salah bantal

597 21 4
                                    

Beberapa minggu kemudian, Andra pulang kerja dan menghabiskan malam dengan Laras di rumah. Setelah makan malam dan ngobrol santai, Andra merasa sangat lelah.

Dia langsung tidur, dan Laras menyusul ke kamar setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah tangga.

Keesokan paginya, Andra terbangun dengan rasa nyeri yang menyengat di lehernya. Dia mencoba bergerak, tetapi sakitnya membuatnya kesulitan.

"Ah, sakit banget" keluh Andra sambil mencoba menggerakkan lehernya, tapi tidak berhasil. "Ra, Laras!"

Laras yang mendengar panggilan suaminya langsung masuk ke kamar. "Ada apa, Ndra?" tanyanya, melihat Andra duduk di tepi tempat tidur dengan wajah kesakitan.

"Leherku, Ra... rasanya kaku banget, kayaknya salah bantal. Aku gak bisa nengok," jawab Andra dengan nada kesakitan.

Laras memeriksa leher Andra dan merasa khawatir. "Mau panggil tukang pijat aja? Aku khawatir kalau kamu terus-terusan sakit kayak gini."

Andra mengangguk, "Boleh deh. Aku juga udah gak tahan banget."

Laras segera menghubungi tukang pijat langganan mereka. Tidak lama kemudian, tukang pijat datang ke rumah. Namanya Ibu Sari, seorang tukang pijat berpengalaman yang sering membantu mereka.

"Selamat pagi bu, ini suami saya salah bantal dan lehernya sakit," kata Laras saat membuka pintu.

"ayo kita lihato ya neng" jawab Ibu Sari dengan ramah sambil melangkah masuk.

Andra duduk di kursi yang telah disiapkan oleh Laras di ruang tamu. "Silakan, Bu Leher saya sakit banget."

Ibu Sari memeriksa leher Andra dengan cermat. "Hmm... ini terlihat cukup tegang. Baiklah, saya coba pijat dulu. Tapi, jika ada rasa sakit yang terlalu parah, bilang saja, ya."

Andra mengangguk dan bersandar di kursi, mencoba untuk rileks. Ibu Sari mulai memijat lehernya dengan lembut, menggunakan teknik yang sudah sangat familiar bagi Andra.

"Arggh... Bu, ini sakit banget..." keluh Andra, mengerang saat Ibu Sari mulai menekan titik-titik tertentu di lehernya.

"Sabar, ya. Ini mungkin agak sakit karena ototnya tegang. Kalau terlalu sakit, bilang aja," jawab Ibu Sari sambil melanjutkan pijatannya.

Setiap kali Ibu Sari menekan titik yang tegang, Andra tidak bisa menahan rasa sakitnya dan mengeluarkan teriakan kecil. "Sshhhh argghhh Sakittt bu"

Ibu Sari terus bekerja dengan sabar, mencoba untuk melonggarkan ketegangan di otot-otot leher Andra. "Rasa sakitnya memang kadang terasa menyengat. Coba tahan sebentar lagi."

Andra menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin meningkat. "Aduhh... Sakit banget bu gakuatt shhhh"

Teriakan Andra semakin keras, dan Laras yang berdiri di sampingnya merasa khawatir. "Gimana, Ndra? Masih bisa tahan?"

"Rasanya makin parah, Ra... Shhhh Aahhh... Aku gak kuat!" jawab Andra dengan suara gemetar.

"Kalau gak tahan, kita bisa berhenti sebentar. Tapi pastikan lehernya nanti bisa lebih baik," saran Ibu Sari sambil berhenti sejenak untuk memberi Andra kesempatan beristirahat.

Andra mengatur napasnya untuk meredakan rasa sakitnya sebelum Ibu Sari melanjutkan pijatannya, tiba tiba suara sendawa keluar dari mulut Andra "Heeekk... Heeekk..."

"Nah itu ada angin nya juga pak, keluarin aja" Setelah beberapa saat, Ibu Sari kembali melanjutkan pijatan dengan hati-hati.

Andra terus mengeluarkan suara kesakitan, tapi berusaha untuk tetap sabar. "Argghh... shhhh.. Oughhh..."

Akhirnya, setelah sekitar setengah jam, Ibu Sari selesai dengan pijatannya. "Bagaimana, Pak Andra? Ada perubahan?"

Andra merasa lehernya masih terasa nyeri, tetapi sedikit lebih baik. "Masih sakit, Bu. Tapi lebih baik daripada tadi. Terima kasih."

"Sama-sama. Mudah-mudahan dengan istirahat yang cukup, rasa sakitnya bisa cepat hilang," pesan Ibu Sari sambil membereskan peralatan pijatnya.

Laras merasa lega melihat Andra sudah merasa sedikit lebih baik, meskipun masih merasakan rasa sakit. "Kamu istirahat aja ya, Ndra. Aku bakal siapin teh hangat dan makanan ringan."

Andra mengangguk dan berbaring di tempat tidur, merasa sedikit lebih nyaman berkat pijatan Ibu Sari dan perhatian Laras. Dia menutup mata dan berusaha untuk rileks, berharap rasa sakitnya segera mereda.

"Nih, aku bawain koyo buat ditempel di lehermu," ujar Laras dengan lembut sambil menunjukkan koyo tersebut.

Andra yang masih meringis, mengangguk pelan. "Makasih, Ra. Ditempelin aja deh, siapa tau ngebantu."

Laras duduk di samping Andra dan membuka bungkus koyo, menghirup aroma hangat dari koyo tersebut sebelum perlahan-lahan menempelkannya di leher Andra yang tegang. Andra sedikit mengernyit saat koyo itu menyentuh kulitnya, tapi langsung merasakan sensasi hangat yang nyaman.

"Enak kan? aku pijitin ya, biar makin rileks," kata Laras sambil mulai memijat leher Andra secara perlahan, gerakannya lembut dan penuh perhatian.

Andra menghela napas panjang, berusaha meresapi rasa nyaman dari pijatan Laras. "Aahh... enakan nih, Ra," ujarnya sambil memejamkan mata. Rasa hangat dari koyo mulai menyebar ke area yang sakit, sementara pijatan Laras membuat otot-ototnya yang tegang sedikit melonggar.

Laras terus memijat dengan lembut, fokus pada bagian-bagian yang terasa paling tegang. "Kamu tidur dulu aja nanti. Biar pas bangun rasa sakitnya udah hilang," katanya sambil tersenyum lembut.

Andra mengangguk pelan. "Iya, Ra. Makasih banget, ya" kata Andra merasa sedikit lega meski masih ada rasa sakit yang tersisa.

Laras melanjutkan pijitannya, memastikan Andra merasa nyaman. Setelah beberapa menit, dia berhenti memijat dan menyelimuti Andra, memberinya kecupan di kening.

Andra perlahan mulai terlelap, tubuhnya semakin rileks dengan sensasi hangat dari koyo dan pijatan lembut Laras. Dia merasa jauh lebih tenang dengan Laras di sampingnya, dan akhirnya tertidur dengan damai, berharap rasa sakit itu segera hilang sepenuhnya.

Cinta dibalik pintu kantorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang