𐇵 Bocah Gila 𐇵

735 64 10
                                    

[Chapter 1: Bocah Gila]

.

.

.

Menurut sang ibu, kelahiran Bakugo Katsuki adalah suatu anomali. Ia lahir pada musim yang paling tenang, musim semi. Namun, bukannya tumbuh sebagai pemuda penyabar, justru wataknya sangat buruk. Selain, egois ia bisa meledak kapan saja dan dengan berani masih memberi mereka julukan dengan kejam. Dibalik itu semua, dedikasinya terhadap prestasi telah menghasilkan pencapaian di luar nalar. Untuk mencapai hal gemilang dia tidak memerlukan salah satu dari ketiga ciri;kutu buku berkacamata, pemuda kaya raya penerus tahta, ataupun sosok dingin yang tak banyak bicara. Ia secara alamiah jenius.

Begitu rentang waktu terus bergulir, perlahan prestasinya terkikis dan membuat ia berakhir di tempat yang tak terduga-duga. Dia berada pada proyek bangunan, bukan sebagai mandor ataupun investor, tapi sebagai pekerja berat yang sering diinjak-injak oleh atasan, pun harus bercekcok lidah kala gajinya dipotong secara tak logis.

Bakugou sudah lupa mengeluh atas takdir yang kacau. Keluhannya sekarang bukan lagi karena dikalahkan oleh orang bodoh tanpa bakat, bukan karena pencapain terbesarnya telah pupus. Akan tetapi, karena bocah aneh di hadapan yang berjongkok dengan wajah datar.

"Mau tidak jadi pacarku?" Itu adalah kalimat pertama yang mencuat dari bibir tipisnya.

Saat ini musim kelahirannya sudah berakhir. Selama musim panas, tidak aneh jika Jepang mencapai suhu tertinggi, 34°C. Rasa panas yang menjalar dan keringat yang tak henti mengucur membuat emosi Bakugou meluap-luap, apalagi ia tipe yang sulit menyembunyikan luapan kemarahan. Namun, bocah menyebalkan ini justru berjongkok di hadapannya. Membuat suasana semakin pengap.

Benar-benar ingin dibunuh!

Mengiranya gila dan mungkin salah orang, Bakugou melengos, berlanjut memperbaiki peyangga tangga yang roboh beberapa menit lalu.

"Silahkan jadi pacarku, Daibakusasshin Dainamaito¹."

Silahkan jadi pacarku? Dammit! Kalimat paling aneh ini biasanya muncul dari makhluk paling narsistik yang memuja dirinya seperti aktor muda bernama Monoma Neito, tetapi kenapa justru lahir dari bocah minim ekspresi, terlebih dia tahu nama kelamnya yang memalukan. Bakugo bersiap mencincang bocah tak tahu malu ini dengan keping aluminium di sekitar kakinya, sebelum otak rasionalitasnya mengatakan bahwa dia harus tenang dan diam demi mengusir bocah ini.

"Tidak mau, ya? Kalau Bakugou bersikeras tidak mau. Ya sudah ..." Meskipun enggan menyahuti, Bakugou tetap mengintip ekspresi si bocah lelaki melalui bahu. Seperti dugaan ia menunduk, tampak dibuat-buat sedih. Bakugou baru akan menghela napas lega, sebelum bocah itu berseru kembali. "Itu artinya aku tidak boleh menyerah."

Tidak hanya gila, ternyata bocah ini jelmaan alien!

Tanpa harus menilik wajahnya, si pirang merasa tak asing dengan penampilan anak ini, belum lagi ia memiliki perawakan tak biasa. Rambut dan mata dwiwarna, belum lagi bekas luka di sisi kanan yang teramat estetik—biar Bakugou tidak tahu sebab kelam yang dialaminya—jadi, bagian mana yang tidak mencolok? Kendatipun mencoba mengingat, ia tetap tidak bisa mendapatkan memorinya kembali. 

"Hei, bocah setengah-setengah!" Biasanya orang asing yang berhadapan dengan Bakugou akan tersentak dengan bentakannya, entah kenapa bocah ini menunjukkan gelagat tak biasa, ketimbang bingung atau marah ia tampak senang karena sudah direspon.

"Bakugou mau ja—"

"Keluar dari sini," titah Bakugou berusaha untuk tidak meninggikan suara. Bakugou tidak ingin operasi pita suara untuk kedua kalinya, sungguh.

SIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang