Pagi-pagi, Andra bangun dengan perasaan yang nggak enak. Perutnya mual, dadanya sesak, dan kepalanya berat. "Aduh... kok mual banget ya...," gumamnya pelan sambil berusaha bangun dari tempat tidur. Tapi, begitu dia berdiri, rasa mual itu langsung menyerang lebih keras.
"Nggak kuat...," katanya sambil buru-buru berlari ke toilet. Di sana, dia langsung bersandar di wastafel, mencoba menenangkan perutnya yang bergejolak. Tapi sia-sia, mual itu semakin menguat dan akhirnya, "Hoekk... hoekk...," Andra muntah dengan suara keras, seolah semua yang ada di perutnya keluar seketika.
"Nih gara-gara kelamaan di bathtub kemarin...,” Andra mengeluh sambil terengah-engah setelah muntah. Dia nggak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
Sementara itu, di luar apartemen Andra, Laras sudah tiba dengan membawa berkas-berkas penting. Dia sudah mencet bel beberapa kali, tapi nggak ada jawaban. "Kok nggak dibuka-buka ya? Apa Andra masih tidur?" pikir Laras.
Merasa ada yang nggak beres, Laras akhirnya memutuskan untuk masuk aja. Begitu masuk, apartemen Andra sepi, nggak ada tanda-tanda Andra di ruang tamu ataupun kamar.
“Andra?” panggil Laras, tapi nggak ada jawaban. Dia terus berjalan menyusuri apartemen, sampai akhirnya suara Andra yang sedang muntah terdengar dari arah toilet. "Hoekk... hoekk..."
Laras langsung bergegas menuju sumber suara. Begitu sampai di depan toilet, dia mendapati Andra sedang berjongkok, terlihat lemas sambil masih berusaha mengosongkan perutnya. Tanpa banyak pikir, Laras langsung mendekati Andra, lalu tangannya dengan cepat memijat tengkuk Andra dengan lembut.
“Hoekk... hoekk…,” Andra kembali muntah sejadi-jadinya, kali ini lebih kuat lagi. "Hoekk... Aduh, Laras... mual banget...," keluh Andra dengan suara lemah sambil terengah-engah, tangannya berpegangan kuat di pinggiran wastafel.
“Nggak apa-apa, pelan-pelan aja,” Laras mencoba menenangkan sambil terus memijat tengkuknya, berharap bisa meredakan mual Andra sedikit demi sedikit. Setelah beberapa saat, Andra akhirnya berhenti muntah, tapi rasa mual dan nggak enak di perutnya masih sangat terasa.
"Nggak kuat berdiri gue...," ucap Andra bergumam dengan nada putus asa, "Pijitin punggung aku, Laras..." pintanya pelan sambil mencoba berdiri. Laras membantu Andra bangkit dan mereka pindah ke ruang tamu. Andra duduk di sofa, membelakangi Laras dan memeluk bantal besar di depannya.
Laras mulai memijat punggung Andra, mencoba meredakan semua ketegangan yang tersisa. Sementara itu, Andra mulai sendawa kecil,
“Heekk... heekk... aduh, Laras... mual banget masih... Heekk...” Andra terus mengeluarkan sendawa yang nggak berhenti-berhenti, perutnya masih bergejolak tapi nggak sampai muntah lagi.
Laras merasa kasihan melihat Andra yang terus-terusan nggak enak badan. Dia tahu, kalau cuma dipijit gini aja mungkin nggak cukup buat ngeluarin semua angin yang terjebak di tubuh Andra. Akhirnya, dia mengambil keputusan, “Andra, kayaknya dikerokin aja, deh. Biar anginnya keluar semua,” kata Laras sambil melirik meja, melihat ada minyak dan koin yang biasa mereka pakai buat kerokan.
“Ya udah, coba deh…,” Andra setuju dengan lemah.
Laras pun segera mengambil minyak dan koin, lalu memulai kerokan dengan pelan-pelan. Dia nggak mau terlalu keras karena tahu tubuh Andra masih lemah. Tapi begitu Laras mulai ngerok, Andra langsung sendawa lagi, “Heekk... heekk... aduh, kok enak tapi mual ya...”
“Nggak apa-apa, keluarin aja semua anginnya...,” jawab Laras sambil terus ngerokin punggung Andra dengan hati-hati. Tiap kali koinnya digerakkan, Andra terus sendawa keras, tapi kali ini dia merasa lebih lega.
"Heekk... Heekk...,” Andra nggak bisa berhenti sendawa, tapi dia tahu ini proses yang harus dia lewati buat ngeluarin semua angin di tubuhnya. Perlahan-lahan, dia mulai merasa lebih nyaman, mualnya berkurang, dan punggungnya yang tadi terasa berat mulai ringan lagi.
Setelah kerokan selesai, Andra duduk bersandar di sofa, masih terlihat lelah. Dia mencoba menenangkan perutnya yang masih sedikit mual, sambil sesekali mengelus punggungnya yang penuh bekas kerokan.
Laras melihat Andra masih nggak nyaman, lalu dengan cepat dia beranjak ke dapur. “Andra, aku bikinin teh anget dulu ya. Biar perutnya agak enakan,” kata Laras sambil mulai menyalakan kompor buat merebus air.
“Nggak usah repot-repot, Laras… Aku udah mendingan kok,” jawab Andra lemas, tapi Laras tetap bersikeras.
“Nggak repot kok. Aku cepetin ya biar bisa diminum langsung,” Laras tersenyum kecil, mencoba menenangkan Andra. Dalam beberapa menit, teh hangat pun sudah siap. Dia segera menuangkan ke cangkir dan membawanya ke ruang tamu.
Laras menuangkan teh hangat ke dalam cangkir, lalu perlahan berjalan mendekati Andra yang masih duduk di sofa, terlihat masih lemas setelah kejadian tadi pagi. "Nih, minum dulu biar enakan," kata Laras sambil menyodorkan cangkir itu ke Andra.
Andra meraih cangkirnya dengan tangan sedikit gemetar. "Makasih, ya...," ujarnya pelan, mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat masih mual. Dia menyesap sedikit teh itu, berharap rasa hangatnya bisa meredakan rasa mual yang masih terasa.
Melihat Andra masih kelihatan nggak nyaman, Laras duduk di sampingnya dan mulai memijat pelan leher Andra. "Kamu masih ngerasa mual?" tanya Laras lembut, jari-jarinya dengan lembut menekan bagian belakang leher Andra.
"Heekk...," Andra sendawa kecil, mencoba menahan rasa mualnya. "Sedikit...," balasnya sambil memejamkan mata, menikmati pijatan Laras.
Laras terus memijat dengan gerakan perlahan, mencoba membuat Andra merasa lebih tenang. "Aku ambil minyak kayu putih, ya. Biar perut kamu nggak terlalu mual," katanya sambil bangkit berdiri dan menuju meja kecil di sudut ruangan.
Andra hanya mengangguk pelan, sambil masih memegang cangkir teh yang mulai hangat. Begitu Laras kembali dengan minyak kayu putih di tangan, dia duduk lagi di samping Andra dan mulai menuangkan sedikit minyak ke telapak tangannya.
"Kamu beneran nggak enak badan banget, ya? Perutnya sakit nggak?" tanya Laras sambil mulai menggosokkan minyak itu ke perut Andra dengan gerakan melingkar.
Andra menghela napas panjang, menikmati sensasi hangat dari minyak kayu putih yang mulai meresap di kulitnya. "Iya, dari tadi berasa nggak enak. Makanya aku pengen muntah terus," jawabnya dengan suara pelan.
"Heekk...," Andra kembali sendawa kecil sambil mencoba menahan rasa mual yang masih terasa. Laras terus menggosok pelan perut Andra, berharap rasa mual itu segera hilang.
"Nanti kalau masih nggak enak, kamu bilang, ya. Kita istirahat aja dulu di sini. Jangan buru-buru buat apa-apa," ujar Laras sambil tetap mengusap perut Andra dengan lembut, berharap Andra cepat merasa lebih baik.
Andra mengangguk, masih fokus dengan teh hangat di tangannya dan pijatan lembut dari Laras. "Iya, makasih, Ras...," gumamnya pelan, merasakan sedikit demi sedikit rasa mual itu mulai mereda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dibalik pintu kantor
FanfictionAndra Abyaksa, seorang CEO muda yang dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan menyeramkan. Dedikasinya pada pekerjaan membuatnya disegani dan dihormati banyak orang. Meski begitu, hidupnya tak pernah jauh dari kesendirian, tenggelam dalam tumpukan la...