Kenapa Soal Geometri susah? Soalnya Muter-Muter Di Lokasi yang Sama

125 28 19
                                    

Hari Sabtu pagi, Yudhis sudah bersiap dengan pakaian yang sangat formal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari Sabtu pagi, Yudhis sudah bersiap dengan pakaian yang sangat formal. Kemeja cokelat muda dan celana hitam menjadi pilihannya hari itu. Tas punggung berisi beberapa modul matematika SMP telah disiapkan. Setelah meminta restu dari Bapak dan Ibu, Yudhis pun melaju mengendarai motornya menuju salah satu kawasan elit di Jakarta Selatan. Tentu saja, tak lupa menyiapkan KTP untuk di titipkan di pos penjaga saat dia memasuki cluster perumahan.

Rumahnya meski masuk di sebuah cluster, tapi terletak hampir di paling belakang merupakan gabungan dari empat rumah mewah yang dijadikan satu bagian depan belakang-kiri dan kanannya. Meski tanpa pagar, tapi rumah ini luar binasa besarnya! Enggak, Yudhis tidak salah berpikir, tapi memang dia merasa bisa berjalan dua puluh ribu langkah sehari kalau punya rumah sebesar ini. Apalagi desain rumahnya dipenuhi ukiran di kanan dan kiri. Nuansa klasik kayu dipelitur halus dan aroma segar terasa karena ada sebatang pohon besar di pekarangan rumah mereka.

Dia menekan bel dan seorang asisten rumah tangga berseragam keluar dari rumah mempersilakan Yudhis langsung masuk. Dia melintasi garasi, masuk lewat pintu samping, melintasi gudang tempat menyimpan aneka sepatu dan alat olahraga yang berdebu, lalu masuk ke ruang pajangan koleksi tas branded, berbelok ke kiri menemukan tangga. Dia pun diajak naik ke atas lalu berjalan menyusuri koridor selebar dua meter sebelum akhirnya sang asisten mengetuk pintu ke tiga.

Yudhis langsung berpikir, jika dirinya sakit, mending Bima yang disuruh gantiin. Juna bisa nyasar entah ke mana!

Ketika pintu jati berukir itu terbuka, tampaklah seorang bocah berumur 13 tahun. Penampilannya gendut sekali dengan remah-remah keripik di sudut bibirnya. "Oh, udah datang, Pak!" bocah itu tersenyum lebar. "Bikinin Pak Guru minum sama camilan, ya, Mbak!"

"Bapak mau minum apa?"

"Air putih dingin saja."

Asisten itu pun mengangguk dan pamit sembari menutup pintu di belakangnya.

"Ayo, Pak! Masuk!" Tampak sekali bocah itu senang melihat kehadiran Yudhis. Semoga saja ini pertanda baik.

Pria itu menarik napas panjang, merasa sedikit canggung dipanggil Pak. Namun, usia mereka memang terpaut sangat jauh. Lebih dari satu dasawarsa. Meminta dipanggil 'kak', khawatir mengajarkan hal tidak sopan. Tidak semua orang suka 'dimudakan' seperti itu.

Mereka tampaknya sedang berada di ruangan khusus belajar. Ada satu set komputer di pojok berhiaskan pajangan kristal yang terlihat mahal, satu layar monitor besar dengan lemari geser mini tertutup di bawahnya, dua lemari buku kaca raksasa, satu bean bag di atas karpet beledu halus, lalu ada tenda kecil di seberang meja komputer. Tampaknya anak ini senang bermain sambil belajar.

"Mommy udah ngenalin aku belum?"

"Baru nama Daffa saja," jawab Yudhis akhirnya.

Bocah itu mengangsurkan kantong keripik besarnya ke arah Yudhis. "Bapak mau?"

END TABUNGINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang