🍁005🍁

8.2K 547 16
                                    

Virgo menatap Leon yang tampak menghindarinya setelah sarapan tadi. Nama putranya yang mengejutkan membuatnya sedikit terguncang. Hari ini, ia memutuskan untuk memanggil satu-satunya putra tampannya itu ke ruang keluarga untuk berbicara lebih lanjut.

"Mama?" panggil Leon dengan hati-hati sambil mengintip dari balik pintu.

"Kemarilah, Sayang," ujar Virgo lembut, senyuman manis tersungging di wajahnya.

"Mama tidak apa-apa?" tanya Leon memastikan, suaranya dipenuhi kekhawatiran.

"Aku baik-baik saja, cepat kemari. Aku ingin berbicara denganmu," balas Virgo dengan nada yang tenang, masih duduk di sofa dengan anggun.

Leon perlahan memasuki ruangan dan duduk di hadapan Virgo. Ada ketakutan dalam dirinya, takut jika ibunya mulai mengingat masa lalu yang penuh kekerasan dan kebencian.

"Mengapa kamu duduk di situ? Kemarilah, duduk di sebelah Mama," ujar Virgo sambil menepuk tempat kosong di sampingnya.

Leon terkejut mendengar perkataan ibunya. Meski ada rasa senang, perasaan takut akan kembalinya ingatan Virgo tetap menghantui pikirannya. Bagaimana jika senyuman itu hanya topeng belaka?

"Leon," panggil Virgo dengan nada sedikit lebih keras, merasa kesal karena putranya tidak segera menanggapi.

Merasa tak punya pilihan, Leon segera duduk di samping Virgo, tetapi tubuhnya sedikit gemetar. Kedua tangannya menggenggam erat ujung bajunya, mencoba menahan ketakutan yang menderu-deru dalam dadanya.

Virgo menatap wajah putranya yang tampan, melihat ketakutan yang terpancar dari sorot matanya. Ada luka di sana, luka yang mungkin ia sebabkan—atau lebih tepatnya, yang disebabkan oleh pemilik tubuh ini sebelum ia hadir. Dengan hati-hati, Virgo membuka percakapan.

"Leon, aku ingin bertanya padamu," Virgo memulai dengan nada lembut, tetapi tegas. "Apa selama ini perlakuanku kejam terhadapmu?"

Pertanyaan itu membuat Leon semakin tegang. Ia tidak ingin menjawab, tetapi tubuhnya seakan berkhianat; kepalanya mengangguk perlahan, mengiyakan pertanyaan Virgo.

Virgo menghela napas panjang, terasa berat. Ingin sekali ia memaki dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, memaki Virgo Ross yang sebenarnya, karena telah memperlakukan putra sebaik ini dengan kejam. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu kejam terhadap darah dagingnya sendiri?

"Leon," Virgo memulai lagi, kali ini dengan nada penuh penyesalan. "Aku tidak akan meminta maaf padamu. Aku tahu, permintaan maaf tidak akan bisa menghapus luka yang sudah ada. Aku tidak ingat apa saja yang telah aku lakukan padamu, dan itu membuatku merasa sangat bersalah. Tapi, aku memohon satu hal padamu. Berikan aku kesempatan untuk menyayangimu, mencintaimu selayaknya seorang ibu kepada putranya. Mungkin kamu tidak akan memaafkan perbuatanku selama ini, tetapi Mama mohon padamu untuk memberikan Mama kesempatan."

Leon terpaku mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Virgo. Sudah lama ia menginginkan kasih sayang dari ibunya, sejak ia masih kecil. Selama ini, ia berusaha bersikap baik, bahkan kadang bersikap jahat hanya untuk menarik perhatian Virgo. Dan sekarang, mendengar permohonan ini, ia merasa bersyukur—bersyukur bahwa ibunya kehilangan ingatan yang kelam.

"Mama berjanji akan menyayangiku, 'kan?" tanya Leon dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca saat ia memeluk Virgo erat-erat.

"Tentu saja, kamu putra satu-satunya Mama, bukan? Mengapa kamu masih bertanya?" jawab Virgo lembut sambil membelai rambut keemasan Leon dengan penuh kasih sayang.

Saat ia memperhatikan lebih seksama, Virgo menyadari bahwa Leon mewarisi warna iris mata yang sama dengannya, sementara wajahnya lebih mirip dengan Sebastian. Perpaduan yang sempurna antara kedua orang tuanya.

"Ya, satu-satunya. Hanya aku putra Mama," jawab Leon dengan senyum miring yang ia sembunyikan dari pandangan Virgo.

Virgo tertawa kecil mendengar jawaban putranya. Namun, ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya, membuatnya bertanya lagi. "Leon, apa kamu tidak sekolah?"

Leon menggeleng pelan. "Besok, Mama. Hari ini aku hanya ingin bersama Mama."

Virgo tersenyum mendengar jawaban itu, merasakan kehangatan mengalir dalam hatinya. Mungkin, ini adalah awal yang baru bagi mereka—awal dari hubungan yang selama ini ia harapkan bisa terjadi antara seorang ibu dan putranya.

***

Di sisi lain.

Suara tembakan saling bersahutan di kota Upper Hills, memecah keramaian siang hari yang seharusnya damai. Di tengah kekacauan itu, Sebastian terlibat baku tembak sengit dengan beberapa orang yang sudah lama mengincarnya. Ia berdecak kesal, menyadari bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk terjebak dalam situasi seperti ini—terutama karena salah satu rival terbesarnya kini berada di hadapannya.

"Seby, berikan Virgo padaku! Aku tahu Virgo saat ini sedang bersamamu!" teriak seorang pria berambut hitam dengan iris mata perak yang bersinar tajam di bawah terik matahari.

Sebastian mengeraskan ekspresinya. Ia memicingkan mata, tatapannya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan memberikannya padamu dengan mudah? Jangan harap! Aku sudah mulai hidup bahagia bersama Virgo, dan kalian tidak bisa mengambilnya begitu saja!" balasnya dengan nada penuh amarah, suaranya menggema di antara deru tembakan yang semakin intens.

Pria itu tertawa terbahak-bahak, suaranya menyebarkan aura dingin di udara yang sudah penuh dengan ketegangan. "Hahaha! Bahagia? Bagaimana bisa Virgo bahagia hidup bersama manusia seperti kita? Itu tidak akan mungkin terjadi, kecuali semua ingatan di kepalanya menghilang untuk selamanya!" jawabnya dengan tatapan mengejek, seakan mengeksploitasi kelemahan terbesar yang dimiliki Sebastian.

Sebastian tersenyum dingin, bibirnya membentuk garis kejam. Ia tahu betul apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan Virgo di sisinya, dan fakta bahwa hal itu sudah berhasil membuatnya merasa unggul. "Ya, kau benar. Jika Virgo kehilangan ingatannya, maka aku akan mendapatkannya ... hidup bahagia bersamanya. Dan itu sudah terjadi," ucap Sebastian, suaranya rendah namun penuh kemenangan, disertai tawa kecil yang menambah getir suasana.

Mendengar itu, pria di hadapannya terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi kaget dan penuh kecurigaan.

"Apa maksudmu? Jangan katakan kau melakukan sesuatu pada Virgo?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, seolah takut membayangkan kemungkinan terburuk.

Sebastian hanya menyeringai. Dia berdiri tegak, matanya tak lepas dari pria itu, menikmati ketakutan yang terlihat jelas di wajah musuhnya. Akan tetapi, detik berikutnya, segala sesuatunya berubah drastis.

Dengan cepat, pria itu menarik pelatuk senjatanya, menembakkan peluru yang langsung menghantam dada kiri bagian bawah Sebastian. Pria itu menatapnya dengan kemarahan yang mendidih, seolah-olah tembakan itu adalah puncak dari rasa frustrasinya.

"Persetan denganmu, Seby! Aku akan membawa Virgo lari dari rumah terkutukmu itu! Sampai jumpa, dan tunggu saja! Aku akan kembali untuk membawa Virgo bersamaku!" teriak pria itu sebelum berbalik dan melarikan diri, meninggalkan Sebastian yang mulai merasakan panas dan sakit di dada, tubuhnya perlahan jatuh terduduk ke tanah.

Sebastian menggeram kesakitan, darah mulai membasahi pakaiannya. Meski rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, tekadnya untuk melindungi Virgo tidak goyah sedikit pun. Dengan suara yang tertahan, ia mengeluarkan perintah melalui alat komunikasi di pergelangan tangannya.

"Sial! Perketat keamanan mansion! Jangan sampai ada yang keluar masuk!"

***

Im Sorry I Cant be PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang