Yudhis terjaga dari semua pikiran kusutnya dan langsung membuka pintu teralis pembatas dapur dengan taman belakang. Pemuda itu batuk beberapa kali ketika melihat asap putih sudah menyebar dan hampir memenuhi ruangan yang sebenarnya lumayan besar itu.
Berkali-kali Yudhis mengucap istirja. Asap tebal membumbung di atas penggorengan yang sudah menghitam. Jantung Yudhis seakan berhenti berdetak. Dinding dekat kompor menghitam, bekas asap tebal yang baru saja mulai menghilang. Segala yang ada di atas wajan kini berubah jadi... arang. Pisang goreng keju yang tadi dia tinggalkan begitu saja, kini tak lebih dari sekumpulan benda hitam tak berbentuk.
Api di kompor menyala sangat kecil, tapi ternyata masih ada. Dia tidak 100% mematikan kompor karena terlalu fokus menelepon. Ya Allah, Yudhis rasanya ingin marah pada Bu Melani, tapi rasanya sia-sia. Ini semua salahnya. Jelas ini salahnya!
Di tengah kepanikannya, tiba-tiba Yudhis melihat Bapak yang muncul dari arah kamar dengan ekspresi serius. Tanpa berkata apa-apa, Bapak langsung mematikan kompor, menyambar handuk dan menyemplungkannya ke bak air dekat wastafel lalu menutup panci sekaligus kompor dengan handuk itu, menekan semua asap yang melayang-layang.
"Bapak! Maaf, Yudhis...." Yudhis mencoba bicara, tapi suaranya terputus oleh batuknya sendiri. Dia masih setengah syok, setengah panik.
Bapak menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak, antara marah, lega, atau mungkin campuran keduanya. "Memasak penih semangat, sih bagus, Dhis, tapi jangan sampai semangatmu membakar rumah kita! Ada apa?" tegur Bapak dengan nada tenang, tapi penuh ketegasan.
Yudhis hanya bisa menunduk dengan wajah memucat. Dadanya masih berdebar kencang, seakan baru saja lari marathon. "Salah Yudhis tidak awas saat mematikan kompor. Harusnya Yudhis memastikan kompor benar-benar mati sebelum mencari udara segar di belakang." Suaranya terdengar serak, penuh rasa bersalah. Jantungnya masih belum bisa tenang, terutama setelah menyadari bahwa dia hampir saja membuat rumah mereka jadi berita utama di media karena kebakaran.
Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dari arah ruang tamu dan juga lantai dua. Yudhis menoleh dan melihat Ibu, Bima, dan Juna berdiri di ambang pintu dapur, dengan ekspresi tak kalah terkejut terkejut. Ibu tampak ingin marah, tapi raut wajah Bapak membuatnya menahan diri. Matanya hanya menatap dinding dapur yang menghitam dan bekas pisang goreng keju yang kini tak lebih dari arang hitam.
"Ada apa ini?!" seru Ibu, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya.
"Tumben, Bang? Abang nggak apa-apa?" Bima yang paling memiliki empati tinggi bergerak ke arah kompor dan menyibak handuk basah yang melingkupinya. Pemuda itu menarik napas panjang melihaty kekacauan di bawahnya.
Mampus ini kan wajan kesayangan ibu! Bang Yudhis bisa hidup sampai malam ini nggak, ya? Bima bergidik.
"Juna bantu beresin, ya, Bang? Abang duduk aja dulu sama minum. Pasti kaget, kan?" Alih-alih kepo menanyakan penyebab, Juna langsung turun menangani kekacauan itu. Diambilnya wajan dengan hati-hati menggunakan alas panas lalu melirik Ibu. Dengan ekspresi yang dibuat semanis mungkin, Juna tersenyum, "Bu, wajannya kita kuburkan saja, ya. Nanti Juna carikan penggantinya. Alhamdulillah kemarin dapat rezeki sedikit."
KAMU SEDANG MEMBACA
END TABUNGIN
HumorYudhistira bersedekap sambil berkata, "Temanku nggak mau difoto. Soalnya belum bisa mewing, jadi nggak sigma! Dia masih merasa skibidi!" Bima mengerjap bingung. "Bang ... situ gen Z apa gen alpha, sih?" Pemuda itu menggeleng sebagai jawaban. "Abang...