[Chapter 2: Soba Dingin]
.
.
.
Bakugo selalu tahu bahwa orang akan dengan mudah singgah dan pergi darinya. Meskipun tidak tergolong introvert, ia berusaha tidak akan menjaga hubungan dengan siapapun semenjak kejadian delapan tahun silam. Maka dari itu, saat tiga hari yang lalu si bocah keras kepala yang menembaknya datang lagi, ia tidak ingin repot-repot menanggapi dan terus mengabaikan keberadaannya.
"Bakugou." Meskipun suara bocah ini terdengar manis dan mirip karakter Eren Yeager di serial anime favoritnya sewaktu masa kuliah, bocah ini tidak menunjukkan emosi sama sekali.
"Bakugou, aku ingin pulang ..."
Baguslah pikir Bakugou, sebelum jemari anak itu menarik ujung bajunya. "Ke rumahmu."
Bakugou nyaris menyalak kesal. Demi apapun! Sebelumnya, ia sudah sering bertemu manusia dengan berperilaku tak normal, tetapi tidak pernah seaneh Todoroki Shoto.
Melihat Todoroki tidak lagi bereaksi. Maka Bakugou akan kembali berpedoman pada prinsipnya beberapa menit sebelum si bocah datang. Ia tidak akan membuang waktu untuk menggubris ucapan bocah ini.
Begitu Bakugou mulai menyibukkan diri dengan hal lain, Todoroki mulai mengekorinya. Sembari mengingat kejadian tiga hari silam, Bakugou mau tak mau mengangkat sebelah alis dan menjatuhkan pandangan pada kaki Todoroki, tapi luka itu ditutupi dengan seragam sekolahnya dan Bakugou sama sekali tidak memiliki inisiatif untuk bertanya mengenai keadaanya, Toh, biarlah. Bocah ini bahkan tak merengek perkara kakinya yang mungkin sudah sembuh.
"Bakugou."
Persetan, Bakugou, Bakugou, apa dia tak bisa bicara blak-blakan tanpa harus memanggil namanya!
"Itu ..."
Bakugou masih berusaha menahan keinginan untuk meledak sebelum bocah itu menginterupsi dengan rentetan kalimat datar. "Martilmu terbalik ..."
Jika orang biasa dihadapkan dengan buku yang terbalik, bisa-bisanya ia memegang martil secara terbalik?! Lagipula proyek sialan ini, kenapa hanya menyediakan tiga buah gun ramset! Dan menumbalkanya untuk menggunakan martil yang sudah ketinggalan zaman!
Bakugou membalikan palu tanpa ragu-ragu, tetapi sebelum ia sempat menggunakannya, peluit tanda komando membuat gerakannya terhenti. Biasanya ada tiga sampai empat kali peluit digunakan dalam sehari. Pertama, saat mereka akan berbincang mengenai pembagian tugas. Kedua, jam makan siang tiba. Ketiga, kejadian tak terduga, dan yang terakhir ialah jam pulang. Bakugou sudah melewati dua rentetan peristiwa pada hari ini. Entah, kenapa Bakugou lebih suka peluit barusan sebagai pertanda 'kejadian tak terduga' ketimbang 'waktu pulang'. Dia akan senang hati jika Mineta menumbalkan dirinya tertelan paku sewaktu bertugas atau jarinya terputus karena gergaji mesin.
Semoga saja.
"Bereskan peralatan, setelah itu kalian boleh pulang."
Kenapa Dewi Fortuna tidak berpihak padanya?
Lagipula ini masih satu jam setengah lagi sebelum jadwal mereka selesai. Sejak kapan si tua Sekijiro ini tidak mematuhi rambu-rambu dalam bertugas. Bukan rahasia umum bahwa mandor mereka ini suka bertarung dan konyolnya sering berakhir dengan kekalahan. Ini hal yang memotivasinya dan menjadi gila kerja, meskipun perhatiannya tak terhingga bak kasih ibu. Namun, dengan lapang hati memajukan jam pulang menjadi jam lima?! Ini ide yang sangat buruk.
Sumpah, bukannya gila kerja! Bakugou hanya tidak ingin bocah ini mengikutinya sampai rumah terlebih empunya dengan tak tahu malu sudah berjongkok untuk mengencangkan tali sepatu, kemudian menepuk-nepuk celana seolah ia baru saja ikut mengaduk semen bersama pekerja lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SION
Fanfic[Cover] Art by: モロツヨシ on Picrew Edit by: earl_sulung on Canva [Blurb] Secara alami, Bakugou terlahir jenius. Meskipun sumbu emosinya tidak lebih tebal dari kertas, prestasi yang diraihnya tidak cukup untuk di pajang pada etalase rumah. Namun, suatu...