𐇵 Terus Menyelidiki 𐇵

159 29 10
                                    

[Chapter 9: Terus Menyelidiki]

.

.

.

Demi mengisi empat halaman penuh majalah. Butuh setengah hari untuk menyelesaikan sesi pemotretan. Umumnya pemotretan remaja akan memakan waktu 45 menit per-orang. Pada saat ini, waktu setengah hari sudah dipangkas seminim mungkin. Seharusnya bisa selesai lebih cepat, kalau saja tidak ada dua bocah labil yang membuang waktu saat prosesi pemotretan.

Selama hidup dalam hiruk-pikuk entertainment yang diciptakan sang ayah, Todoroki Shoto setidaknya sudah 11 hingga 12 kali tampil di media masa, enam kali untuk pemotretan majalah dan sisanya teater kecil, pemeran cilik yang memiliki porsi tidak sampai 10 menit pertunjukan, juga beberapa iklan di televisi. Seluruhnya karena paksaan Todoroki Enji. Di masa lalu dia akan menangis dan merengek tiap kali berhadapan dengan tekanan di panggung hiburan. Namun, setelah beberapa kali menjalaninya, ia hanya akan mendengkus jengkel. Semuanya terjadi tiga tahun lalu, karena ini bukan bidang yang Todoroki tekuni, ia sudah lupa berakting di depan kamera, bahkan hanya untuk menampilkan foto grup dan satu foto solonya.

Empat puluh lima menit adalah waktu maksimal untuk menyelesaikan sesi pemotretan solo, tetapi sang ayah yang memiliki kuasa, rela menonton putranya dan memberikan dorongan tidak berguna—dalam kamus Shoto—meskipun fotografer sudah menunjukkan gelagat lelah. Alhasil, sebagian besar foto yang dibidik berisi aib-aib sang putra, wajah datar nan canggung serta gugup dan sebagian lainnya berisi matanya yang tidak sengaja tertutup karena kilatan kamera.

Beruntung empat model muda lainnya bisa tampil memuaskan. Namun, sayangnya Monoma Neito memiliki nasib serupa dengan Todoroki Shoto. Jika sebelumnya kru sepakat dengan Shoto yang masih terbilang ecek-ecek, maka tidak berlaku dengan Monoma. Dia bukan model gadungan, bukan juga bocah yang baru menginjakan kaki di dunia modeling, tetapi untuk satu hari ini, ia bertingkah sangat aneh.

Sedari kecil Monoma bahkan sudah berani mengejek bintang senior lantaran harus melakukan pengambilan gambar berulang lebih banyak dibanding dirinya. Sementara dia terlalu brilian sehingga dipuji dan puja banyak orang karena bisa memenuhi ekspektasi orang-orang di industri hiburan atas bakatnya yang menonjol pada usia belia. Namun, kali ini konsentrasinya luruh, bahkan memintanya beristirahat, tetap tidak menyelesaikan masalah.

Begitu sesi pemotretan selesai. Todoroki bergegas kembali mengenakan seragam sekolah, bersiap meninggalkan gedung industri yang dikelola sang ayah. Niatnya akan berhasil sempurna, kalau saja dirinya tidak sengaja mendapati sosok pemuda tengah menangis sesenggukan sembari memiliki lutut.

Todoroki bisa saja mengabaikannya, tetapi setelah diamati, ia merasa kenal dengan sosok ini. Mempermudah penyelidikannya, si pemuda yang menangis mulai mengangkat kepala. Menampilkan seraut wajah berantakan tengah mengetuk layar ponsel dengan tidak sabaran. "Angkat panggilanku ... kumohon ...."

Ah, si narsis itu.

Baiklah, biar saja Monoma dengan karmanya. Todoroki terlalu muak dengan gedung ini, ia harus berpura-pura tidak melihat apapun dan segera menemui Bakugou setelah kian lama kehilangan kontak lagi semenjak kejadian tempo hari.

"Krek."

Demi tuhan!

"He-i! Bintang gadungan! ka-kau baru sa-sa-saja melihatku!"

Astaga, kenapa kesannya Shoto seperti maling yang tertangkap basah?

"Anggap saja aku tidak melihat apa-apa," tukas Shoto acuh, kemudian melanjutkan langkahnya. Namun, si pirang yang tengah berjongkok, kini menarik celananya.

SIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang