𐇵 Reruntuhan 𐇵

176 29 5
                                    

[Chapter 11: Reruntuhan]

.

.

.

"Di masa depan jangan coba-coba melakukannya."

Todoroki mengernyit bingung, tidak memahami kalimat yang barusan diucapkan Bakugou. "Aku tidak boleh melakukan apa?" tanyanya sembari mengamati gerak-gerik Bakugou di sebelahnya.

"Merokok, idiot. Kau sepertinya punya banyak gejala ..." Bakugou meludah, kemudian ganti mengamati remaja di sebelahnya, "di kakimu." Netra merahnya mengamati area kaki yang sempat memar ketika kejatuhan palu. "Mungkin jantung?" Kali ini pandangan jatuh pada seragam sekolah Todoroki, "dan mungkin di sini juga." Ia menunjuk sisi rambut Todoroki yang berwarna merah.

Lagi-lagi Todoroki berkedip-kedip bingung. Namun, seketika ia menunduk kaku. "A-apa luka bakarku, apa itu meng—"

"Otakmu," kilah Bakugou, kemudian menghembuskan asap rokok untuk terakhir kalinya. Akan tetapi, ia berusaha mencari area yang tidak bisa diendus Todoroki.

Puntung rokok yang mulanya membara, diinjak hingga menyatu bersama debu. Biarpun berada pada ketinggian seperti ini, terik masih membakar punggung mereka.

Bakugou bernisiatif menuruni anak tangga terlebih dahulu, berjalan dengan kedua tangan bersemayam di kantong celana. Jika Mineta dan Kaminari menyaksikan adegan ini mereka akan terpesona sejenak dan seterusnya akan tertawa terpingkal-pingkal untuk mengejeknya.

.

.

.

Pada dasarnya proyek bangunan masih memiliki beberapa bagian yang menjadi kerangka utuh. Namun, masih memungkinkan untuk dipijaki dengan kehati-hatian. Berdiri di atasnya pria paruh baya dan Kaminari, tengah memperbaiki besi yang belum dilas dengan sempurna.

Sementara di sisi yang cukup jauh, pekerja lain mengendarai alat pemindah material. Todoroki melihat tampilan ini seperti mesin pengangkut boneka di game center. Ia mengamati pekerjaan mereka yang saling bersilangan, biasanya dia jarang menangkap kesempatan seperti ini karena lebih fokus mengekori Bakugou sepanjang waktu. Walaupun sekarang masih seperti itu. Di lain waktu ia akan mengulas pekerjaan rumahnya. Para pekerja kontruksi lazimnya mencarikan ia tempat teraman dan ternyaman untuk duduk manis selagi mengamati pekerjaan mereka.

Jarang mendapati pemuda bernama kecil Katsuki ini dalam keadaan hening, bahkan pria itu lupa mengerutkan kening dan berjalan membungkuk seperti kebiasaannya. Todoroki yang belum lama mengenal saja memahami betul letak kejanggalan ini.

"Apa lukamu baik-baik saja?" Todoroki kembali mengiringi Bakugou. Perasaannya menjadi tidak enak ketika mengingat kembali adegan di mana Bakugou membakar jemari sendiri dengan ujung rokok. Mengingatkannya pada luka bakar di wajahnya akibat insiden beberapa tahun lalu.

Si pirang berhenti berjalan, sepertinya mengumpulkan kata-kata untuk mencegahnya berbicara lagi. Namun, kali ini entah kenapa dia tidak berminat mengawali kalimatnya dengan cacian. "Ini tidak buruk. Aku harus mengukur pasokan semen di sana. Itu area berbahaya, bukan taman bermain untuk anak-anak sepertimu."

Seperti yang diperkirakan, Todoroki terlalu keras kepala, ia bahkan berlari-lari kecil untuk menyamai langkah dengan Bakugou. "Aku lima belas. Sudah remaja, bukan anak-anak lagi." Ia tampak cemberut ketika mengatakannya. Mengindahkan fakta mengenai area berbahaya yang dibahas Bakugou barusan.

"Ketika aku sudah kuliah, setidaknya kau belum lulus sekolah dasar. Apanya yang bukan bocah?" 

Todoroki tidak menanggapi sindirannya, memilih tetap mengikuti langkah Bakugou.

SIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang