demam

1.1K 25 5
                                    

Keesokan paginya, Andra merasa tubuhnya mulai agak membaik. Meskipun masih terasa lemas, dia memutuskan untuk tetap berangkat ke kantor. "Hari ini harus selesai semua," gumamnya pelan sambil menyiapkan diri.

Di kantor, Andra mencoba fokus bekerja, tapi semakin siang, badannya kembali terasa tidak enak.

Kepala terasa berat dan perutnya mual lagi. Setelah beberapa jam menahan diri, dia memutuskan untuk pulang lebih cepat.

Sesampainya di rumah, Andra langsung mengambil koyo dan memotong nya kecil lalu ditempelkan di pelupis nya dan merebahkan diri di tempat tidur. Tubuhnya terasa seperti kehabisan tenaga.

Laras sedang pergi dengan teman-temannya, jadi rumah terasa sepi. Dia pun tertidur dengan cepat, berharap saat bangun nanti, rasa sakitnya akan berkurang.

Menjelang malam, Laras akhirnya pulang. Begitu dia membuka pintu kamar, Andra langsung terbangun dan menatapnya dengan pandangan lemah.

"Sayang …" panggil Andra pelan. "Kerokin aku, dong… Badan aku gak karuan banget. Masuk anginnya parah."

Laras, yang baru saja tiba, langsung bergegas menyiapkan koin dan minyak kayu putih. "Sabar ya, Ndra. Aku kerokin sekarang," ujarnya dengan nada khawatir.

Laras menyiapkan koin dan minyak kayu putih setelah Andra memintanya untuk dikerok. Ia mendekati Andra yang sudah tengkurap di kasur, terlihat begitu lelah dan tidak enak badan.

"Ndra, aku mulai dari punggung dulu, ya?" kata Laras sambil mengoleskan minyak kayu putih di punggung Andra.

Andra mengangguk pelan. "Iya, Ra. Tolong pelan-pelan, ya. Badan aku sakit semua."

Laras mulai mengerok punggung Andra, menarik koin dari atas ke bawah dengan lembut.

Garis merah mulai muncul dengan cepat di sepanjang punggungnya. Andra meringis sedikit, lalu tanpa sadar mengeluarkan sendawa kecil. "Heekk…," suaranya terdengar serak.

"Sendawa terus ndra, banyak anginnya?" kata Laras sambil melanjutkan kerokan.

"iyaa, Ra… heekk… anginnya banyak banget. Rasanya gak karuan," ujar Andra, suaranya terputus-putus karena sendawa yang terus keluar.

Laras terus mengerok punggungnya, setiap tarikan koin membuat Andra merasa sedikit lega, tapi rasa sakit dan anginnya belum sepenuhnya hilang.

Setelah menyelesaikan punggungnya, Laras beralih ke leher Andra. Ia mengoleskan minyak kayu putih di leher Andra dan mulai mengeroknya dengan lembut. Andra kembali mengerang pelan, tubuhnya terasa semakin tidak nyaman.

"Leher kamu juga banyak anginnya, Ndra," Laras mengomentari sambil terus mengerok. Lagi-lagi Andra mengeluarkan sendawa.

"Heekk…shhh ya ampun, Ra…," Andra menarik napas dalam-dalam. "Sakit banget. Tapi lega juga, heekk..."

Laras melanjutkan kerokan di leher Andra dengan hati-hati. Setiap tarikan koin, setiap goresan, diikuti oleh sendawa yang keluar dari mulut Andra.

"Heekk… Heekk…," suara sendawanya terdengar berulang kali, membuat Laras semakin khawatir.

"Ndra, aku lanjut ke dada ya?" tanya Laras setelah menyelesaikan leher Andra.

Laras mengerok dada Andra dengan perlahan, tapi setiap tarikan koin membuat Andra meringis kesakitan.

Rasa sakit itu bercampur dengan sensasi lega setiap kali angin terlepas dari tubuhnya melalui sendawa.

"Heekk... shhh Ahhh, Ra... sakit banget..." Andra mengerang, tubuhnya terasa semakin tidak nyaman dengan setiap gerakan koin di atas kulitnya.

Laras berhenti sejenak, khawatir melihat ekspresi Andra yang jelas-jelas menderita. "Mau aku pelanin kerok nya?"

Andra mengangguk sambil menghela napas, "Heekk... Iya, Ra. Tapi sakit banget… heekk... Heekk..."

Laras melanjutkan dengan tarikan yang lebih lembut, namun tetap saja, rasa sakit itu membuat Andra meringis. Setiap goresan koin di dadanya seperti menambah tekanan di dalam tubuhnya.

"Heekk... Aduh, Ra... heekk... gak kuat..." Andra hampir menangis, tapi dia tahu kerokan ini memang perlu agar anginnya bisa keluar.

"Sebentar lagi, Ndra. Kamu tahan ya… Heekk... aku tahu sakit, tapi ini biar cepet sembuh," Laras mencoba menenangkan suaminya sambil terus mengerok, meskipun hatinya juga merasa berat melihat Andra begitu kesakitan.

"Heekk... Ya ampun... Ra... sakit banget... heekk..." Andra terus mengeluh, tubuhnya kaku menahan rasa sakit yang menjalar dari dadanya.

"Ndra, tahan sebentar lagi ya... Heekk..." Laras berkata lembut, tapi tegas. Dia tahu bahwa ini memang harus dilakukan.

Andra mengangguk pelan, meski dengan ekspresi wajah yang jelas-jelas menunjukkan penderitaan.

Setiap tarikan koin membuatnya menggigil, dan sendawa terus keluar tak terkendali.

"Heekk... Heekk... Ra, aku mau muntah lagi...," Andra tiba-tiba merasa mual lagi, perutnya bergejolak, dan dia buru-buru menutupi mulutnya.

Laras cepat-cepat menyiapkan kresek di dekatnya, mempersiapkan Andra untuk muntah. "Sini, Ndra... kalau mau muntah lagi, langsung aja" ucapnya sambil terus mengelus punggung Andra.

Andra terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya muntah. "Hoekk... heekk...," suaranya terdengar penuh penderitaan, dan Laras hanya bisa mengusap punggungnya dengan penuh perhatian.

Setiap kali Andra mencoba menarik napas, sendawa baru keluar, menambah ketidaknyamanan yang dirasakannya.

Laras ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. "Oke, Ndra. Aku coba pelan-pelan lagi ya... tapi kalau sakit banget, bilang ke aku," ucap Laras, hatinya berat tapi dia tahu ini penting.

Dengan hati-hati, Laras melanjutkan mengerok, tapi kali ini lebih lembut. Andra terus sendawa di setiap tarikan, meski rasa sakit tetap terasa di setiap goresan koin di kulitnya.

Namun, Andra menahan semuanya, berusaha tetap tenang meski rasa sakit dan sendawa terus datang tanpa henti.

Cinta dibalik pintu kantorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang