Pagi itu Andra dan Laras bangun dengan terkejut karena alarm sudah lewat dari jam yang seharusnya.
Andra buru-buru bangkit dari kasur, matanya masih setengah terbuka. "Aduh, meeting jam sembilan! Bisa telat nih," gumamnya sambil cepet-cepet mandi dan nyari baju dan jas di lemari.
Laras, yang juga baru sadar, langsung loncat dari tempat tidur dan nyiapin semuanya untuk Andra. "Sabar, sabar! Aku siapin bekel buat kamu, biar bisa makan di kantor nanti," katanya sambil buru-buru menuju dapur.
Andra udah pake baju dan ngambil tasnya, matanya melirik ke jam dinding yang terus berdetik. "Waduh, nggak sempet sarapan nih," ujarnya sambil ngancingin kemejanya.
Laras cepet-cepet masukin nasi dan lauk ke dalam kotak bekel, lalu nyodorin ke Andra yang udah siap-siap pergi. "Ini bekel kamu. Jangan lupa dimakan ya, perutmu kan suka bermasalah kalau nggak makan tepat waktu," pesan Laras sambil ngasih kotak bekel itu.
"Iya, iya, makasih ya, Ras!" Andra nyium pipi Laras kilat sebelum buru-buru keluar rumah.
Sesampainya di kantor, Andra langsung masuk ke ruang meeting. Rapatnya panjang dan intens, bikin Andra fokus total sampai lupa sama bekel yang dibawanya. Waktu terus berjalan, dan rasa perih di perutnya mulai kerasa, tapi dia abaikan. Andra masih fokus ke presentasi, nggak mau ganggu jalannya meeting.
Setelah meeting selesai, Andra balik ke ruangannya dan akhirnya ngeliat kotak bekel yang masih utuh. "Aduh, perut mulai nggak enak lagi," gumamnya sambil buru-buru buka bekelnya. Dia baru sempet nyuap beberapa sendok nasi ke mulutnya, tapi perutnya langsung bereaksi keras.
Seketika Andra ngerasa mual yang parah, dan buru-buru lari ke toilet dalam ruangan kantornya. Dia langsung muntah dengan keras di wastafel, napasnya tersengal-sengal sambil megang perut yang kram. Muntahnya nggak berhenti dengan sekali, Andra terus muntah sampai badannya lemes, mukanya makin pucat.
Nggak lama setelah itu, Andra keluar dari toilet sambil megang perutnya yang masih perih. Dia ngerasa nggak sanggup buat lanjut kerja dan buru-buru manggil sekretarisnya yang juga temen dekat, Reza.
"Za... gue nggak kuat nih, perut gue kayaknya kambuh lagi. Lo bisa anterin gue pulang nggak?" pinta Andra dengan suara lemah.
Reza langsung ngeh dan nggak banyak tanya. "Boleh, gue anter lo pulang sekarang," kata Reza sambil cepet-cepet ngambil kunci mobil dan ngebantuin Andra keluar dari kantor.
Perjalanan pulang terasa lama buat Andra yang masih nahan rasa perih di perutnya. Pas mereka sampai di rumah, Reza ngebantuin Andra masuk ke rumah dan nyerahin dia ke Laras.
Laras langsung panik begitu liat suaminya yang pucat pasi. "Andra kamu kenapa?" tanya Laras sambil buru-buru ngebantuin Andra ke sofa.
"Mual lagi, Ras... Maag kayaknya," jawab Andra lemah, megang perutnya yang masih kerasa sakit.
Laras langsung tahu apa yang harus dilakukan saat melihat Andra terkapar lemas di sofa, masih memegangi perutnya. "Kamu mending aku kerokin aja, Ndra. Kelihatannya masuk angin lagi," katanya lembut sambil ngeluarin minyak kayu putih dan koin dari laci.
Andra nggak banyak protes, karena dia sendiri tahu tubuhnya udah nggak enak banget. "Yaudah deh, kerok aja, Ras... moga aja enakan," jawabnya sambil mencoba duduk tegak, meskipun kelihatan masih lemes.
Laras mulai ngolesin minyak kayu putih ke punggung Andra, dan langsung narik koin pelan-pelan ke kulitnya yang mulai menghangat karena minyak. Garis-garis merah tipis mulai muncul di sepanjang punggung Andra. Di tiap tarikan koin, Andra sesekali ngeluarin sendawa kecil.
"Heeekkk..." Andra sendawa pelan, meskipun mukanya tetap kelihatan nggak nyaman.
"Aku pelanin ya, biar nggak terlalu sakit," ujar Laras, khawatir ngelihat Andra yang keliatan makin pucat. Dia terus ngelakuin kerokan dengan gerakan lembut, sambil sesekali ngelirik suaminya yang mulai sendawa lagi.
Tiba-tiba, di tengah-tengah kerokan, Andra mendadak merasa mual yang luar biasa. Dia buru-buru bangkit dari posisi duduknya dan berlari ke toilet tanpa sempat bilang apa-apa. Laras, yang kaget, cuma bisa ngikutin suaminya dengan tatapan cemas.
Andra sampai di toilet dan langsung muntah dengan keras, tubuhnya terasa kram dari perut sampai tenggorokan. Suara muntahannya terdengar jelas dari luar, bikin Laras makin khawatir. "Aaarggh...," Andra berusaha ngatur napas di sela muntahnya, tapi tiap kali dia merasa udah mendingan, perutnya langsung memaksa muntah lagi.
Laras menunggu di luar, sambil siap-siapin teh hangat lagi buat Andra. Setelah beberapa menit, Andra akhirnya keluar dari toilet dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya, matanya terlihat lelah dan bibirnya kering.
"Kamu mendingan?" tanya Laras pelan, megang tangan Andra dan ngebantu dia balik ke sofa.
Andra cuma bisa mengangguk lemah. "Udah, Ras... tapi perut masih kerasa nggak enak. Mungkin keroknya nanti dilanjutin lagi," jawabnya, sambil berusaha tersenyum kecil meskipun mukanya masih keliatan mual.
Laras ngangguk, ngelus pundak Andra sambil nyiapin dia buat kerokan lagi setelah tubuhnya agak tenang.
Setelah Andra sedikit tenang dan rasa mualnya mereda, Laras ngebantu dia duduk lagi di sofa. “Kamu siap dilanjutin kerokannya?” tanya Laras pelan, masih khawatir ngelihat suaminya yang lemes.
Andra mengangguk pelan sambil memegangi perutnya. "Yaudah, lanjut aja, Ras... Biar cepet keluar anginnya," katanya dengan suara serak.
Laras pun ngelanjutin kerokan yang tadi sempat terhenti. Kali ini, dia mulai dari bagian punggung bawah Andra, ngebuat garis-garis merah muda yang makin tegas. Andra lagi-lagi ngeluarin sendawa di setiap tarikan koin yang Laras buat.
"Heeekkk..." Andra sendawa lagi, suaranya lebih keras kali ini. Wajahnya meringis tiap kali Laras narik koin lebih dekat ke bagian tulang belikat.
“Sakit nggak?” tanya Laras sambil memperlambat gerakannya, khawatir kalau Andra nggak kuat.
"Agak sakit, tapi nggak apa-apa, lanjutin aja, Ras. Sendawanya keluar terus, mungkin abis ini enakan," Andra menjawab sambil menarik napas dalam-dalam. Tapi raut mukanya menunjukkan bahwa dia benar-benar nahan rasa sakit.
Laras terus dengan sabar ngerokin punggung Andra, nggak mau terlalu keras biar suaminya nggak tambah kesakitan. Di sela-sela tarikan koin, Andra terus-terusan ngeluarin sendawa.
"Heeekkk...," lagi, kali ini Andra sampai nutup mulutnya, kelihatan bener-bener nggak nyaman.
Laras ngelus pundak Andra, "Sabar ya, dikit lagi. Anginnya udah mulai keluar semua, ini garisnya udah merah banget," katanya, mencoba ngebantu Andra buat tenang.
Setelah beberapa menit lagi, akhirnya Laras berhenti. "Udah selesai, gimana rasanya?" tanyanya sambil menutup botol minyak kayu putih.
Andra masih ngatur napas, wajahnya terlihat agak lebih rileks walaupun badannya masih lemes. “Lumayan enakan, tapi perutku masih nggak karuan. Kayaknya butuh waktu buat bener-bener lega,” jawabnya sambil nyender ke sofa.
Laras nggak tinggal diam. Dia mulai mijitin pundak Andra perlahan, ngebantu suaminya yang kelihatan makin ngantuk dan capek setelah muntah-muntah tadi. "Aku mijitin pelan aja ya, biar kamu bisa tidur," Laras berbisik sambil terus mijit bagian atas punggung dan leher Andra.
Setelah beberapa menit, Andra mulai ketiduran, napasnya yang berat tadi mulai teratur lagi. Laras tetap terus mijitin lembut sampai yakin Andra benar-benar bisa istirahat dengan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dibalik pintu kantor
FanfictionAndra Abyaksa, seorang CEO muda yang dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan menyeramkan. Dedikasinya pada pekerjaan membuatnya disegani dan dihormati banyak orang. Meski begitu, hidupnya tak pernah jauh dari kesendirian, tenggelam dalam tumpukan la...