata rapi itu terlihat berantakan.

Seokjin membungkuk untuk mengambil selembar kertas yang sepertinya terjatuh saat Namjoon tertidur entah jam berapa malam tadi lalu meletakkannya di atas meja.


"Crap! Jam berapa ini?" Tersadar dari alam mimpi, Namjoon segera berdiri dari kursinya.

"Enam...." Seokjin tersenyum geli.
"Kopi?"

Namjoon mendengus dan mengusap wajah dengan kedua tangan lalu kembali duduk menopang kepalanya yang terasa berat.

"Rough night?" Seokjin meletakkan cangkir kopi itu di atas meja sang rekan.

Sang pria mengangkat kepalanya lalu mendengus tersenyum. "Tidak...tidak...."
"Aku harus menyelesaikan laporan ini tadi malam"

"And i did..." Namjoon terkekeh lega lalu berdiri sambil merapikan kertas-kertas juga mapnya.

"Itu......untukku?" Ia melirik pada gelas tebal berisi kopi dengan uap masih mengepul yang diletakkan Seokjin beberapa menit lalu di atas mejanya.

"Well...if you want" Seokjin terkekeh kaku.
"Aku membuatnya untukku sendiri. Kukira belum ada siapa-siapa disini"

"Bolehkah?" Namjoon meraih gagang mug itu lalu mendekatkan pada indera penghidunya.

Seokjin mengangguk dan tersenyum geli melihatnya. Kedua kelopak mata itu terpejam seiring hidung kecil yang bergerak semakin dekat dengan mugnya.
Aroma harum kopi panas di pagi hari selalu membuatnya bersemangat.

"I like it...." Namjoon mendengus tersenyum setelah menyeruput kopi buatan sang rekan.

Untuk sesaat Seokjin hanya terdiam memandang dua buah cekungan kecil yang menghias pipi sang pria.

"Aku akan mandi dan merapikan diri"

"Good idea...." Sedikit tersentak akan ucapan Namjoon, Seokjin mengangguk lalu memalingkan wajahnya.




"Wanita itu tidak mengingat apa-apa"

"Aku tahu......beberapa kalipun dokter bertanya, ia selalu menjawab sama"

"Seorang wanita menyeramkan menghampiriku lalu aku tidak mengingat apapun..."

"Begitulah penuturannya berulang-ulang"

Seokjin mengulum senyum dari meja kopinya. Cerita para petugas kepolisian yang berjalan mendekat itu adalah sesuatu yang sangat biasa ia dengar saat bekerja di tempat lamanya.

"Hey, detektif baru!" Seorang petugas menepuk bahunya pelan kemudian tersenyum menjabat tangannya.
"Kami baru saja membicarakanmu"
Dua orang petugas menyusulnya untuk membuat kopi di meja yang sama.

"Tidakkah kau takut wanita gila itu akan menyerangmu tempo hari eoh?" Jisung membulatkan matanya menatap Seokjin yang tengah memasukkan bubuk krimer dari sebuah kemasan plastik kecil.

"Wanita itu......um....." Berpikir sejenak sebelum menyesali perkataannya seperti saat ia masih bekerja sebagai petugas kepolisian di tempat lamanya.

"Hanya mengalami gangguan jiwa ringan" Seokjin tersenyum.

"Mungkin jika kalian tidak segera membawanya ke pusat rehabilitasi, wanita itu tidak akan selamat"
"Terima kasih..." Ia memiringkan kepala dengan senyum yang masih menghias wajahnya.

Ketiga petugas itu saling menepukkan telapak tangan mereka kemudian tertawa bangga. Seokjin pun permisi untuk melanjutkan pekerjaannya.



"Aku mengatakan yang sebenarnya!"

Suara tawa juga cemoohan itu terus bergantian terdengar di telinga Seokjin.

"Dan kau tahu itu karena arwah penasaran yang membisikkan di telingamu?" Seorang polisi berseragam mendekat dan berucap serius ke hadapan wajah tegangnya.

"Aku mengatakan yang sebenarnya...." Seokjin tertunduk pasrah.

"Aku tidak berbohong...."

"Akan ada kebakaran hebat disini dan kita harus keluar sekarang..." Ia menghela nafas sedih.

Dan tawa mereka kembali meledak.
"Oh....bisakah kau bertanya pada arwah penasaranmu itu apakah aku akan beruntung mendapatkan lotre malam ini?"
Kembali mereka terbahak mendengar pertanyaan konyol dari rekannya.

Seokjin mendengus tersenyum tanpa mengangkat kepalanya.
"Tidak....."

"Karena malam ini kalian tidak lagi disini...." Ia menggumam sangat pelan kemudian pergi meninggalakan rekan-rekannya yang masih bercanda dan mengolok-oloknya.

Baru saja langkah Seokjin selesai menuruni anak tangga gedung tempat kerjanya. Suara ledakan besar menggelegar beberapa meter di belakangnya.

"No!" Ia berusaha kembali masuk namun ledakan kedua yang lebih besar membuatnya terpental beberapa meter menjauh.

Pandangannya mulai buram, Seokjin menggeleng kemudian kembali terjatuh menutup telinganya yang berdenging keras. Suara tawa yang beberapa saat lalu ia dengar berubah menjadi erangan histeris. Dan semuanya pun gelap.

".......jin...."
"Seokjin!"

PRANG

"Hey!"

Kedua mata Seokjin membelalak ngeri saat lengannya diguncang oleh sang pria.

"You okay?!"

"N-Namjoon?" Ia mengerjap lalu melirik tangannya yang hampa.

"Gosh! Maaf....maaf...." Seokjin segera mengambil kain lap kemudian membersihkan lantai dari pecahan gelas dan kopi panas yang tumpah berantakan di samping meja kerjanya.

"Kau kenapa?" Namjoon mengerutkan dahi ngeri menatap sang pria yang tergesa-gesa memunguti pecahan gelas di bawah kakinya.

"Maaf....aku melamun....akh!" Seokjin sontak menarik tangannya ketika pecahan gelas itu tak sengaja tertancap di jarinya.

Tak berbicara, Namjoon segera menggenggam pergelangan tangan sang pria lalu menariknya ke dalam kamar mandi. Memutar keran wastafel dan membawa jemari lentik itu ke bawah aliran airnya.

"Tahan..." Dengan hati-hati Namjoon mencabut potongan keramik itu dari jari telunjuk sang pria.

Seokjin memiringkan kepalanya. Menatap raut wajah khawatir Namjoon dengan bibir sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi dengan jarinya.

"Jangan melamun, Seokjin..." Namjoon berbalik dan berjalan keluar dari kamar mandi setelah selesai membalut telunjuk sang pria dengan plester.

"Maaf merepotkan, Namjoon..." Setengah berbisik, Seokjin menatap sisi wajah sang pria yang merona lalu tertunduk dan mengulum senyumnya.

ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang