𐇵 Love Language 𐇵

84 7 0
                                    

[Chapter 15: Love Language]
.

.

.

Pantulan sinar matahari memetakan benda-benda di sekitar melalui jendela yang terbuka. Sementara debu berterbangan di langit-langit rumah. Mengamati partikel yang melayang-layang, lantas jatuh memenuhi ubin, Todoroki mengambil kemoceng di sela lemari ruang pencuci. Membersihkan piala-piala yang berjajar rapi dengan cermat. Tidak perlu digosok terlalu keras karena debu yang menempel nyaris tidak kelihatan mata.

Sembari mengamati liar area lain yang perlu dibersihkan, empunya menatap tuan rumah tengah membersihkan langit-langit dengan bantuan tangga portabel. Pelaku yang membuat debu-debu bertebaran di lantai.

Mereka sudah melakukan kegiatan ini setidaknya setengah jam lalu, ketika Todoroki Shoto berdiri di depan pintu rumah Bakugou, membawa plastik besar berisi mi instan, sereal, dan susu strawberry hingga menutupi pucuk rambut.

"Pas sekali." Todoroki membelalak kala tangan Bakugou membawanya masuk tanpa menyemburkan serapah. Senyum si bocah 15 tahun sampai mengembang karena berpikir pemuda tersebut merindukan sosoknya juga. Yah, meskipun genggamannya lebih mirip cengkraman ketimbang sambutan rindu. "Bantu aku bersih-bersih."

Begitulah kira-kira.

Tempo hari Todoroki mendapat kelas mandiri dari temannya yang sangat narsistik. Katanya dalam kisah asmara terdapat berbagai macam tipe "Love Language". Mungkin kalimat "Bantu aku bersih-bersih." bagian dari Word of Affirmation karena berisi kalimat positif yang menggetarkan hati!

Tentu saja Bakugou tidak tahu jika hal menjengkelkan ini rupanya salah diartikan sebagai kalimat cinta oleh Todoroki.

Di tengah-tengah kegiatannya, Bakugou mendengar suara batuk-batuk, kemudian disambut getaran di bawah pijakan. Ia menunduk dan nyaris terjengkang mendapati sosok di bawahnya tengah memegangi badan tangga sembari mengusap mata.

"Bakugou, tenang—uhuk, uhuk—aku memega—uhuk, uhuk—gangnya dengan—ukh."

Bakugou melempar alat pembersih debu, kemudian menuruni bilah tangga seraya berseru. "Siapa yang minta kau untuk menahan tangganya, sialan?!" Ia lantas menggeledah laci, membawa serbet ke wajah Todoroki, lalu mengikat dua bagian ujung ke belakang rambut.

"Tolong gunakan otakmu setidaknya seperempatnya, brengsek!" Meskipun marah-marah, jemari Bakugou telaten merapikan posisi serbet di wajah Todoroki, hingga benar-benar menutupi hidung dan mulut.

Sesaat alisnya semakin menukik kalah bocah di hadapannya berbinar-binar. "Apa yang kau li—"

"Bakugou perhatian sekali, jadi ini yang dimaksud Act of Service pada Love Language." Sepertinya Todoroki akan berguru kembali pada Monoma.

"Hah, A-apa?! Ka-katamu bahasa cinta?!"

.

.

.

Tinggi nyaris 7 kaki. Tubuh kekar dengan otot seksi di mana-mana. Ekspresinya selalu tampak dingin, berbeda sekali dengan semangatnya yang selalu berapi-api, ialah Enji Todoroki. Saat ini, seluruh emosinya tampak mengudara. Ia tidak tahu, ramuan jenis apa yang ditenggak anaknya hingga si bungsu mendorong sebuah proposal.

Shoto mengajukan diri untuk membintangi sebuah film misteri.

Dewan direksi belum mengadakan rapat usulan untuk pemeran. Namun, langkah improvisasi sudah berada di tangan eksekutif manajemen. Enji sudah menghabiskan banyak waktu untuk menyeleksi hal-hal yang perlu diadaptasi secara utuh dan dihilangkan.

Film kali ini, diangkat dari novel berjudul "SION". Sebuah karya yang tertidur begitu lama di akhir abad ke-20. Adaptasi ini diusung dengan menambahkan banyak bumbu segar. Mencocokkan mode tahun ini, juga dialog-dialog gaul yang biasa digunakan anak muda.

Setidaknya ada 26 pemeran yang akan mengalami survival mengerikan dalam karya ini. Sutradara banyak mendorong pendatang baru untuk mengisi peran remaja. Memasukkan nama Todoroki Shoto ke daftar pemeran merupakan langkah yang baik. Sebagai orang yang lama berkecimpung dalam industri hiburan, Enji cukup yakin anaknya punya wajah yang sangat digandrungi gadis-gadis.

"Ayah akan mengusulkan namamu dengan segera, tetapi kau harus memahami dulu atmosfer dari karya ini." Enji mendorong novel tebal yang kertasnya sudah menguning, terdapat lipatan pada ujung sampul. Sangat berat, tidak kurang dari 500 halaman.

Todoroki menelusuri cetakan timbul pada sampul novel. Ia merasa terjerat pada ceruk yang menerobos pintu gedung. Bangunannya retak-retak dan latarnya bertatahkan kegelapan. Hanya ada satu warna yang mencolok, ungu. Kelopaknya diwarnai dengan guratan kasar sehingga bagian tengah bunga yang berwarna hangat nyaris kecokelatan.

Setangkai bunga ini membawa Todoroki pada masa lalu. Sewaktu sang ibu masih dirawat, ayahnya pernah membawa gerombolan bunga semacam ini.

"Ini tatarian aster, kita menyebutnya Sion. Sangat cantik, 'kan, sayang?" Kala itu, Todoroki duduk dipangkuan sang ibu. Dalam ingatannya, tubuh ibunya sangat ringkih, itulah mengapa Enji akan selalu marah jika si bungsu merengek di pangkuan ibunya, seolah takut tubuh wanita itu akan patah hanya karena bobot seorang anak berusia tiga tahun.

"Ke sini, biar ayah yang menggendongmu." Shoto beringsut ke dalam pelukan sang ibu, kemudian memberikan cibiran kepada ayahnya.

"Tidak apa-apa, siapa tau ini akan menjadi kenangan. Sama seperti arti bunga ini." Mendengar penuturan sang ibu, Todoroki berkedip tidak mengerti. Ia mengendus kelopak bunga aster yang cantik. Namun, baunya melebur dengan antiseptik.

Ia tidak tahu ekspresi seperti apa yang bersemayam pada wajah pucat ibunya, yang ia ingat, dekapannya terasa lebih erat dan hangat. Akan tetapi, justru raut gelisah terpacar dari wajah sang ayah.

Terlepas dari kenangannya, Todoroki menginterupsi. "Kenapa aku harus baca keseluruhannya, jika fokusku hanya pada satu karakter?"

"Shoto, kau tidak akan bisa menjiwai karaktermu kalau tidak memahami isi cerita."

Todoroki memasukkan novel ke dalam ransel, lalu beranjak dari duduknya. "Apa peranku sudah jelas?"

Enji angkat bahu. "Ya, tetapi aku akan mendiskusikan ini terlebih dahulu. Sampai saat itu, kuharap kau sudah paham apa yang ingin disampaikan penulis lewat lembaran kertas ini dan naskahnya akan menyusul kemudian."

Todoroki mengangguk. Ia keluar selagi memikirkan percakapan terakhir dengan sang kakak.

"Kudengar pak tua itu sedang menggarap proyek underrated? Ah, dia tampaknya sangat terobsesi pada tragedi yang menyertai cerita ini." Touya terkekeh geli, pandangannya mengawang. Membayangkan senter-senter dengan aliran listrik pendek menyoroti bangunan tua, bau lembab yang memenuhi rongga hidungnya. Pun dia ingat tali-tali rami yang tersebar saat itu, juga bau darah yang membuat histeria.

Diliriknya sang adik menatapnya dengan tanda tanya besar.  "Kau tahu, 'kan? Dalam dunia kita, keinginan tidak selalu terpenuhi oleh uang."

Todoroki mengangguk. "Apa ini berhubungan dengan proyek yang Nii-san sebutkan?"

"Tentu dan aku ingin kau coba ikut serta proyek ini untuk menaikkan namamu, setelah itu kau bisa mendapatkan jawaban-jawaban dari pertanyaanmu."

Si bungsu mengernyitkan dahi. "Jadi, benar ada sesuatu mengenai pria di masa lalu Bakugou?"

"Dan alasan kenapa pahlawanmu itu meninggalkan dunia ini," tambah Touya sambil menyeringai.

Todoroki jadi teringat percakapan yang ia lakukan dengan bintang ternama Kirishima beberapa bulan silam. Kirishima hanya mengetahui kulit pada masalah ini.

Touya lebih tahu masalah ini dan punya andil besar pada masa lalu Bakugou. Semakin Todoroki memikirkannya, semakin rasa keterikatan menariknya.

"Ketika filmnya mengudara, aku akan meluangkan ... tidak! Aku yang akan mencarimu, juga jawaban dari rasa penasaranmu tidak hanya datang dariku." []

Update: August 14, 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang